RAUDAL Tanjung Banua akan segera meluncurkan buku kumcer terbarunya: sebuah ikhtiar kembali ke tradisi dongeng, atau usaha meramu dongeng dalam prosa modern.
Ya, apabila pada kumcernya terdahulu Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018), ia nampak berusaha menghamparkan setting lokasi sebagai pusat pengisahan—“sebagai subjek utama cerita dan menjadi sumber cerita itu sendiri”; maka Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan (kumcer baru ini) adalah semacam upaya Raudal menonjolkan permainan plot dalam strategi naratifnya untuk menghidupkan pengalaman personal sekaligus kolektif atas tradisi mendongeng—yang atau dalam kata-katanya sendiri di pengantar: Mengembalikan “kemurnian” plot atau alur kisah sebagaimana pada dongeng atau suasana keseharian.
Apa itu kemurnian plot?
Plot—struktur kisah, urutan peristiwa atau storyline yang dibangun berdasarkan prinsip sebab-akibat—dalam sebuah cerita pada dasarnya dapat dimulai atau dibuka dari mana saja, baik secara linear menggunakan Alur Maju maupun dengan teknik flashback atau Alur Mundur, atau dengan Alur Campuran tatkala cerita dituturkan dari tengah, dari puncak konflik (klimaks).
Puncak dari permainan alur ini, hingga kepada teknik naratifnya yang paling kompleks, barangkali dapat kita temukan dalam cerita-cerita bergenre detektif; tetapi dalam tradisi mendongenglah—yang lazimnya dituturkan dengan pembuka “alkisah” atau “konon pada jaman dahulu kala” itu—seyogianya kita bersua dengan “hakikat ceritera” sebagai pelipur lara dan penyampai pesan, dalam spontanitas dan keikhlasan berbagi, dalam keasyikan imajinatif dan siasat sugesti, dalam kenaifan moral dan kemahiran menahan suspense.
Ya, seluruh cerpen Raudal yang terhimpun dalam buku ini boleh dibilang bertolak dari dongeng—cara berkisah paling purba itu: dalam ketegangan antara alur maju dan alur mundur, antara lisan dan tulisan.
Karena itu, tak heran jika membaca Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan dengan watak berdongengnya yang kental ini, seketika kita pun serasa berjumpa kembali dengan pengalaman kita sendiri di masa kecil—ketika kehidupan yang tak mudah dan penuh intrik ini seakan masih demikian lugu. Dengan cara begitu, dongeng-dongeng lama yang tercecer pun dihidupkan Raudal secara ekstrim, dalam ketegangan antara menyalin dan memberikan napas baru dimana sang narator yang author seolah-olah bertindak selaku pengumpul ceritera lisan.
Cerita-cerita kecilnya itu, dongeng dari nenek, dari paman, dari ayah, dari ibunda, dari orang-orang kampungnya di Surantih dan dari siapa saja, memang seolah hanya dikumpulkan begitu saja sebagai memori untuk ditulis ulang; dibiarkan tetap “murni”, demikian adanya seperti ketika didengarnya semasa kanak-kanak: sebagai pengantar tidur, petuah-nasehat dan amsal-umpama, atau peneguh dan penghibur di masa wabah. Namun pada saat yang bersamaan, toh dongeng-dongeng lama itu hanyalah dimungkinkan hidup dalam cerita lain dimana author-narrator hadir sebagai penghimpun dan penutur ulang mereka, yakni dalam hal ini sebagai cerita dalam cerita, cerita berbingkai, himpunan-rangkaian cerita dengan kesadaran metafiksi.
Yang mana, seperti apapun cerita-cerita itu disampaikan kembali dan dikategorikan dalam tema-tema kecil, sang author-narrator yang kuasa sekaligus sadar diri akan memulai, membuka cerita pendeknya kepada para pembaca dengan semacam pengantar kisah yang membuatnya tak henti-henti berpaling kepada masa silam, menggali-gali kenangan.
“Malam ini entah mana lebih dulu: tersebab aku tak bisa tidur lalu teringat cerita-cerita masa kecilku bersama ibu, atau aku yang teringat cerita ibu lantas tak bisa memejamkan mata? Rasanya seperti bertahun-tahun lalu: ibu yang bercerita dengan harapan supaya aku cepat tertidur, padahal dengan begitu mataku nyalang terbuka!” begitulah tulis Raudal mengawali “Cerita-Cerita Kecil yang Tulus dan Murni dari Ibuku.”
Ia bertindak layaknya para sahibul hikayat, atau katakanlah—yang lebih sederhana—ibu, ayah, paman, dan orang-orang kampungnya sendiri tatkala mendongeng, beranjak dari kekinian, lalu menoleh ke belakang (flashback) dalam ingatan, lantas memulai cerita dalam ceritanya dengan semacam “alkisah”—teknik membuka kisah yang paling konvensional. Tertib rapi dan linear-kronologis.
“Alkisah di Bukit Talau hidup seekor ular besar peliharaan Nenek Tatak, perempuan bagak, pemberani” atau “Alkisah kata nenek, ada seorang laki-laki sholeh sering melintas di bawah sebatang pohon asam yang rindang”…[]
***
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.