CITRA PEREMPUAN DALAM SASTRA (11)

: Apa Ideologi yang Bekerja di Baliknya?

Djoko Saryono *

Apa yang kita sesap dari uraian terdahulu (1 sampai dengan 10 sebelumnya) perihal citra perempuan dalam sastra khususnya novel Indonesia? Pertama, dalam teks-teks novel Indonesia dicitrakan perempuan-perempuan yang berasal dari golongan bawah, menengah, dan menengah-atas. Teks novel sebelum perang relatif jarang mencitrakan perempuan dari golongan bawah. Sebagian besar perempuan dari golongan menengah dan menengah-atas yang dicitrakan oleh teks novel sebelum perang. Dalam pada itu, teks-teks novel sesudah perang secara relatif berimbang dan ekstensif mencitrakan perempuan-perempuan dari golongan bawah, menengah, dan menengah-atas.

Kedua, dalam teks-teks novel Indonesia ditampilkan keterpelajaran sebagai indikator atau parameter ketradisionalan dan kemodernan perempuan. Citra perempuan-perempuan tradisional dihubungkan dengan rendahnya keterpelajaran. Maksudnya, perempuan-perempuan tradisional dicitrakan sebagai perempuan yang kurang terpelajar. Dalam pada itu, citra perempuan modern dihubungkan dengan tingginya keterpelajaran atau keterdidikan. Maksudnya, perempuan-perempuan modern dicitrakan sebagai perempuan-perempuan terpelajar. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan tradisional memiliki afinitas dengan ketradisionalan, sedang perempuan modern memiliki afinitas dengan kemodernan.

Selanjutnya, ketiga, dalam teks-teks novel Indonesia, perempuan tradisional dicitrakan melakukan integrasi kultural dengan tradisi, sedangkan perempuan modern dicitrakan melakukan resistensi kultural terhadap tradisi pada satu pihak dan pada pihak lain melakukan integrasi kultural dengan kemodernan. Integrasi kultural dengan tradisi bermakna tidak mempersoalkan peran gender, sedangkan resistensi kultural dengan tradisi dan integrasi kultural bermakna mempersoalkan peran gender. Perempuan tradisi yang melakukan integrasi kultural dengan ketradisionalan tidak menuntut ruang publik. Mereka menerima peran gender utama di ruang domestik dan juga tidak menolak peran gender di ruang publik. Dalam pada itu, perempuan modern yang melakukan resistensi kultural terhadap tradisi justru menuntut ruang publik secara lebih luas. Mereka menginginkan dan berkiprah di ruang publik secara ekstensif.

Adapun keempat, dalam teks-teks novel Indonesia dicitrakan perempuan-perempuan yang mengalami ketidakadilan relasi gender dan – sebaliknya – mengalami atau menikmati keadilan relasi gender. Teks-teks novel sebelum perang banyak mencitrakan perempuan-perempuan yang mengalami ketidakadilan gender. Mereka belum berhasil membongkar ketidakadilan relasi gender yang mereka alami meskipun sudah menyadari adanya ketidakadilan relasi gender. Hal ini disebabkan oleh kuatnya kebudayaan patriarkis yang didukung oleh hegemoni maskulinitas. Sementara itu, teks-teks novel sesudah perang mencitrakan perempuan-perempuan yang sudah menikmati keadilan relasi gender di samping juga mencitrakan perempuan-perempuan yang mengalami ketidakadilan relasi gender. Mereka dicitrakan ada yang berhasil membongkar ketidakadilan relasi gender dan ada pula yang tetap terjatuh ke dalam ketidakadilan relasi gender. Keadilan relasi gender diperoleh oleh perempuan berkat modernisme dan pembangunanisme membukakan ru¬ang publik secara luas bagi perempuan, sedang ketidakadilan relasi gender pada perempuan juga tetap terjadi karena modernisme dan pembangunanisme ternyata juga menimbulkan kekerasan gender terhadap perempuan dan kelonggaran moralitas sosial.

Berkenaan dengan empat hal tersebut timbullah pertanyaan. Pertama, apakah ideologi gender yang berada dan bekerja di balik citra perempuan Indonesia dalam teks novel Indonesia?. Ini memerlukan kerja menelaah masalah ideologi gender dalam teks novel Indonesia. Kedua, secara lebih khusus dan detil bagaimanakah (1) citra perempuan Indonesia dalam novel populer Indonesia dan novel serius Indonesia, (2) citra perempuan perempuan Indonesia dalam novel sebelum perang dan sesudah perang, dan (3) citra perempuan Indonesia dalam novel Indonesia yang ditulis oleh laki-laki dan novel Indonesia yang ditulis oleh perempuan. Ketiga, bagaimanakah sosok perempuan Indonesia dalam novel-novel mutakhir dan terkini Indonesia? Di sinilah diperlukan kajian teknis tentang citra perempuan agar profil citra perempuan Indonesia dalam sastra Indonesia makin gamblang, deril, dan utuh.
***

*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *