SALAH SATU POTRET CERITA KEBO KICAK

KARANG KEJAMBON DI KABUPATEN JOMBANG


Anton Wahyudi *

Cerita Kebo Kicak Karang Kejambon adalah salah satu cerita rakyat yang sering banyak disinggung oleh masyarakat asli Kabupaten Jombang baik dari kalangan sejarawan, akademisi, para pegiat atau praktisi budaya, masyarakat di kalangan pesantren, maupun masyarakat awam. Cerita rakyat ini sering banyak dikorelasikan atau dijadikan rujukan sebagai cerita babon atau cerita babad, oleh karena ceritanya panjang, muncul berbagai banyak versi, dan sering berhubungan erat dengan banyak cerita-cerita rakyat yang tersebar di Jombang baik cerita rakyat berbentuk mite, legenda, maupun dongeng.

Ada berbagai versi cerita Kebo Kicak Karang Kejambon yang beredar luas di wilayah Jombang, baik dari versi pesantren (kalangan santri), versi sejarah, versi budaya (pegiat seni tradisi), versi tokoh-tokoh masyarakat pendukungnya, dan lain sebagainya. Versi-versi cerita yang turut membedakan baik pembedaan dalam konteks fonologis nama-nama tokoh, alur cerita, hingga setting cerita. Versi cerita tersebut tentunya saling berkaitan, saling mendukung, dan sama-sama menyiratkan nilai-nilai kearifan lokal di dalamnya.

Cerita Kebo Kicak Karang Kejambon dalam versi sejarah dan budaya adalah salah satu dari sekian banyak versi cerita yang menarik untuk dibaca dan ditelaah isinya. Dalam versi sejarah dan budaya, diceritakan bahwa asal-muasal cerita Kebo Kicak dimulai dari misi penyebaran agama yang dilakukan oleh empat sosok bersaudara yang datang merantau dari wilayah Sedayu Gresik. Keempat tokoh tersebut bernama Ki Ageng Pranggang, Ki Ageng Sumoyono, Ki Ageng Bono, dan Ki Ageng Balong Biru.

Konon, dalam cerita ini dijelaskan bahwa tokoh Ki Ageng Pranggang mempunyai seorang anak cantik jelita bernama Pandan Manguri. Diceritakan bahwa Pandan Manguri mempunyai kebiasaan mencuci pakaiannya di seberang sungai. Salah satu dari sekian banyak pakaian yang sering dicucinya adalah kain jarik (Jawa: kain panjang berwarna hitam dengan corak batik berwarna cokelat yang motifnya beraneka ragam).

Suatu ketika pada saat Pandan Manguri meletakkan kain jariknya di atas bebatuan ia dikejutkan dengan munculnya sosok pemuda. Sesosok pemuda tampan bernama Pamulang Jagat, salah satu pangeran dari Kerajaan Majapahit yang sedang bertapa. Keduanya akhirnya saling jatuh cinta. Konon, Pandan Manguri tidak mengetahui bahwa kekasihnya adalah seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit. Keduanya pada akhirnya sering saling memadu kasih, lalu berbuat zina. Hingga pada akhirnya Pandan Manguri hamil dan kehamilannya diketahui oleh ayahandanya yang bernama Ki Ageng Pranggang.

Ki Ageng Pranggang sangat marah besar sesaat setelah mengetahui anaknya tengah hamil atau dihamili. Lebih marah lagi karena Pandan Manguri tidak mau menjawab atau menceritakan lelaki yang telah menghamilinya. Dengan brutal Ki Ageng Pranggang memukul, mencambuk, dan menyiksa putrinya, berharap putrinya mau menceritakan atau menyebutkan nama lelaki yang telah menghamilinya.

Seketika, datanglah Pamulang Jagat dan mengakui bahwa dirinyalah yang telah menghamili putrinya. Pada saat Ki Ageng Pranggang bertanya tentang siapa pemuda itu, seketika Ki Ageng Pranggang dan anaknya kaget dan menunduk, lalu berlutut hormat kepadanya. Pandan Manguri baru tahu ternyata kekasihnya adalah seorang pangeran dari kerajaan. Tidak banyak yang disampaikan oleh Pangeran Pamulang Jagat, ia hanya berpesan jika suatu saat nanti jabang bayinya lahir laki-laki, ia berharap kepada Pandan Manguri agar memberinya nama Joko Tulus. Ia juga berpesan sembari memberikan seuntai kain tanda pengenal kerajaaan, jika nanti anaknya sudah tumbuh dewasa agar pergi ke Kerajaan Majapahit menemuinya.

Seiring berjalannya waktu Joko Tulus tumbuh menjadi dewasa. Ia tumbuh menjadi lelaki perkasa. Dia mulai menuntut tanya pada ibu dan kakeknya, menanyakan siapa dan di mana ayahandanya. Ia malu karena sering diolok-olok oleh teman-teman sebayanya. Anehnya, kakeknya selalu memberi tahu dengan kebohongan di mana keberadaan ayahandanya.

Setiap kali kakeknya memberi tahu tentang keberadaan ayahandanya, ia selalu senang dan kegirangan. Senang bukan kepalang. Ia senang dan gindrang-gindrang (Jawa: meloncat-loncat) sesuka hatinya, hingga tak sadar kakeknya terinjak-injak oleh kakinya. Begitu seterusnya. Sampai pada suatu ketika kakeknya spontan berucap tentang ia yang tingkah polahnya seperti kebo kicak (Jawa: kerbau yang suka menginjak-injak). Dari ucapan kakeknya itulah Joko Tulus mulai berubah perawakannya, berubah perangainya, mirip seperti hewan kerbau. Ia bertanduk dan terlihat aneh, tidak seperti raut wajah manusia yang semestinya.

Hingga pada akhirnya kakek dan ibunya memberi tahu dengan jujur tentang keberadaan ayahandanya yang tinggal di Kerajaan Majapahit. Dengan berbekal seuntai kain identitas kerajaan dan pesan-pesan dari ibunya, ia pun segera pergi ke Kerajaan Majapahit. Menariknya, sang raja dan ayahandanya tidak mau mengakui dirinya. Lalu, keduanya mempunyai inisiatif yang jelek kepadanya.

Sang raja dengan ayahandanya membuat siasat dengan mengatakan sama-sama tidak percaya kepadanya. Sang raja pun membuat uji coba, atau semacam sayembara, “Jikamana ia bisa membawa Pusaka Banteng Tracak Kencana ke Kerajaan Majapahit, maka raja dan ayahandanya akan memercayai bahwa Joko Tulus benar-benar anak kandungnya,” katanya.

Hingga pada akhirnya Joko Tulus pulang atau kembali ke rumahnya. Ia berubah menjadi pemuda yang sangat ambisius. Ia ingin sesegera memiliki Pusaka Banteng Tracak Kencana. Ia pun akhirnya bertanya-tanya pada sang kakek dan ibunya perihal pusaka itu. Alhasil, kakek dan ibunya memberitahu bahwa pusaka itu adalah salah satu pusaka milik saudara sepupunya. Pusaka milik Surontanu, anak dari Ki Ageng Somoyono.

Ibu dan kakeknya melarang kepergiaannya, oleh karena ibu dan kakeknya yakin pusaka itu tidak boleh dipakai sembarangan. Ibunya juga meyakini bahwa Surontanu tidak akan mungkin mau meminjamkan atau menyerahkan pusaka itu kepada anaknya. Ambisius yang tinggi membuat Joko Tulus tetap berangkat menemui Surontanu. Alhasil, benar kata kakek dan ibunya, bahwa Surontanu tidak mau meminjamkan atau menyerahkan pusaka itu kepadanya. Oleh karena pusaka itu sangat berbahaya. Dengan beringas dan ambisius Joko Tulus berusaha merebut pusaka itu.

Pertarungan pun pada akhirnya dimulai. Pertarungan besar antara Joko Tulus dan Surontanu. Menariknya adalah Surontanu memiliki pusaka yang bisa membuatnya menghilang dari tempat satu ke tempat yang lainnya. Dari wilayah satu ke wilayah yang lainnya. Joko Tulus pun juga mempunyai indra penciuman yang tajam. Ia mampu mencium keberadaan Surontanu. Pertarungannya berpindah-pindah. Keduanya sama-sama beradu kesaktian. Hingga pada pertarungan puncak di suatu tempat, keduanya lenyap, hilang, tertelan lendut (Jawa: tanah gembur). Dengan demikian, tidak ada pemenangnya. Keduanya sama-sama hilang ditelan bumi.
***


*) Anton Wahyudi, bermukim di Dusun Jambu RT/RW: 2/2, Desa Jabon, Jombang. Mengelola Jombang Institute, sebuah Lembaga Riset Sejarah, Sosial, dan Kebudayaan di Jombang, Jawa Timur. Di samping aktif dalam kegiatan menulis, dan sebagai editor lepas, menjadi Dosen Sastra Indonesia di Kampus STKIP PGRI, Jombang. Buku terbarunya “Guruku, Ayahku, Kakakku Kwat Prayitno” (2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *