SENANDUNG CINTA DARI BU WINA

Atafras *

Sebut saja aku Aira, siswa kelas sembilan di sebuah SMP Negeri yang cukup membanggakan. Kalau kata emakku, aku sudah kelas tiga SMP. Sudah gadis perawan. Tubuhku yang bongsor menambah kekhawatiran emak pada pergaulan dan penampilanku sehari-hari.

Meski aku bukan anak orang kaya, tapi sangat bersyukur bisa sekolah di SMP negeri tervaforit di kotaku. Coba tebak, apa sebabnya? Ya, karena bapakku tukang kebun di sekolah tersebut.

“Pak Bon…” begitu teman-temanku biasa memanggilnya. Kata bapak yang usianya di atas lima puluh tahunan, merasa bangga menjadi tukang kebun di SMP ini. Pengabdiannya telah puluhan tahun tak dipandang sebelah mata oleh bapak kepala sekolah dan bapak-ibu guru yang mengajar.
***

Pernikahan emak dan bapak dikaruniai empat orang anak. Mas Alif, Mbak Tisna, Mas Hanif dan aku, Hasnia Khumaira. Empat huruf terakhir pada namaku itulah yang dijadikan nama panggilan untukku. Aira.

Ketiga kakakku, semuanya lulus dari SMP ku ini, Tapi sayangnya, Mas Alif dan Mbak Tisna tidak bisa melanjutkan ke SMA, lantaran terbentur biaya. Nasib beruntung bagi Mas Hanif, ia dibiayai Bu Wina, seorang guru Bahasa Indonesia, yang saat Mas Hanif kelas tiga SMP beliau datang sebagai guru baru.

Menurut cerita bapak, Bu Wina tertarik membiayai pendidikan Mas Hanif, karena beberapa hal. Pertama, bapakku adalah orang pertama yang dikenal Bu Wina saat beliau datang pertama kali di sekolah ini. Maklum, Bu Wina orang Surabaya, jadi beliau merasa sebagai perantauan sangat terpaksa harus tinggal di kota ini, menjalani tugasnya sebagai guru di SMP ku sejak beberapa tahun lalu.

Kedua, Bu Wina terenyuh mengetahui Mas Hanif rajin sholat jamaah di masjid yang letaknya satu kapling dengan rumah pak lurah, tempat Bu Wina tinggal atau kost. Ketiga, sebab belum dikaruniai putra sampai di usia pernikahannya yang ke tujuh tahun. Jadi, beliau anggap Mas Hanif sebagai anaknya. Bu Wina pernah bilang kepada emakku, kalau sangat menginginkan mempunyai anak pertama laki-laki.

Yang keempat, Mas Hanif adalah anak “Pak Bon” yang menurut pengakuan bapak, Bu Wina dulu pernah meminta kost atau tinggal di rumah kami, karena di kota ini beliau tidak memiliki famili. Tapi bapak minder, akhirnya Bu Wina diantarkan oleh bapak ke rumah pak lurah yang sekaligus ketua komite sekolah, dan singkat cerita, Bu Wina pun tinggal di sana.

Alasan kelima, Mas Hanif ketua OSIS di SMP. Pada waktu itu, aku masih kelas satu Sekolah Dasar, belum tahulah apa itu OSIS, tentu berbeda dengan sekarang, aku sekretaris OSIS-nya.

Kini, Mas Hanif sudah lulus kuliah dan menjadi guru pula. Ia ditugaskan di Belitung, di SMK Negeri 1 Dendang. Sungguh beruntung Mas Hanif, telah dijadikan anak asuh Bu Wina. Dan beruntung pula aku, karena Mas Hanif berjanji akan membiayai sekolahku hingga lulus kuliah.

Hem… terasa begitu indahnya dunia sekolah bagiku. Apalagi Bu Wina, guru idolaku sekarang menjadi wali kelasku di kelas sembilan. “Yes!” ; begitu pekik hatiku, saat bapak wakil kepala sekolah membacakan nama-nama guru yang ditunjuk jadi wali kelas, selesai kegiatan upacara hari Senin di awal tahun ajaran baru.

Sejak kecil, aku sudah dekat dengan Bu Wina. Karena Mas Hanif kalau ke masjid sering mengajakku, dan sewaktu senggang setelah jamaah Isya, kami sering mengaji bersama. Tak jarang pula aku dan Mas Hanif diajak serta, jika Bu Wina kembali ke kampung halamannya. Siapa sih yang tak suka diajak jalan-jalan? Apalagi untuk anak seusia aku waktu itu, enam setengah tahun, kelas 1 Sekolah Dasar.

Hem… aku dan Mas Hanif memperoleh pengalaman yang luar biasa. Suami Bu Wina pun sayang pada kami berdua, beliau menganggapku dan Mas Hanif seperti anak sendiri. Kami berdua sering diberinya hadiah, dibelikan benda-benda yang sebetulnya kami sudah punya walaupun cukup sederhana, misalkan tas sekolah, sepatu, baju, bahkan sandal untuk dipakai sehari-hari. Tentu saja barang-barang yang dibelikan Bu Wina lebih bagus kualitasnya. Itu pula yang membuat aku dan Mas Hanif semakin segan kepadanya.

Meski demikian, aku dan Mas Hanif tak pernah merasa membusungkan dada. Karena apa yang telah diberikan Bu Wina, kasih sayang yang sudah dicurahkan kepada kami, tak membuat lupa diri, tinggi hati. Kami sadar apa pun yang telah kami terima semata-mata rizki dari Allah yang diberikan-Nya melalui jemari tangan Bu Wina, jadi kami berdua harus pandai mensyukurinya.

Tanpa sengaja, aku pernah baca buku harian Mas Hanif, ketika dia masih kuliah. Di sana kujumpai kalimat-kalimat yang menyatakan, bahwa dirinya pun merasa bersyukur bahagia atas semua karunia yang diterimanya. Terutama karunia bisa melanjutkan sekolah untuk mencapai cita-cita atas pertolongan Bu Wina. Di buku hariannya itu, dituliskan ungkapan isi hatinya;

“Ya Allah, ternyata Bu Wina tak sekaya yang kukira. Rumahnya di Surabaya sangat sederhana. Jauh dari bayangan hamba semula. Limpahkanlah rezeki yang berkah untuk keluarga Bu Wina. Karena hanya doa ini yang bisa hamba persembahkan, sebagai balas budi kepadanya. Aamiin…”

Tiba-tiba ada rasa haru bergelayut, dan doa yang sama juga kuucapkan dalam dada. Tak terasa, telah tiga bulan Mas Hanif berada di Belitung, aku jadi rindu kepadanya.
***

Hari-hari sekolah kujalani seperti biasa. Biaya sekolahku tak pernah terlambat dikirimkan Mas Hanif setiap bulannya. Apa pun kebutuhanku yang berhubungan dengan sekolah, bisa terpenuhi atas uang yang dikirimkan Mas Hanif. Tentu saja, kami sekeluarga sangat mensyukurinya.

Sementara itu, aku pun semakin dekat dengan Bu Wina, karena selain menjadi wali kelasku, juga pembina ekstra tari di sekolah. Aku sengaja mengikuti ekstra tari, supaya bisa terus dekat dengan Bu Wina. Selain juga ingin pandai menari tentunya, dan syukur-syukur bisa menjadi duta sekolah di bidang seni tari. Dan itu, sudah tiga kali kualami, saat aku dengan kelima orang temanku diikutkan Bu Wina dalam lomba tari se-kabupaten. Meski waktu itu, kami hanya mendapatkan juara tiga, tapi cukup puas, karena mendapatkan pengalaman yang luar biasa.

Dalam kegiatan OSIS dan Kepramukaan, Bu Wina tak pernah ketinggalan. Nama beliau selalu ada dalam deretan daftar panitia atau pun pembina. Tentu saja, aku turut senang membacanya. Karena itu berarti bisa berlama-lama bersama Bu Wina. Hem, rupanya, aku sudah betul-betul menemukan sosok idola, seorang ibu guru yang kucinta, Bu Wina.
***

Hingga suatu ketika di hari Senin, saat bel masuk setelah jam istirahat berteriak lantang menandakan pelajaran akan dimulai kembali. Aku pun segera masuk kelas dan duduk di bangkuku dengan sukacita, karena Bu Wina akan mengajar di kelasku.

Yatin teman sebangkuku berkata; “Eh, Ra, sudah tahu belum, kalau Bu Wina sakit?”
Kontan aku pun merespon kaget; “Kata siapa, Tin?”
“Tadi aku dengar di ruang guru, Pak Iyan dan Bu Fitri membicarakan Bu Wina yang sedang sakit, aku dengar opname-opname gitu…”

Belum sempat aku kuasai rasa kagetku, Pak Han masuk ke kelas kami dan mengucap salam.
“Anak-anak, hari ini Bu Wina tidak bisa mengajar di kelas kalian, karena beliau sakit. Sebagai tugas untuk kalian, coba kalian kerjakan LKS halaman dua puluh tiga ini ya, nanti kalau sudah selesai, kumpulkan di meja Bu Wina.” Pak Han pun mengucap salam dan meninggalkan kelas bersamaan datangnya rasa kecewaku.

“Yaaa… kok Bu Wina sakit sih? Jadi gak bisa dengar suaranya nih…” gerutuku dalam gumaman kecil.

Jujur kuakui, kedatangan Bu Wina di kelas selalu kuharapkan. Gaya mengajarnya yang unik, kadang diselingi cerita-cerita humor atau cerita-cerita motivasi, bahkan diselingi lagu-lagu hasil karya beliau sendiri, juga diajaknya kami bernyanyi bersama untuk lagu-lagu umum yang kami bisa, membuatku sangat enjoy dan menikmati suasana belajar di kelas. Kalau ada materi sulit yang tak kami mengerti dan bertanya, beliau memberikan penjelasan yang runut serta mudah dicerna. Kami pun jadi tidak takut untuk bertanya maupun berpendapat.

Hari itu hari ke enam Bu Wina masih sakit. Saat aku menanyakan kepada Bu Fitri, bu guru Bahasa Inggris kami. Kata beliau, Bu Wina kondisinya masih koma. Bapak-ibu guru serta karyawan sekolah termasuk bapakku, kemarin bersama-sama menjenguk di Rumah Sakit Ibnu Sina. Bahkan kata bapak, dokter hendak merujuk Bu Wina ke Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya, bila sampai hari ke tujuh belum sadar juga. Begitu yang diceritakan suami Bu Wina, saat menemui rombongan penjenguk dari SMP ku.

Entahlah, mengapa aku merasa sangat kehilangan Bu Wina. Apakah aku terlalu sayang kepada beliau? Ataukah hanya hampir sepekan ini tak kujumpai beliau canda? Ah…aku tak mengerti. Yang jelas aku rindu sekali. Aku rindu petuah-petuahnya, aku rindu tutur humornya. Aku rindu menari bersamanya di dalam kegiatan ekstra kurikuler di sekolah seperti biasanya.

“Bu Wina… cepat sembuh ya…” Bisikku dalam doa.
***

Senin pagi. Bekas-bekas hujan semalam masih tampak di lapangan upacara sekolah, tempatku mencari ilmu. Hujan pertama pertanda pergantian musim. Seperti biasa, di sekolahku selalu dilaksanakan kegiatan upacara bendera. Kebetulan, aku ditunjuk menjadi petugas upacara sebagai pengibar bendera.

Sebetulnya ada rasa bangga, tapi terselip rasa duka, karena Bu Wina tak ada di sana. Beliau masih sakit, dan telah tiga pekan ini tak kujumpa, sehingga tak bisa melihatku melaksanakan tugas dengan baik. Diam-diam rasa rindu mencuat kembali. Rasa rindu menggenggam hati di tengah angin sepoi semilir sejuk dalam mendung pagi itu, yang mengawali musim penghujan, setelah sekian lama bumi diterpa kemarau panjang.

“Upacara telah selesai dilaksanakan, pasukan diistirahatkan.” Suara petugas pembaca susunan acara yang berdiri di sebelahku terdengar bingar.
“Untuk perhatian! Istirahat di tempat… grak!” Komando pemimpin upacara bersuara lantang.

Pak Didin, bapak wakil kepala sekolah berjalan menuju mimbar pembina upacara, dan terlihat rona muka beliau memancarkan wajah duka yang mendalam. Suasana di lapangan upacara terasa hening.

Sebelum Pak Didin mengucap salam pembuka, di dadaku terasa ada debaran, hatiku bergetar. Gemerisik angin di lapangan upacara seakan menusuk pori-poriku pagi itu. Entahlah, hendak mendengar berita apakah aku, kami semua, siswa-siswi di SMP ini.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…” Suara salam Pak Didin yang segera kami jawab dengan kompak. Suasana kembali hening sejenak.

“Anak-anak, ada satu hal penting yang harus saya sampaikan. Baru saja Bapak Kepala Sekolah kita menerima telepon dari keluarga Bu Wina di Surabaya, yang mengabarkan bahwa ibu guru kita, Ibu Atwina Zahrotin Nisa telah berpulang kembali ke rahmatullah, Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Marilah kita doakan, agar amal ibadah beliau diterima oleh Allah SWT…”

Entah kalimat apa lagi yang disampaikan Pak Didin setelah itu. Aku sudah tak mampu mendengarnya. Tiba-tiba, kepalaku terasa sangat berat, pandanganku kabur, dan tubuhku bergetar hebat. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena yang kurasa hanya seluruh alam sekitarku menjadi gelap seketika. Aku pingsan di lapangan, dengan masih mengenakan pakaian petugas upacaraku.

Dalam alam tak sadarku terngiang di hati, otak dan telingaku; sebuah lagu yang pernah dinyanyikan Bu Wina di kelasku beberapa pekan lalu. Lagu yang dijadikan contoh materi pelajaran musikalisasi puisi di semester gasal. Lagu itu, beliau beri judul “HILANG BUNGAKU”:

Hilang sudah bungaku
Saat tiba musim berganti
Kukenang selalu harummu
Kan terbayang indah wajahmu

Selalu kan kutunggu
Musim berganti kan mekar lagi
Pagi yang ceria
Bahagia selalu karna bungaku.

***

Lamongan, Jawa Timur.


*) Atafras, nama pena dari Atrik Trisnowati Anisa Fitri Rasyida, lahir di Surabaya 17 Oktober 1975. Seorang penyanyi, pemain drama, penari juga guru tari, dan senam. Pelatih Jodipati dan Pramuka Andalan Kwarcab, ASN guru di SMPN 1 Sekaran Lamongan, atas prestasinya sebagai MAWAPRES, penerima beasiswa TID, lulusan terbaik UNESA tahun 1999. Telah mencipta Mars 18-21, dan memperoleh penghargaan dari Dinas Pendidikan Kabupaten. Disusul Mars Adiwiyata, Mars SMP Sekaran, Mars FP2L, dan beberapa nada pop. Banyak kejuaraan bidang akademik, kesenian, kepenulisan, esai, cerpen, puisi. Telah menulis 13 buku kumpulan cerpen, 3 buku kumpulan puisi, & beberapa antologi penulis Nusantara. Kumpulan cerpennya; Setangkup Haru, Generasi Robbani, Seiring Senyum Sang Fajar, Di Ambang Kemuning, Meretas Batas, dll. Buku puisinya; Dendang Mentari, Di Kaisan Ilalang, Kisah Sohib. Juara 1 lomba puisi di FLP (2018), Juara 2 Tulis Puisi Diaspora Muda (2019), dan Juara 1 Tulis Puisi Jarak Al-qolam (2020). Saat ini aktif belajar bersama di PERRUAS yang dibimbing Asrizal Nur. No kontak: 085334399471, e-mail: atafras@gmail.com

One Reply to “SENANDUNG CINTA DARI BU WINA”

  1. Sosok penulis yg full talenta. Salut buat dirinya. Kapan ya akubisa jumpa darat dengannya, lantas saling mengobral obrol seputar kepenulisan yg tak pernah bosan dlm pembahasan… (_$alam dari Ahmad Fanani Mosah untuk Indonesia punya…)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *