Pascarealitas, Market Plan Sastra Indonesia

Kedung Darma Romansha *
Jawa Pos, 21 Feb 2021

Sastra Indonesia pascareformasi bisa dikatakan sebagai penanda lahirnya generasi baru sastra Indonesia. Lengsernya Orde Baru sangat memengaruhi pelbagai aspek kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi, budaya, maupun pandangan hidup, sehingga membentuk kondisi yang sekarang disebut sebagai era demokrasi.

Karya sastra, sebagai produk kebudayaan, tak dapat dilepaskan dari efek tersebut. Eagleton secara tegas menyatakan bahwa karya sastra adalah bentuk-bentuk persepsi, cara khusus dalam memandang dunia, dan juga memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi mentalitas atau ideologi sosial suatu zaman.

Ketika rezim Orde Baru, kontrol kebudayaan, baik film, seni rupa, teater, maupun sastra sendiri, berada di tangan pemerintah. Lalu, pascareformasi remot tersebut beralih pada komunitas-komunitas, agen-agen sosial, organisasi, atau kelompok-kelompok masyarakat, yang kemudian dalam sastra kita mengenal Angkatan 2000, Sastra Wangi, hingga Sastra Siber, dan ditambah semakin menjamurnya komunitas-komunitas sastra, organisasi sastra, yang bergerak menyambut –yang kini kita sebut sebagai generasi milenial.

Faktor utama yang memungkinkan sastra Indonesia mengalami perubahan secara masif seperti itu adalah disebabkan (1) perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan dan (2) era baru munculnya generasi tekno-virtual. Kehidupan pers yang terkesan serbabebas-serbaboleh juga ikut mendorong terjadinya perkembangan itu. Termasuk menjamurnya koran-koran online, media sosial, sebagai penanda zaman baru telah dimulai. Maka, kehidupan sastra Indonesia seperti berada di atas panggung terbuka.

Di media sosial, setiap orang, komunitas, dan organisasi adalah agen. Meski begitu, semua diatur oleh kuasa wacana, bahkan mulai cara pandang sosial, realitas objektif, budaya, ideologi, perlahan-lahan diarahkan ke cara pandang yang ekonomistik. Inilah apa yang disebut theatrum politicum (teater politik) oleh Bourdieu, di mana wacana diatur sedemikian rupa oleh para pengatur laku (script writer). Maka, apabila kita pahami, terjadinya dinamika di mana terdapat hubungan antara mereka yang mewakili (aktor-aktor), mereka yang diwakili (karakter-karakter), dan para agen (mereka yang menghendaki serta menemukan pola-pola tertentu dalam kaitan antara aktor dan karakter yang ada). Dan kepuasan itu akan dapat dicapai apabila para aktor dengan berbagai karakternya dapat memenuhi kehendak para agen yang memintanya untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu. Maka, muncullah persaingan, baik itu internal (antarsastrawan dan antarkomunitas sastra) maupun eksternal (antarkelompok kepentingan). Maka, di tengah panggung terbuka seperti ini, kerja sastrawan tak ubahnya mesin produksi dan arena sosial kita menjadi pertukaran simbol, status sosial, gagasan, ideologi, dan bahkan estetika berbahasa.

Dunia Baru Sastra Indonesia

Memasuki era digital, sastra Indonesia sebagai produk budaya mengalami pergeseran di pelbagai lini, terutama dalam wacana produk dan dunia kapital. Munculnya media sosial, toko buku online, dan menjamurnya penerbit indie adalah tanda bahwa dunia telah berevolusi dalam bentuknya yang mini dan praktis. Setiap orang bisa membuat penerbitan dengan perizinan yang mudah. Setiap orang bisa mencetak buku secara terbatas (indie). Setiap komunitas bisa menjadi agen dengan hadirnya media digital yang serbamudah-serbabebas. Toko buku online, misalnya, adalah arah baru market dalam dunia buku. Ia hadir dalam dunia yang mengecil dengan jangkauan yang lebih besar.

Lantas, bagaimana sastra Indonesia dapat menjangkau pasar dunia? Barangkali ini pertanyaan klise dan agak membosankan, yang pada praktiknya masih maju mundur nggak asyik banget. Mengapa demikian? Saya kira persoalannya juga masih sama, yaitu mengenai penerjemahan (Indonesia ke bahasa asing) dan jaringan. Meskipun kita tahu Komite Buku Nasional sudah melakukan kerja sama dengan para penerbit (baik mayor maupun indie) dalam event sastra internasional, antara lain London Book Fair dan Frankfurt Book Fair. Namun, lagi-lagi persoalannya adalah penerjemahan dan jaringan yang mungkin masih dalam monopoli kekuasaan dan/atau dalam praktik fungsi-fungsi tertentu dalam arena kekuasaan. Kita membutuhkan banyak agen untuk mempromosikan sastra Indonesia ke mancanegara. Misalnya Benedict Anderson yang mempromosikan karya Pramoedya Ananta Toer dan Eka Kurniawan, yang dalam konteks ini menjadi sangat penting.

Beberapa tahun ke depan (pascapandemi) saya mempunyai keyakinan dunia buku global akan beralih ke e-book, meskipun saya tahu hal ini sudah berlangsung lama dan saya tidak mengatakan dunia buku cetak akan hilang sama sekali. Namun, dalam konteks ini dalam arti lebih luas, yaitu pasar buku digital antarbangsa. Setiap orang dari berbagai negara bisa langsung membeli e-book sastra terjemahan. Artinya, kerja penerjemahan karya sastra menjadi sangat penting di sini. Sementara sampai saat ini, kita masih mengalami kesulitan untuk mencari penerjemah yang benar-benar concern di bidangnya. Jika saja ke depan lahir lembaga-lembaga khusus yang concern terhadap penerjemahan (bahasa Indonesia ke bahasa asing), niscaya kendala ini dapat diatasi secara bertahap. Selain itu, lembaga-lembaga tersebut bisa mengakomodasi sekaligus menjembatani penerbit Indonesia untuk bekerja sama dengan penerbit manca. Dengan begitu, pasar sastra (Indonesia) akan berubah?
***

*) Kedung Darma Romansha, sastrawan dan aktor, tinggal di Jogjakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *