SEBUAH RUMAH BAGI TUAN GRASS

Sri Pudyastuti Baumeister
Koran Tempo, 26 Juli 2009

Pemerintah Kota Labeck menghadiahkan sebuah rumah bagi Gunter Grass untuk memajang karya-karyanya. Apa saja isinya?

Rumah berlantai dua itu berdiri di antara gedung-gedung berarsitektur Renaissance yang terletak di Jalan Glokenengiesser, Labeck, Jerman. Gunter Grass Hauss, demikian namanya, bukanlah rumah sang pengarang terkenal itu, tapi tempat pameran karya-karyanya.

Di depan pintu masuk, pada dinding berwarna abu-abu terpampang kilasan biografi sang pengarang, mulai dari lahir sampai di usianya yang ke-70. Di depannya lagi terdapat taman mungil dengan dekorasi karya monumental Grass, berupa patung perunggu setinggi 220 sentimeter, Butt im Griff (Ikan Flounder dalam Genggaman) dan Zwei Kapfe (Dua Kepala).

Di sini pengunjung dapat mengenal lebih dekat sang penerima Hadiah Nobel Sastra pada 1999 itu. Grass adalah seniman, tapi juga politikus, pemusik dan belakangan dikenal jago masak. Selain pengarang buku, penulis puisi, drama dan teater, ia adalah pematung, pemahat dan ahli seni grafis.

Ia juga menerima penghargaan lain setingkat Nobel, seperti hadiah sastra Le meilleur livre a tranger dari Prancis dan hadiah budaya Prinz-von-Asturien dari Spanyol. Dengan latar belakang itulah, Yayasan Kebudayaan kota Labeck, Jerman, meresmikan Gunter Grass Haus ini tepat di hari ulang tahun Grass yang ke-75 pada 16 Oktober 2002 lalu.

Saat Tempo berkunjung ke sana pada awal Juli lalu, terlihat bagian dalam rumah itu nyaman dan tertata apik. Di sana Grass menggelar film yang diangkat dari bukunya yang pertama (terbit pada 1959) dan meledak di seluruh dunia, Die lechtromel (Genderang Kaleng). Film itu terus diputar sepanjang hari.

Film hitam-putih itu berkisah tentang Oskar Matzerath, seorang bocah dengan drum kesayangannya, yang menolak menjadi dewasa pada ulang tahunnya yang ketiga. Dia selalu memukul genderangnya dan akan memukulnya lebih keras bila dunia di sekitarnya makin kacau. Ketika Jerman dikuasai Nazi dan pecah perang pada 1930-an dan 1940-an, Oskar terus menerus memukul genderangnya dengan liar. Hanya setelah invasi Uni Soviet di akhir perang, ketika satu-satunya anggota keluarganya yang selamat terbunuh, dia memutuskan untuk jadi dewasa. Film yang disutradarai Volker Schlondorff ini menyabet penghargaan Palm d’Or pada festival film Cannes pada 1979 dan piala Oscar untuk film asing terbaik pada tahun yang sama.

Yang unik, puisi-puisi Gras ternyata tak sekadar berupa rangkaian kata-kata indah. Seluruh puisi yang dipajang berpigura di rumah itu ditulis tangan di atas goresan sketsa, litografi, bahkan foto dan grafis. Seperti sajak berjudul Letze Tanze (Tarian Terakhir), Geteert und gefeedert (Beraspal dan Berbulu) danLiebe gepraft (Bukti Cinta). Karyanya menyegarkan mata dan hati, kata seorang pengunjung.

Lulusan sekolah seni di Dasseldorf dan Sekolah Tinggi Seni di Berlin ini bahkan juga menggunakan materi yang belum populer di masanya dalam berpameran, seperti plastik dan kapur merah.

Selain rangkaian lukisan cat air hitam putih dan warna, Grass juga memajang sketsa potret dirinya, seperti mit Handschuh nachdenklich (Dengan Sarung Tangan Terpekur), selbst mit Matze und Unke (Diriku dengan Topi dan Katak) dan ich als koch (Saya Sebagai Tukang Masak).

Grass memang piawai menggambar dirinya. Pengarang berkaca mata tebal yang bergaya konservatif dan berkumis lebat, gemar berpeci baret, makan ikan dan pintar masak itu gampang dikenali lantaran tangannya tak pernah lepas dari pipa rokok dan tangannya yang lain masuk ke dalam saku bajunya. Sketsa yang digoresnya jelas menampilkan guratan-guratan wajahnya yang merangkak ke usia 83.

Kegemarannya memasak dan makan ikan terekam di sebagian karya-karyanya, seperti terlihat pada goresan sketsanya yang berjudul selbst mit Butt und Federn (Diriku dengan Ikan Flouder dan Bulu Burung), atau litografi Fischkfe (Kepala-kepala Ikan). Juga goresan sketsanya di atas lempeng tembaga Hai aber Land (Ikan Hiu di Atas Permukaan) dan Frau mit Fisch (Perempuan dan Ikan). Ia juga menulis buku dengan nuansa ikan, seperti Der Butt (Ikan Flounder). Dan, dengan keahliannya itu pula, semua ilustrasi sampul buku-bukunyanya dibikin sendiri oleh Grass.

Di bagian tengah ruangan terdapat beberapa meja kecil dengan tiga laci pipih berkaca yang berisi contoh tulisan-tulisan tangan Grass sebelum diserahkan ke penerbit. Jadi, begitulah rupanya cara kerja Grass jika ia menulis buku. Alur cerita digarap dengan tulisan tangan. Sebelum ada komputer, Grass menyerahkan draf tulisan itu ke sekretarisnya untuk diketik, baru kemudian diserahkan ke penerbit.

Konon Grass sendiri lebih suka bekerja dengan mesin tik daripada komputer. Selama hidupnya ia punya tiga mesin tik. Mesin tiknya yang pertama bermerek Olivetti warna hijau, yang dipinjam dari temannya, Wolfgang Bergmann, ikut dipajang di rumah ini. Satu lagi ada di tempat peristirahannya di Mon, Denmark, dan yang lain di ruang kerjanya.

Setiap Rabu, Grass bekerja dari pukul 13.00-19.30 di ruang kerjanya yang juga berada di rumah ini. Dia ramah, tapi jarang menyapa kami kalau tidak perlu, kata Yosef Buse, pegawai di situ.

Meski usia Grass sudah lebih dari delapan dasawarsa itu, menurut Buse, ia masih produktif. Beberapa buku barunya ditulis di situ, seperti Dummer August (2007), Die Box (2008) dan Unterwegs von Deutschland, buku setebal 256 halaman yang diterbitkan Januari lalu.

Hari-hari lainnya, Grass, yang pernah ke Jakarta dalam rangkaian kunjungannya ke negara-negara Asia pada 1978, lebih banyak menghabiskan waktunya bersama istrinya, Ute Grunert, dan Minka, anjingnya. Mereka tinggal di desa Beelen, sekitar 30 menit naik mobil dari Kota Labeck.

Satu dari empat anak Grass dari seorang wanita pelukis dan arsitektur yang tidak dinikahinya, Helene Grass, mengikuti jejak bapaknya sebagai seniman di Prancis. Mereka berdua membuat pertunjukkan di Paris berupa pembacaan buku literatur Jerman kuno abad ke-18, Des Knaben Wunderhern (Anak Kecil Menakjubkan). Kisahnya itu tampil di kilasan otobiografi Grass dalam bentuk film dari sebuah televisi berukuran besar di bagian depan rumah ini.

Di sebelah pintu masuk rumah tersebut terdapat toko yang menjual semua karya-karya Grass, seperti buku, audiobook, kartu pos bergambar sketsa atau lukisan Grass, serta patung-patung hasil pahatannya. Di bagian bawah patung perunggu yang dibuat seukuran dekorasi meja itu diberi nomor dan ditandatangani Grass.

Benda-benda seni ini amat mahal harganya, seperti replikasi Butt im Griff harganya 3.200 euro (hampir Rp 45,5 juta), dchen mit Rattin hampir Rp 60 juta, dan Zwei Kache mencapai Rp 68 juta. Pegawai toko itu pun harus memakai sarung tangan untuk memegangnya. Benda seni ini bernilai tinggi, jadi mesti hati-hati memegangnya agar jangan sampai tergores kuku, kata Nicole Werner, pegawai toko di situ.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *