BAHASA PUISI
Aku adalah seorang penyair
: itu katamu
berbicara tentang slogan-slogan kebenaran
tapi masih bermain proposal untuk eksploitasi
menceritakan kisah sedih para pelacur
tetapi masih suka download bokep
aku adalah seorang pelukis
: itu katamu
mengurat sedihnya ibu-ibu mengais rejeki
tapi lupa tanggal lahir ibunya
membuat mural sana-sini
tapi meninggalkan jejak sampah di mana-mana
kau kah itu seniman?
aku adalah seorang imam
: itu katamu
menyebar kotbah tentang indahnya surga
dirusuh mati dulu, tak mau juga
menderma cerita kitab suci
matanya masih melirik sana-sini
kau kah itu penghuni surga?
aku hanyalah pelacur
meninggalkan anak yang masih terjaga di kasur
melupakan dongeng cerita tidurnya
aku selalu mencari di mana tuhanku
tuhanku agamanya apa?
apakah tuhan punya agama?
apakah aku masuk surga?
surga sudah dipenuhi penyair, pelukis dan para imam
aku sudah dinanti koruptor, maling ayam
maling sandal yang digebuki orang sekampung
mereka menantiku di neraka
: itu katamu
percayalah aku masih punya tuhan
tuhanku memang tak punya agama
karna tuhan memang tak punya agama.
Lubuklinggau, 18 Maret 2021
SANG PENGHIANAT
Aku sebut sapi
rumput bukan lagi makanannya
segala yang haram di surga
dilahapnya habis
kalaupun rumput
belinya memakai dolar
kotorannya juga bukan teletong
disimpan rapi dalam plastik
dijual murah pada tuannya
untuk dibagikan pada pengikut-pengikut tuannya
yang juga sapi
hidungnya ditarik tuannya
apapun menurut saja
karna mau menjadi sapi
maka berkorban pada sang tuan
tuannya lebih gila dari sapi
haram tidak ada lagi
halalnya
haram yang dihalalkan
menjadi sapi
harus bisa menjaga sang tuan
salah tidak ada lagi
benarnya
salah yang dipaksakan benar
sapi…sapi
dipotong tak mau
dikorbankan tak mau
maunya menjadi kotoran bagi tuannya
sang tuan menyimpan kotoran
sapi dan tuannya
sama saja
penghianat negara
menjual alat negara
kursi
bangku
tiang bendera
gambar burung garuda
foto presiden dan wakil presiden
dijual habis laris manis
dan tuannya tertawa terbahak-bahak
“pintar sekali kamu sapiku”.
Lubuklinggau, Desember 2015
MASIH ADA BAPA
Seperti apa wujud bapa,
jika katamu bencana ini adalah murkanya
melipat kata-kata penciptaan
menggulung cerita atas rencana yang telah terjadi
menindih dasyatnya kemuliaan
menagislah bapa
bila kau tak percaya dengan cintanya,
abadi tak membedakan murkanya cintamu padanya dan saudaramu
masih ingatkah saat dia mencarimu
di sudut-sudut kota yang gersang tak bertuan,
mencari tubuhmu yang hancur
dan jiwamu yang berlari entah di mana
: ya, karna itulah dia, mencari ruh-ruh yang tercecer di kerasnya batu
buka saja lipatan kata-katamu,
bahwa dia menciptakan kita bebas seperti burung yang bertaburan di langit,
tebahkan kembali gulungan cerita itu
yang masih mengisahkan harum semangatnya dan terus bermekaran,
walaupun terkadang kita harus menderita,
dan angkatlah tinggi-tinggi kecintaanmu
selayaknya kita harus menjaga dan mencari
ruh-ruh harapan yang masih tercecer.
Lubuklinggau, Januari 2015
SAHABAT SETIA
Seperti roh yang pernah diberikan ilahi pada kita
begitulah kita harus merelakan senyum pada alam
membiarkan mereka kapan hendak menari dan berdiam diri
seperti kecintaan ilahi pada kita
begitulah kita menemani alam dengan segala kerelaan
bahkan ilahi pun tetap bersahabat, kala kita menghojat
janganlah ingkar bila alam menghentakkan amarahnya,
karna kita lupa menyayanginya.
Lubuklinggau, Januari 2015
TROTOAR MATI
Kakiku terus berjalan
tetapi mata kutitipkan
di hari kemarin
mataku berdiam
menunggu jawaban
dari trotoar hening.
Lubuklinggau, 4 Februari 2021
HIDUPLAH DALAM JALANMU
Jangan takut untuk meninggalkan
kecintaan orang-orang akan jalan hidup itu
bila hatimu mempunyai kecintaan hidup sendiri
saat kau benar-benar hadir
dan bernafas dari jalanmu sendiri,
maka hidupmu benar-benar hidup
dirimulah yang memang beda
tapi nafasmu tetaplah serupa mereka.
Lubuklinggau, Januari 2015
LAMBAIAN SENYUM
Separuh luka di gerai rambutmu
telah mengerutkan kecintaanku padamu
Tapi kini rambutmu telah melambaikan
senyum di seluruh tubuhku,
maka… hadirlah di mimpi-mimpiku.
Lubuklinggau, Februari 2021
SURGA PENCARI SURGA
Orang-orang mencari surga
di dalam gereja
dengan memonopoli hosti
orang-orang mencari surga
di rumah retret
berjam-jam meditasi bertemu Tuhan
orang-orang mencari surga
di panti asuhan
menderma harta dan berita
orang-orang mencari surga
di mimbar-mimbar doa
menabur stipendium bagi gereja
aku tak kebagian hosti lagi
aku tak bisa meditasi, doaku pun sangat hina
hartaku hanya untuk makan esok hari
wujud syukurku hanya dengan doa malam
terima kasih Tuhan.
Lubuklinggau, 1 Februari 2021
HENING DI ATAS TROTOAR
Aku berjalan di trotoar
menyapu senyum yang masih ku tinggal
menyapa hamburan burung di udara
seolah tak tahu rasanya sunyi
: tapi aku merasakan keceriaanmu kawan
trotoar sudah menjadi pasir
aku mencari keceriaanku yang telah tertabur di atasnya
benar-benar lupa di mana meletakkannya
: tapi aku masih bisa melihat kenangan itu
mengorek ribuan pasir dengan jemariku
mencari senyum yang masih tersisa
: nyatanya, belum juga ditemukan
khayalan pasir kini pudar
hening kaki di atas trotoar masih bertahan
membaca gerak bibir orang yang mencibir
menutup wajah dengan untaian rambutku
meski mereka masih juga mengenaliku
: tapi kalian tak tahu, seperti apa ini hening,
bahkan burung sekalipun
trotoar ini masih panjang
entah di mana ujungnya
masih tersimpan rapi
di mana aku menitipkan kecerianku
: tapi lupa entah di tumpukan pasir yang mana
selamat berjuang keheningan
aku masih setia menemanimu.
Lubuklinggau, 1 Februari 2021
GERIMIS SORE
Gerimis yang terjatuh sore ini
berjatuhan di atas dedaunan
depan rumahku
melunturkan debu yang menutup rindu
melunturkan kotoran
yang selama ini menyelimuti mimpi-mimpi
aku tersenyum ceria
bersama anak-anak yang berlarian
kepala mereka tengadah
menunggu gerimis yang menjatuhi
wajah-wajah canda
lalu berebut setetes air dari tangan-tangan kotor
gerimis sore ini
membawaku pada hari yang masih jauh
mengejar kencang dengan keringat tanpa lelah
berharap nanti
: mimpi itu akan teraih.
Lubuklinggau, 1 Februari 2021
CERITA DALAM KOPI
Pagi ini,
kopi sudah mengharum
serbuknya sudah berjajar di ujung bibirku
bahkan ada yang terselip di gigi
memang tak ada gula
karna inilah minum kopi
di dalam kopi aku melihat
anak-anak berlari menggendong tas sekolah
tapi tak menggunakan seragam
menggunakan masker
berjalan berbaris berjarak
: kato Emak, “dak boleh sentuhan”
belum habis kopi secangkir
anak-anak sudah pulang
berlari berkejaran
rebutan beli pop ice
: kato Emak, “dak boleh nyicip punyo kawan”
satu anak berjalan ditinggal kawannya
melewati kawannya yang masih menunggu blender berputar
melirik dan kini meninggalkan kawan-kawannya
: kato Emak, “dak katek duit Emak”.
Lubuklinggau, 6 Februari 2021
Keterangan:
kato Emak, “dak boleh sentuhan” : kata Emak, “tidak boleh sentuhan”
kato Emak, “dak boleh nyicip punyo kawan” : kata Emak, “tidak boleh mencicip punya kawan”
kato Emak, “dak katek duit Emak” : kata Emak, “tidak punya uang Emak”
***
Denny Ketip, lahir di Kota Lubuklinggau. Mulai menulis sejak kuliah di Yogyakarta, saat menekuni dunia teater dan susastra. Karya-karya puisinya pernah muncul beberapa kali di Majalah Kuntum dan Harian Bernas. Cerpen-cerpennya dimuat di Majalah Hidup, Majalah Komunikasi, dan Linggau Post. Buku pertamanya kumpulan cerpen “Donggeng untuk Nara.” Sewaktu masuk Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias, beberapa buku diterbitkan bersama anggotanya. Kini aktif di Sanggar Seni Saraswati bersama kawan-kawan kota kelahirannya.