Muhammad Yasir
Baru sehari saya tiba di Surabaya, Nurel Javissyarqi – seorang suheng-ku dalam dunia Sastra Kita – segera menyeret saya masuk ke dalam sebuah grup Whatsapp yang bertajuk “Sastra Jawa Timur”(?) dengan alasan grup tersebut adalah wadah menuju sebuah pagelaran sastra di Sidoarjo dalam waktu dekat ini. Nurel lantas menelepon saya dan kami bersepakat akan jumpa dalam acara itu. Kemudian, dari grup itulah saya membaca sebuah “Pernyataan Terbuka!” A.S Laksana a.k.a Sulak – seorang Sastrawan kenamaan yang dianggap luhung karena karya-karyanya nyaris setiap pekan mengisi kolom koran cetak – menjadi perbincangan biasa saja di dunia Sastra Kita.
Dengan terpaksa, saya pun melakukan pembacaan terhadap pernyataan yang melelahkan itu. Saya merasa Sulak melakukan politik cuci-tangan atas apa yang ditulisnya sebagai “menggunakan nama saya agar diterima redaktur koran”. Pola semacam ini tentu saja basi sekaligus menjijikkan bagi seseorang yang konon dianggap luhung. Ada anggapan bahwa Sulak terserang syndrome-narsistik. Ada juga anggapan Sulak melakukan penipuan publik pembaca Sastra Kita dan seterusnya. Benarkah?
Terang sudah, Sulak telah melecehkan seseorang “yang dituduhnya” itu dan juga koran sekaliber Jawa Pos yang menerbitkan cerita pendek “Bidadari Bunga Sepatu” itu. Dan, sampai di sini, Sulak telah melucuti dirinya sendiri. Dalam kondisi mengerikan seperti sekarang ini, riilnya orang-orang memang hidup dalam ancaman kematian sekaligus rentan terperangkap dalam ekosistem kapitalisme. Tentu saja, honor cerita pendek di Jawa Pos yang berkisar 900 ribu hingga sejuta rupiah itu akan membantu untuk bertahan hidup.
Apakah harus Sulak melecehkan kehormatan orang lain agar kehormatan dirinya bisa berkamuflase, apalagi seseorang itu adalah murid yang menganggapnya sebagai “guru” dalam berproses kreatif? Tidak adakah cara lain seperti menjual koleksi bukunya sendiri? Sesungguhnya, Rupiah telah membuat Sulak kalap mata, sehingga secara sadar melakukan tindakan yang diharamkan dalam dunia Sastra Kita itu. Terbesit di benak saya tentang nasib si “yang dituduh” itu. Bagaimana pun, kehormatannya sebagai seseorang yang ingin bisa menulis telah dientaskan ke publik demi honor beberapa rupiah itu!
Karena tabiat buruk Sulak ini, baru saja saya membaca maklumat dari Jawa Pos, begini:
“BERKAITAN dengan penerbitan cerita pendek (cerpen) berjudul Bidadari Bunga Sepatu di Jawa Pos Minggu (6/6) dan unggahan A.S. Laksana di media sosial, redaksi Jawa Pos perlu memberikan penjelasan dan pernyataan terbuka sebagai berikut.
1. Cerpen tersebut dikirimkan ke redaksi Jawa Pos dan dinyatakan secara tertulis sebagai karya A.S. Laksana.
2. Tidak ada penjelasan, baik dalam komunikasi dengan redaktur maupun di catatan kaki, yang menyebutkan bahwa cerpen itu merupakan karya kolaborasi A.S. Laksana bersama Afrilia.
3. Redaksi Jawa Pos memilih cerpen berjudul Bidadari Bunga Sepatu untuk diterbitkan dengan hanya mempertimbangkan kualitas karya.
4. Pernyataan A.S. Laksana bahwa redaksi Jawa Pos mempertimbangkan nama penulis dalam pemuatan karya merupakan opini pribadi dan tidak mencerminkan fakta serta kebijakan redaksi Jawa Pos.
5. Unggahan A.S. Laksana di media sosial yang menyatakan ”mengembalikan cerpen Bidadari Bunga Sepatu kepada penulis aslinya, Afrilia” menjadi dasar bagi redaksi Jawa Pos untuk menyatakan bahwa tulisan tersebut merupakan hasil plagiarisme, yakni pengambilan sebagian atau keseluruhan karangan (karya) orang lain dan menjadikan (menyatakan) sebagai karangan (karya) sendiri.
6. Berkaitan dengan pelanggaran norma tersebut, redaksi Jawa Pos sangat menyesalkan dan menyatakan mencabut cerpen Bidadari Bunga Sepatu tersebut.
7. Redaksi Jawa Pos berkomitmen mendorong munculnya penulis-penulis muda untuk berkompetisi secara terbuka dengan mengutamakan integritas dan kualitas karya.
Redaksi”
Baca dengan seksama poin ke empat ini “Pernyataan A.S. Laksana bahwa redaksi Jawa Pos mempertimbangkan nama penulis dalam pemuatan karya merupakan opini pribadi dan tidak mencerminkan fakta serta kebijakan redaksi Jawa Pos”. Poin ini sudah semestinya menjadi tamparan menohok bagi Sulak, Jawa Pos, dan penulis-penulis yang menjadikan koran sebagai kiblat kualitas karya atau klimaks estetiknya, agar pernyataan klise seperti “Redaksi Jawa Pos berkomitmen mendorong munculnya penulis-penulis muda untuk berkompetisi secara terbuka dengan mengutamakan integritas dan kualitas karya” tidak menjadi hipokrit belaka.
***
Setahuku penulis luhung itu dari Gresik, bukan Jakarta. Mardiluhung. Iya kan, Rel? ?
Hok oh hehehe…