DARU PAMUNGKAS: DARI NOL SASTRA HINGGA BERDAYA DENGAN BUKU

Gol A Gong *

Suatu hari di ujung Desember 2020, Komunitas Anjing Gurun membedah calon cerita pendek berjudul “Serban Pak Kiai” karya Daru Pamungkas di Cafe Rendez-vous Rumah Dunia. Setelah itu, saya membaca cerpennya, karena tertarik dengan judulnya.

Ide cerpennya bagus. Ini bisa dimuat di halaman sastra koran Minggu yang diagung-agungkan para penulis. Tapi ada banyak kelemahan di alur cerita, konflik kurang, dan dialog para tokoh lemah. Saya panggil Daru ke ruang kerja.

“Cerpenmu ini bagus. Mau nggak dimuat di koran Minggu yang ada di Jakarta?”

Daru sangat antusias.

“Baiklah. Mari kita mulai membedahnya, paragraf demi paragraf,” kataku.

Kami membedahnya. Daru tekun mendengarkan. Sesekali dia mengutarakan pendapatnya, kenapa harus ada dialog seperti yang dia tuliskan. Juga soal diksi dan majas.

Saya mengajaknya berpikir tentang karakter seorang kiai, masyarakatnya, kampungnya, gaya berbicaranya. Saya juga mengingatkan dia, kira-kira setting lokasinya seperti di kampung mana di Indonesia.

“Saya tunggu revisiannya. Seminggu.”

Ketika waktunya tiba, saya membaca cerpennya lagi. Kami berdiskusi lagi. Revisi sekali lagi.

“Dikirim ke koran mana, Mas, cerpen saya?”

“Coba kamu baca lagi halaman sastra koran yang terbit di Jakarta. Nanti kamu akan tahu, cerpenmu itu cocok dikirim ke koran mana.”

Di akhir Januari 2021, Daru mengabarkan dengan gembira, “Alhamdulillah, Mas! Cerpen saya dimuat di koran Republika!”


Saya senang melihat cerpen dan namanya terpampang di koran Republika. Begitulah sejatinya Rumah Dunia: menyiapkan pembaca dan penulis di masa depan untuk negeri ini.

Kata saya gembira, “Sekarang nulis lagi.”


Sudah 5 bulan berselang. Sebelum saya ke Jakarta mengikuti Perpusnas Writers Festival, 14-18 Juni 2021, Daru mendekati. “Mas, setelah jadi Duta Baca Indonesia, pasti sibuk, ya…”

“Kenapa?” saya penasaran.

“Saya nulis cerpen lagi.”

Saya tersenyum dan mengangguk, “Mari, kita berdiskusi lagi.”
***

Daru adalah peserta Kelas Menulis Rumah Dunia angkatan 26. Pada 2015, dia datang dari Bekasi dan diterima kuliah di UIN SMH Banten. Ketika SMA, hari-harinya diisi dengan menjaga toko kelontong bibiknya di Sukatani, Bekasi.

“Saya ‘nol’ sastra. Nggak pernah baca buku,” kisahnya. “Ketika teman mengajak saya main ke Rumah Dunia, saya penasaran, apa itu ‘Rumah Dunia’. Tempat apa itu.”

Dari ikut-ikutan, kemudian Daru bergabung di Kelas Menulis Rumah Dunia dan Majelis Puisi yang diasuh Toto St Radik. Dia merasa betah, karena ada ruang untuk menyalurkan bakat menyanyi bersama Firman Venayaksa. Dia juga belajar kepada semua penulis yang kami undang ke Rumah Dunia. Tiba-tiba saja Daru jadi tenggelam dengan buku dan coba-coba jadi host di akun YouTube Rumah Dunia TV.

Saya melihat keseriusannya. Saya tawari dia untuk tinggal di Rumah Dunia jadi relawan. Dia menerimanya tanpa berpikir lagi. Sambil kuliah dia menyapu halaman Rumah Dunia, mengurusi kegiatan reguler Rumah Dunia, memenuhi undangan warga di desa-desa dengan mobil Perpustakaan Keliling Rumah Dunia, dan menjadi pelayan bagi orang-orang yang ingin belajar di Rumah Dunia. Setiap malam dia membacai buku-buku yang ada di rak rumah dunia.
***

Enam tahun berlalu. Dia beberapa kali memenangi lomba menulis esai. Hadiahnya bisa untuk mengongkosi kuliahnya. Sekarang dia jadi wartawan koran Radar Banten. Satu novel berhasil ditulisnya: Purnama di Citarum. Sedang S2 di Untirta Banten. Juga dipercaya jadi host di Podcast Radar Banten.

Di Rumah Dunia banyak orang seperti Daru, yang dalam 5 hingga 10 tahun berkembang kualitas hidupnya gara-gara buku. Karya esai, puisi, dan cerpen mereka menghiasi koran lokal dan nasional. Ada pedagang gorengan jadi wartawan Banten Raya Pos, pemulung jadi editor di MNC Group, anak kampung di Banten Selatan jadi tim kreatif di Gramedia majalah, anak petani menempuh pendidikan S2 dan S3 di Leiden, yang jadi diplomat, yang membangun media online, jadi YouTuber, yang bekerja di TV lokal, yang membuka usaha penerbitan dan production house, yang jadi diaspora di luar negeri… Mereka memiliki keterampilan menulis. Mereka berdaya dengan buku.

Saya, Toto St Radik, dan kini Firman Venayaksa, menemani mereka belajar jurnalistik, sastra, musik, dan film. Menyemangati mereka. Mengikuti mereka. Membebaskan mereka untuk jadi diri sendiri dalam berkarya. Tapi yang paling penting dari semua itu: jiwa kerelawanan. Ingat, manusia jika mati hanya meninggalkan tiga perkara: anak yang soleh, ilmu yang bermanfaat, dan amal jariyah.

Jl. Jaksa, Jajarta, 15 Juni 2021

*) Penulis adalah Duta Baca Indonesia.

Keterangan foto:
1. Ilustrasi cerpen Serban Pak Kiai karya Daru Pamungkas di koran Republika edisi Minggu, 31 Januari 2021
2. Daru Pamungkas menghadiri Perpusnas Writers Festival, Senin 14 Juni 2021 di Perpusnas RI, Jl. Merdeka Selatan, Jakarta Pusat.

Leave a Reply

Bahasa ยป