Memperingati Haul Sultan Hasanuddin ke 351

Sultan Hasanuddin (12 Januari 1631 – 12 Juni 1670)


Husni Hamisi

Para sahabat yang budiman, tulisan panjang ini adalah hutang rasa juga ilmu yang tak bisa terbalas selain doa dan fatihah kepada almarhum Karaengta Baso Lewa bin I Pontobatu Karaeng Buakana bin I Mangi Mangi Karaeng Bontonompo Somba ri Gowa. Sebab kami sempat menemani diakhir-akhir hayat beliau, sebelum Karaeng Baso Lewa wafat, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang, yang sedikit banyak mengajarkan kepada kami “ilmu hidup” dari kakek-kakek beliau yang bersambung silsilah ilmu seterusnya ke atas, yakni Sahibul Haul Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Ballapangka’na, wausulihim wafuruihim, AlFatihah…

Sebagaimana yang telah tercatat dengan tinta dan air mata cinta dalam lelembaran sejarah, baginda Sultan Hasanuddin ialah anak Raja Gowa ke 15, Yang Mulia Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Muhammad Said Tumenanga ripapanbatunna, dan ibunda baginda I Sabbe To’mo Lokuntu merupakan putri bangsawan juga seorang syarifah / keturunan Nabi Muhammad Saw dari Kerajaan Laikang, daerah Takalar sekarang, dulunya- sebuah kerajaan kecil yang merupakan sekutu Kerajaan Gowa.

“Dari manakah informasi, bahwa ibunda yang mulia baginda Sultan Hasanuddin keturunan Nabi Saw? Berdasarkan sumber lontara yang diwariskan turun-temurun oleh anak cucu keluarga beliau, Karaeng Bate Manriwa Gau’, yaitu admin grup sejarah Makassar.”

Nama lengkap Yang Mulia Somba lahir tanggal 12 Januari 1631 ini adalah Muhammad Baqir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Muhammad Baqir, merupakan nama pemberian disaat baginda aqikah dari Qadi Kesultanan Gowa kala itu, yakni Maulana Syekh Sayyid Jalaluddin bin Ahmad Bafaqih al Aidid, seorang mursyid Thoriqah Baharunnur Ba’alawi yang datang dari Aceh, selanjutnya menggantikan peran dan tugas Syekh Abdul Ma’mur, kemudian digelari Dato ri Bandang – ulama besar yang wafatnya dimakamkan di Bandang daerah Tallo – dari Minangkabau yang wafat beberapa tahun sebelumnya.

Dato ri Bandang bersama kedua sahabatnya, Dato di Tiro di Bulukumba dan Dato Suleiman / Dato Patimang, dimakamkan di Luwu, merupakan murid spritual dari waliyullah Sunan Giri ke 4, Baginda Sunan Prapen, yang menjabat pada tahun 1548-1506 Masehi di Giri Kedaton Gersik, Jawa Timur.

Dakwah Dato ri Bandang dengan izin Karaengta Marajae Allah Swt dan berkah Rasul-Nya Saw, berhasil mengislamkan secara damai Raja Tallo masa itu, Sultan Abdullah awalul islam, I Malingkang Daeng Manyonri Karaeng Matowayya, seorang raja yang kharismatik, ahli karomah, raja perkasa yang memiliki gelar di medan perang bersebut “Macang keboka ri Tallo atau Macan putih dari Tallo” ini, mempunyai hubungan bilateral dagang yang bebas aktif serta luas, mulai dari mendirikan perwakilan dagang di Banda, di Manila Philipina, di Macao dan Malaka yang dikuasai Portugis.

Dato ri Bandang juga mengislamkan Raja Gowa, Sultan Alauddin, I Manggarangi Daeng Manrabia – Somba ri Gowa, kemudian saling bahu-membahu dengan kedua raja ini menyebarkan Islam di seluruh daratan Sulawesi Selatan. Semoga Allah Swt menanamkan rasa cinta dan terima kasih kami serta anak cucu selamanya kepada para beliau, nama-nama yang kami sebutkan, Radiallahu anhum.
***

Tatkala baginda Somba ri Gowa Sultan Alauddin bertahta, beliau mewariskan keputusan yang sangat terkenal ketika berhadapan dengan kebijakan politik monopoli dagang VOC Belanda, yang kemudian menjadi visi garis haluan kerajaan yang diwariskan kepada raja-raja selanjutnya. Warisan titah beliau yang tercatat pada lontara:

“Tuhan yang Maha Kuasa telah menciptakan bumi dan lautan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh manusia, tidak pernah terdengar seseorang dilarang berlayar di lautan. Dan jikalau Belanda melakukan larangan ini, itu berarti Belanda telah mangambil paksa makanan di mulut orang lain”. (Massiara, 1988 : 52)

Somba ri Gowa Sultan Alauddin dimasa tuanya lebih fokus dalam pengajaran serta penyebaran agama islam di Bontoala, sedangkan soal urusan kerajaan sebagian besar didelegasikan kepada anaknya, Daeng Mattola Muhammad Said yang kelak menjadi Sultan, sepeninggal baginda – ayahanda dari tokoh Sultan Hasanuddin yang kita peringati haulnya ini. Lantaran itulah, saat baginda Sultan Alauddin wafat, beliau juga disematkan gelar Karaengku’ tumenanga ri agamana’ / Raja yang berpulang dalam kesempurnaan agamanya. Rahimallahu alaihim.

Perlu dicatat, semasa Sultan Alauddin dan Mangkubuminya Sultan Abdullah bertahta, berdatanganlah para muballigh ke kerajaan islam Gowa -Tallo, sebagaimana tercatat di lontara-lontar, seperti ulama besar yang datang adalah Syekh Srinaradireja bin Abdul Ma’mur dato ri Bandang, ulama besar yang ahli karomah sekaligus ahli silat, beliau datang mengikuti jalan bijak yaitu wasiat surat ayahandanya, Dato ri Bandang untuk membantu perjuangan beliau dalam berdakwah di kerajaan Gowa-Tallo. Kelak saat wafatnya, wali besar inilah yang bergelar “Dato ri Pagentungan”.

Dato ri Pagentungan datang bersama sahabatnya, Syekh Abdurrahim yang berdakwah di wilayah Antang, ketika wafatnya terkenal dengan gelar “Tau assayanga I Lo’moka ri Antang”, juga Syekh Maulana waliyulilmi, ahli karomah, Sayyid Ba’alawi bin Abdullah Al allamah At Thohir di Bontoala – Mereka semua kelak sebagai guru Tuanta salama Syekh Yusuf al Makassary al Banteni saat usia muda. Semoga nantinya, saya diberi kesempatan lapang menceritakan kisah khusus para beliau ini dalam versi pengetahuan saya – radiallahu anhum.

Bersambung…

One Reply to “Memperingati Haul Sultan Hasanuddin ke 351”

Leave a Reply

Bahasa »