PENANTIAN DAN HUJAN YANG PANJANG

Taufiq Wr. Hidayat *

“Tunggulah aku di ujung jalan itu,” kata seseorang pada kekasihnya.

Alangkah dalam suatu penantian. Dan kenapa seseorang harus menanti? Mungkin di situ bersama hujan, lampu-lampu malam, rumah yang jauh. Dan hujan yang terasa panjang. Seseorang merindukan pulang. Pada ibunya. Ingin kembali berbaring di kasur masa kecilnya, membayangkan wajah entah siapa. Dingin. Malam yang sampai di pedalaman kenangan. Kesendirian yang tak terpecahkan. Waktu mendetak. Segalanya terus menerus berubah, berganti, bertukar keadaan. Tetapi kenapa seseorang harus menanti janji, meski merasa itu mustahil? Lalu harapan? Janji pun disimpan dalam ingatan, dibungkus di dalam waktu. Hidup terus dijalankan.

Perihal janji dan penantian, percintaan dan absurditas, Iwan Simatupang menulis cerita “Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu”. Cerita tersebut termuat dalam Majalah Sastra 1/7 1961. Sahdan seorang suami membeli rokok pada sebuah warung. Dia meminta sang istri menunggu di pojok jalan itu. Tetapi sejak detik itu, sang suami tak pernah kembali. Ia menghilang sampai 10 tahun! Tanpa kabar. Lenyap!

10 tahun kemudian, seorang suami dalam kisah Iwan Simatupang tersebut kembali datang ke pojok jalan itu menemui istrinya. Dan ganjil, sang istri tetap menunggu seperti sedia kala di pojok jalan itu, seperti saat ditinggalkan pada 10 tahun yang lalu! Ia tetap di sana bagai seorang pertapa. Apakah ia menanti? Dan apakah penantian yang barangkali dipenuhi kegelisahan dan kecemasan yang tak terjelaskan selama 10 tahun itu wujud kesetiaan cinta?

Tapi perempuan itu bukanlah seorang pertapa yang diam saja bagai batu di hantam segala keadaan. Ia manusia yang wajar, yang bergerak, dan hidup. Bukan batu. Keduanya yang telah terpisah 10 tahun lamanya itu pun bermesra-mesra, melepas rindu. Dan masih seperti dulu. Tapi saat sang suami mengajak istrinya tidur, si istri memasang tarif! Dia bukan lagi “tubuh gratis” bagi suaminya. Dia telah menjadi perempuan malam yang dapat ditiduri siapa saja dengan tarif yang diukur dengan durasi waktu.

Apakah kesetiaan? Tanya seseorang entah siapa. Tatkala kesetiaan itu tak dirawat dengan tanggungjawab terhadap kehidupan, apakah kesetiaan masih bernama kesetiaan atau janji masih bernama janji? Apakah perempuan yang menunggu dalam cerita Iwan dapat dikutuk pengkhianat?

Bagi Lenin, manusia butuh baju penutup tubuhnya, roti pengisi perutnya, dan tempat tinggal yang layak. Baru setelah itu, ia dapat berenang dalam politik, filsafat, dan agama. Apa yang Lenin sabdakan tak sepenuhnya benar. Meski tak seluruhnya salah. Pengertian “sandang” (baju), “pangan” (roti), dan “papan” (tempat tinggal) dalam kearifan Jawa adalah keharusan dasar, keniscayaan hidup yang wajar. Tetapi ada sisi lain dalam diri manusia yang melampaui kebutuhan dasar yang niscaya tersebut: harapan. Ada ketakpastian yang dijaga dalam kepastian-kepastian. Bukan belaka kesediaan untuk mencintai dan menjaga cinta dengan kesetiaan, tetapi di situ ada penerimaan. Penerimaan atas segala kemungkinan dalam diri manusia, meneguhkan diri menjaga kokohnya kesetiaan. Tanpa itu, atas alasan apa manusia harus memperjuangkan apa yang dicintainya? Orang bersimpati pada penderitaan adalah wajar. Tetapi jika simpati itu hanya sebatas pengungkapan-pengungkapan tanpa kebersediaan menerima penderitaan dalam kebersediaan berbagi atau “menjadi kami” yang melahirkan rasa senasib, simpati hanya omong kosong. Orang dijanjikan surga, beriman padanya, tetapi tak pernah berupaya merawat kehidupan dalam penjagaan. Maka janji surga yang diucapkan para pengkhotbah atau keimanan atasnya tak punya makna dan kepastian bagi yang berharap. Apa gunanya sebuah ikatan, jika ikatan itu hanya diikat oleh kepentingan yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja?

Pada laut yang menyimpan ikan, kedalaman selalu tak terduga. Manusia—bagi Nietzsche, mengarungi samudera tanpa batas. Dan ia mengarungi samudera ganas tanpa batas itu dengan sebuah perahu. Agar ia tak dihancurkan keadaan, ia harus terus menerus memperbaharui perahunya. Perubahan terus menerus itu tak lain demi kekokohan untuk menetap pada pelayaran yang tak pernah memiliki tepian. Dalil Nietzsche itu, dalam kearifan Jawa disebutkan: “Samudro agung tanpo tepi angrambahi endi kang aran Gusti,” katanya. Bahwa kehidupan sehari-hari ibaratnya lautan tanpa tepian. Di dalam kerja dan upaya-upaya memenuhi nafkah hidup sehari-hari dengan kerja keras dan cara yang jujur, tak lain melayari samudera dengan segala keganasan dan kedalamannya yang tak terduga. Ia tak perlu menjadi apa-apa, tetapi pengabdiannya pada hidup yang membuatnya menjadi apa-apa. Tidak perlu menjadi orang pintar agama atau menjadi orang yang bangga dengan gelar keagamaan atau bentuk pengakuan apa pun untuk menjadi seorang hamba yang baik. Lantaran upaya mengarungi samudera hidup sehari-hari dengan kejujuran dan pemeliharaan terhadap kehidupan yang wajar, menegakkan cinta dengan kesetiaan, dan merawat kesetiaan itu dengan penerimaan dan tanggungjawab hidup tak lain adalah pengabdian sejati. “Sembahyang ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah, lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem, tilem kaliyan melek,” ujar kearifan Jawa. Ada sembahyang yang didirikan sambil bekerja, katanya. Ada yang duduk sambil berjalan. Namun ada yang berjalan di dalam diam, yang membisu sembari bicara, bepergian dengan tidur. Yang tidur namun terjaga.

Dan pada hujan yang panjang, penantian berkaca di balik jendela. Ia bagai al-Masih yang menahan kepedihan dunia ke dalam dirinya sendiri. “Ely, lamma sabkhtani?” teriaknya. “Kenapa Kau tinggalkan aku?” tanyanya. Namun pertanyaan agung dalam sejarah itu, seringkali hilang dari dada manusia. Ia tak dapat mendengar jeritan penderitaan di pedalaman-pedalaman keterasingan. Tetapi Neruda tak peduli. Cinta baginya adalah kesetiaan dan penerimaan yang tak selalu terjelaskan oleh kebisingan dunia. Dalam “Soneta XVII”, Pablo Neruda menulisnya.

aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar, atau batu topas,
atau panah anyelir yang menyalakan api.
Aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai,
secara rahasia, di antara bayangan dan jiwa.

Begitu katanya.

Tetapi perempuan yang menanti di ujung jalan itu, dalam kegelisahan panjang Iwan Simatupang, tak pernah membaca puisi Neruda di atas. Ia hanya melanjutkan pelayaran dalam samudera hidup sehari-hari. Ia boleh jadi benar pada satu sudut, dan salah pada sudut lain. Selalu begitulah manusia. Dan ia hanya manusia. Manusia yang dalam “Orang-orang Bloomington”-nya Budi Darma, ganjil dalam kewajarannya. Tetapi yang wajar dalam keganjilan-keganjilannya.

Gumuk Angin,Tembokrejo, 2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »