arsippenyairmadura.com, 14 Mar 2017
PEMBISIK MUSIM
setelah langit pudar dengan jejak pulang yang kulewati
membekas tanda dalam gurat telapak yang lamat-lenyap
gemuruh musim masih menantimu sebagai peladang ulung
yang melukis nasib ribuan bibit dari mimpi sunyi. kucium
nafas dan rahasia birahi yang mengaburkan angin
pada pucuk bebunga berkisar kawin di ujung waktu.
seperti mimpi kita yang riuh, menangkap musim
dalam mamaca sesak di ujung lidah yang mengiris malam
tanpa jerit mengepak dengan sayap obur ke dasar ladang
dalam sesungkup pijak, tak ada alamat retak pada daun jatuh
menanti semi yang jauh-sebentang jarak dirimu mengukur bumi
jejak hujan di tubuh telah lesap dan kering tak bersisa alir
hingga peladang pulang, nelayan kembali, menjeritkan impian
di malam hari. ribuan tangan merobek langit gelap
memintal segenap permohonan curah.
buka matamu pak, usai sudah kita meladang, terkubur dengan
tangan hampa. aku ingin panen! di padang-padang ini, meski
hanya dengan lahan doa.
sampai hujan kembali turun, ladang-ladang subur di hatimu
dan engkau menembang lagi ujung tabun ke hari tiada tepi
sampai langit yang pudar segala bunyi kembali retak oleh bisik
nasib malangku-malangmu, di sini.
Telenteyan, 2012
TELENTEYAN
-dalam sketsa
kau lukis hamparan padang kering dirundung tanah sepi-kelahiranku
yang amis membasahimu-sampai menyala mata Soksok di kuning jemari
memilih mimpi melebihi matahari. sebelum jujuk tanam mataair—
nyior-nyior lembah membentuk pemandangan luas tempat bakal kau cipta
rahasia. debu-debu dihanyut angin, dilari burung. belukar-belukar
mengais, menari, bagai rumput yang menghampar adat tersulam.
dengan mata terang, tanah dengan kebun-kebun kelapa yang merunduk
di pikul bahunya, kau tidur mengabadi lambai Poles diulur jauh pijak
yang meninggi atas hujah dari segala yang terlukis silam. entah, mereka
seperti rupa-rupa bisu mencuat penuh ritmis di tiap dataran, sesekali tempias suling
dan tembang terus berpanen agar aku lahir pada tanah tempat leluhur berkuasa
Telenteyan! nun jauh sangsai, kuceritakan muasal darah kawasan ini padamu
agar cinta tak paling sejak kapan kita lahir, datanglah lagi!
bak petuah lama, selagi peristiwa masih bersarang dan sembunyi dalam tubuh
kau pukul beduk kampung mengaku kembali sepucuk Gindaga, jujuk kami!
tentang ambisi apa yang merebus periangan agar aku dibiarkan sendiri.
Saladi, Garincang, Poles, berkepundan dan masih kasat, berdiri bagai penimba
di dalamnya aku dendang cerita kanak-kanak, kakek-nenek dari layar suku
yang berdandan alit sambil melambai meltas menjhâlin—suatu kelak kau bakal
jadi pengarang yang mulia, para penenang rahasia, pemandang sejati!
doa dan mantra kembali bersurai menjadi retakan-retakan rebana, seakan-akan
kaki langit masih sejajar dengan hasrat dan mimpi, bumi dan hati beraduk
sebagai tanah tak terpisahkan—tempat kau hikmat meniup nafas, meniti agung
tanah yang tak pernah sangsi bela bagi langkah-langkah masa seperihal damba
sampai kita lahir, hamparan padang kembali terang, kebun dan sawah bermakna
bagi panorama semesta yang tersemayam tenang ke pijaran lalang
pada darah yang terus mengalir—kini kau perhatikan, telah mewarisi segalanya.
Eyang, Eyang! serta bibir yang terus bertanya, biografi apa yang
kau sisip, antara duka dan bahagia. kini, tubuhku telah berdiri, muji seagung kambang
mengindung sila adat dari ragam rupa dan asal-sembari mengingatmu dalam catur
dalam nyanyian ibu, yang hanya menyerupa besulur Lèntè dan benih mataair
menjelma nama tanah yang mengeras dan bertahta dalam mimpi.
Longos, 2008
KIDUNG PADANG ARA
-Epak, dan kisah
Orang-Orang Gunung Bintang
1
kau membuatiku perahu dengan dayung jati
dengan segambar selat serupa bulan celurit cantik
melilit separuh batang tubuhku yang perkasa
siap mengiring cerlang langit ke batas sagara
bulan rekah bertaut sendiri, berputar kembali.
sejenak aku membayangkan engkau berbidik
bambu dan menanak buluh rebung di hilir kampung
moyang di Pinangan ketika cahaya masih menyemai
tangan kita sebagai perajut Pundu di balik tikar
menulisi jazirah pertiwi seluas-luasnya
“ engkau bisa menjadi penjaga muara atau peramal
kecil bintang segera jatuh! “
2
dan pandangmu pun selalu menyapu rambutku
yang hijaukuning di tiap dataran, di hujan abu dan panas
di mana aku pernah belajar mengikati burung, tankotan,
selesai perjalananmu paling panjang
jadi perantau atau lajang di tanah kelahiran.
ketika seorang wiro mengisahkan segala sesuatu
sengarai sukumu, aku seperti mengintip ibu kota
yang kian basah itu-serupa hamparan luas cahaya
logam-logam dan tambang mutiara-di mana mereka diajar
berlayar ke tasik, bepergian dengan kata-kata
bahasa bertani dan mengolah dayung ke samudra.
3
nasib telah memegang kendali, serumpun tanah lapang
yang kini berjajar lagi-kita yang terbiasa melihat-lihat langit
tiang-tiang Merah Putih, antara Camar Bulan-Teluk Melano
di antara siul dan layar televisi
sering membayangkan peristiwa dalam angan.
meski selamanya engkau menekuri ukir dan bidik
kursi dan meja kayu jati, juga bangku dan balai tidur
yang setiap saat teriris masa silam-jauh sebelum aku
layar perahu. enyah hidupmu ke rawa pedalaman.
4
di mana dahulu kita ladangi mimpi di amper gubuk
tanpa pelangi-beratus musim tak terselesaikan belajar
menasik, bertanya dan bercakap tentang pelayar, peladang
bertempat tinggal dan raib dijatuhi daun-daun kenanga.
di sawah, di ladang-ladang yang mereka bajaki-hidup tanah
bersama gerimis, kita yang kusuk dan terusir jatuh
dari tangkai-tangkainya, di mana kau tebar bijian padi
menjadi bidingan kresek dan potong leher sepanjang urat tangan
yang selalu dirakit untuk belajar mandiri.
entah, kini tanah seperti kembali tenggelam-pada ritmis suaramu
yang mengidung di batas labuh-perahuku yang jauh ke ufuk
sangsai jua dia lautmu, yang kau kalungkan dileherku dulu
sebagai batas dari rupa dan tutur kapal-kapal berlayar
di riak selat dan lirih suling yang berkeping-keping
menjadi tanah kelahiran tak bertepi.
Madura, 2010
A’yat Khalili, dilahirkan di Kampung Telenteyan, Desa Longos, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, 10 Juli 1990. Menyelesaikan pendidikan dasar di MI Taufiqurrahman-Longos (1997-2003), SMP Yayasan Abdullah (YAS’A) Pangarangan (2004-2006), MA 1 Annuqayah, Guluk- Guluk (2006-2009), INSTIKA (2010-2014). Mulai belajar menulis sejak pindah sekolah ke kota (SMP Yayasan Abdullah, 2005)—bergiat sebagai ilustrator di Debat-Tulis (2005-2006), dan mulai publikasi sejak di PP. Annuqayah Latee (sejak 2006) sebagai penggerak komunitas Rumah Sastra Bersama (RSB) dan Bengkel Puisi Annuqayah (BPA). Karya-karyanya berupa puisi, cerita pendek, esai, artikel dan ulasan—pernah tersebar di pelbagai media lokal dan nasional, juga banyak mendapat penghargaan.