Rembulan merah.
Dan malam mengandai kereta tua yang tak berwarna biru. Orang-orang memuntahkan cacing ke lautan, dibawa arus gelombang ke sana. Gunung telah runtuh, tinggal kepingan benam dalam samudra. Hujan tiba. Lumpur tebal memenuhi pantai. Yang dulu bening, keruh kopi susu. Merkuri dan sianida.
Para penggali meledakkan bom. Tanah bergetar. Gempa meminta pohon-pohon ditelan ke dalamnya. Seorang penguasa daerah bersantai di tepi pantai, di rumah singgah yang dipagari besi. Ia bercanda dengan lelaki tegak, lelaki yang tertawa genit, dan mengagumi kuku jarinya yang bening bagai kaca.
Di tepi pulau yang dibanjiri lumpur, gandrung melepas selendang ke pasir hitam. Menggelar tari penghabisan. Tangannya gemulai memohon bencana. Hutan yang musnah, gunung yang berkeping. Kemudian daging tubuhnya rontok. Rambutnya beterbang angin. Lumpur membenam mimpi: rumah dan kereta berwarna ungu malam hari.
Rembulan merah.
Bangku tunggu kereta, jam tua, orang-orang menghilang dalam penantian. Siapa membenam tatapan. Oh perjalanan tiada habisnya. Kopor-kopor berat, sepatu hitam, yang dicari tak ditemui.
Rembulan merah.
Dan rahang-rahang kecemasan. Segala pertanyaan lelah meminta jawaban. Mulut-mulut menganga. Hujan jatuh ke atas genting yang menghitam. Kelam. Dan berkabut.
Rembulan merah.
Orang-orang mengenakan mantel, jaket yang hitam dan payung yang hitam. Berita-berita terus mengusik hidup yang fana. Koran-koran menulis segala kejadian yang kehilangan penjelasan. Kesibukan-kesibukan datang dalam ketidakpastian.
Rembulan merah.
Dan yang menangisi kepergian, tiap datang, membawa sunyi dan repetisi. Lalu pergi lagi. Ada yang terus melintas. Selintas. Tangan-tangan nasib yang ganas. Dan kekejaman meludahi bumi.
Orang-orang memasuki perut kereta. Hujan jatuh bagai dari jaman purba. Wajah-wajah menatap dari balik jendela, mengamati segala tanggal. Peradaban pada tiap perlintasan. Meratap. Lengket kepedihan di tiap ruang, satuan waktu yang ditinggalkan.
Rembulan merah.
Ada angin tiba dari dunia lain di luar ingatan. Wajah kemanusiaan ditutup koran, tertidur di malam benam. Seperti ingin kembali pada kenangan yang tak pernah ditemukan. Lobang hitam. Dan tali-tali yang dikencangkan.
Tempat-tempat asing. Yang terbuang dan yang terbenam. Bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Sepi. Seperti meratapi tangis yang menangisi air matanya sendiri. Pada keterasingan, pada luka di malam basah, pada desah yang dikunyah sangkala.
Rembulan merah.
Dan malam menyusun kembali ingatan. Perihal lembu dan anak-anak angsa. Pohon jambu. Dan angin musim hujan dari gedung bioskop yang berlumut. Seperti nasib yang mengisahkan perih ke dalam hati. Bagai mendatangi lagi masa kecil, ke tepi senja yang jingga. Terluka. Dan berdarah.
Selamat datang tangan-tangan lembayung. Menggapai-gapai cakrawala tanda tanya. Atau mengiris bawang merah di belantara bunga.
Rembulan merah.
Di setiap tikungan, kau titipkan harapan. Kelelahan diistirahkan dalam iman. Seperti mengenangkan kembali rimbunan hutan, sungai-sungai sederhana, batu-batu angkuh rinduku. Bagai menemukan kembali segala yang tak ada di dalam doa.
Tetapi lihatlah.
Yang menyelinap sebelum ungkapan.
Rembulan merah.
Pohon-pohon bambu. Sehelai kenangan. Kandas rindunya di daun-daun mangga. Cerita-cerita hantu. Masa kecil telah dicor dan ditanami besi, diracun dan diledakkan. Terbenam dalam lumpur musim hujan yang mengerikan.
Rembulan merah.
Nasib mengayunkan langkah sendiri,
menertawakan tawanya,
dan menangisi air matanya.
Rembulan merah.
Ada malam yang selalu menyusun kembali bunga, bagai hendak mengalungkan puisi ke leher kekasihnya.
Tetapi cemas selalu tiba. Meletakkan lelah di ruang tengah.
Ada rembulan merah.
Hujan kemuskilan. Gelombang sejarahmu. Rahang-rahang kecemasan. Menyiku rindu ke sudut itu. Menagih hutan, lautan, ikan, dan senja yang memerah.
Berabad bunga-bunga usiamu. Ada perjalanan yang tak selalu menggunakan kereta biru bagai dalam lagu. Di atas samudera, sayap-sayap camarmu menggetar. Mengelanai cahaya. Semesta. Gunung-gemunung. Dan hidup yang bertaruh. Mencari segala yang tak pernah bisa ditemukan. Menyatu dengan dirinya sendiri. Bermimpi segala yang tak mungkin kembali.
Rembulan merah.
Kesepian melayang di antara kertas-kertas, bunga-bunga kaca, dan puntung di ruang depan. Sepi menempel jarum arloji. Membawa ingatan pada buruh yang dibunuh. Seperti mengisahkan kembali segala derita. Ada rindu tidur di pangkuan ibunya. Atau menggapai tangan bapanya.
Rembulan merah.
Ada nyanyi sendiri negeri ini. Mimpi dan harapan yang tak terjelaskan, bagai menyusun waktu dari genangan hujan dan kenangan.
Memungut
kesunyian
di
setiap
tikungan-
tikungan
jalan.
Pulau Merah, Pancer, 2016-2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.