Majalah Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, SULUK
S. Jai
Edisi 19, Juli 2021
SASTRA secara sederhana kerapkali dimudahkan ‘cara baca’nya dengan ungkapan ‘susastra’ atau ‘kesusastraan’ alias tulisan yang indah. Dalam tradisi kita kesusastraan mendapat energi dari suntikan muasal kosa kata Sansekerta yang meneguhkan pemaknaannya sebagai suatu ajaran, pedoman.
Dengan kata lain, perhatian utama kesusastraan tak lain ada pada bahasa, gaya bahasa, yang kemudian dalam bahasa Indonesia mendapatkan titik beratnya pada arti dan keindahan. Meski sejumlah lema dalam kamus kita misalnya mencangkan lima sasmita sastra sebagai bahasa, kesusastraan, kitab suci agama maupun ramalan-pengetahuan, serta tulisan, ikhwal kesusastraan sendiri sebagai suatu cara baca dalam praktiknya lebih masif menempatkan sastra sebagai karya yang mengandung arti dan keindahan.
Penyederhanaan, penyempitan (dan bukan tak mungkin sebagai suatu penyimpangan) praktik-praktik dalam sejarah kesusastraan yang akarnya sebagai suatu ‘tuntunan,’ ‘ajaran’ makin mendapat angin justru berkat abstraksi dari ‘arti’ juga ‘keindahan’ yang mapan dalam paham kesenian termasuk di dalamnya dinamika atau perubahan spirit masyarakat sastra kita. Sementara kita tahu dan mensyaratkan sebagai suatu spirit musti mengalami perkembangan bahkan di pelbagai belahan bumi manapun telah mengalami perluasan, kompleksitas, kepelikan, ketaksederhanaan.
Bahwa spirit sastra adalah ambiguitas dan kompleksitas. Bahwa musuh utama sastra adalah agelaste—kebenaran tunggal. Bahwa sastra adalah karnaval keragaman suara; permainan yang ramai antar pelbagai bahasa, pelbagai wacana, yang mempersoalkan realitas, memparodikan, menggugat, dan bahkan bermain-main terhadapnya. Sastra adalah medium yang paling tepat menyingkap denyut, gerak tubuh, kerinduan pada kemungkinan, kejutan, ketakterdugaan: warna hidup yang tidak menuju pada suatu tujuan tertentu—sebagaimana tujuan semua kitab suci. Bahwa spirit sastra dari zaman ke zaman adalah membongkar tabu, membongkar mitos—dalam pengertian apapun.
Jika sastra tak lain adalah ‘sistem penandaan yang melibatkan ideologi di dalamnya,’ ‘sistem komunikasi dan wacana yang di dalamnya terdapat pesan,’ sebagai suatu tulisan, bahasa, kesusastraan tak boleh stagnan pada sekadar pengertian keindahan ‘gaya bahasa’ yang klise, kering dan kosong bahkan dalam konteks budaya apapun—kebudayaan adiluhung maupun kebudayaan populer. Bukankah, budaya adalah sistem simbol dari berbagai sistem tanda, padahal penanda bersifat arbriter, sehingga kebudayaan pula sebagai konvensi sosial menjadi mitos, menjadi arena pertarungan kuasa ideologi?
Dengan kata lain, jika manusia menyadari diri sebagai budayawan, sastrawan maka salah sebuah bukti keberadaan eksistensialnya tak lain adalah mencipta dan menangkap realitas; terus berikhtiar menciptakan realitas dengan bahasa-bahasa, sekalipun, mustahil bisa menangkap realitas sebenarnya akibat ketergantungannya pada bahasa-bahasa yang tercipta. Dengan demikian, oasis sastra kita bergantung pada daya dobrak atas jargon-jargon, tabu, dan mitos-mitos kebudayaan dan inilah masalah etika sastrawan kita yakni tanggungjawab sebagai intelektual yang terintegrasi dengan pengalaman-pengalaman baru yang paling dekat dengan dirinya.
***
KEINDAHAN dalam kesusastraan, tidaklah cukup manakala tak mempertimbangkan estetika di dalamnya. Keindahan tanpa kehadiran estetika adalah keindahan personal yang kedangkalan dan atau kedalamannya terukur hanya oleh tabiat-tabiat keindividualitas, pengalaman-pengalaman individual yang tidak atau sulit teruji. Jikapun keindahan pengalaman-pengalaman individual telah teruji sebagai ‘suatu pemikiran tentang keindahan itu sendiri,’ hanyalah satu bagian dari pertimbangan (nilai) estetika. Nilai estetika lainnya, yakni pemikiran perihal sublimasi suatu karya, pengalaman estetis, status ontologi karya, epistemologi atau pengetahuan yang melatari penciptaan dan pemahaman atas karya, juga hubungan karya dan masyarakatnya, serta pertimbangan-pertimbangan lain yang meneguhkan karya (sastra) terhadap pelbagai tafsir ‘cara baca.’
Membaca (dan menulis) sastra tak lain adalah ‘cara baca’ ‘cara memahami’ ‘cara menafsirkan’ teks yang lebih terang dalam kontek-kontek, intertektualitas. Bahwa, teks tak bicara sendiri melainkan maknanya diperoleh dengan menghubungkan teks dengan mempelajari sumber-sumber pengetahuan lain sebagai konteksnya, seperti sejarah, kebudayaan, saint dan lain sebagainya. Atau dalam kosakata Heidegerian; pertama, menulis teks bukanlah sekadar menuangkan isi pikiran, melainkan menyingkap cara bereksistensi penulis dan kelompoknya; kedua, membaca teks juga bukan sekadar menyalin makna teks sebagai data objektif, melainkan juga menangkap kemungkinan-kemungkinan eksistensial lewat makna teks itu.
Serbuan budaya populer, media sosial, atau katakanlah praktik ‘pembacaan’ gerakan literasi yang menjadi booming di negeri kita belakangan patut untuk dicermati secara khusus terkait hal ini, sebagai semacam dua sisi mata uang yang mana pada satu sisi terjadi banjir bandang sistem tanda, hujan bahasa, gemuruh karya, akan tetapi pada sisi lain penting ditelisik akankah hal demikian memperlihatkan kekayaan dan kejayaan cara baca, tafsir, pemaknaan dalam pengertian nilai-nilai estetika? Sudahkah banjir bandang sistem penandaan adalah lautan yang luas dan dalam bagi estetika; cara baca–proses menangkap makna dalam bahasa atau target pemahaman atas struktur-struktur simbol atau teks baik dalam pemaknaan rekonstruktif, reproduktif, reseptif, dekonstruktif? Sementara bahaya lain atas membanjirnya budaya populer, media sosial, juga gerakan literasi telah sungguh-sungguh mengintai, yakni; literalisme—pemahaman makna atas teks secara harafiah, final, sebagai sakralitas baru atas teks sonder konteks, sebagai ‘kebenaran siap pakai.’
***
SULUK edisi kali ini akan mencoba menelisik kaitan bahasa, sastra, masyarakat kita dengan watak budaya populer dalam pelbagai era sejarah sastra;
Estetika dalam sastra ; Menimbang sastra dan yang bukan sastra.
Pemberontakan di dalam sastra.
Mencari visi literasi ; batasan-batasan Gerakan Literasi kita. Literasi atau Literalisme, sebuah koreksi?
REDAKSI menerima naskah Esai. Naskah diutamakan yang menampakkan gagasan, pemikiran dan kajian yang mendalam dan subtil terkait dengan sastra, dikemas dengan bahasa populer. Panjang tulisan esai minimal 9 halaman, kertas A4, spasi 1,5.
Redaksi juga menerima Puisi, Cerpen, Naskah lakon, Kritik Buku. Puisi tak dibatasi, namun untuk prosa minimal 9 halaman, A4, spasi 1,5. Naskah terjemahan juga diperkanankan, dengan menyebut dan mengirimkan copy sumbernya.
Naskah yang dimuat mendapatkan honor yang pantas.
Naskah dikirim ke e-mail:
dk_jatim@yahoo.com, tanahapikata@gmail.com
Deadline 30 Juni 2021