Sepasang Sepatu Tua, Sepilihan Cerpen, Sapardi Djoko Damono
Tosiani *
mediaindonesia.com, 20 April 2019
Sapardi menggambarkan bahwa soal selera ialah rasa dan itu muncul dari hati sehingga orang lain mestinya tidak bisa meremehkan dengan memandangnya norak, jelek, atau udik.
MEMILIH sepatu ialah tentang jodoh, tentang kecocokan, dan pada akhirnya tentang rasa yang berbeda pada diri tiap orang. Sepasang sepatu yang dipilih, dibeli seseorang, pada hakikatnya sama sekali tidak berkaitan dengan gengsi seseorang. Bukan pula tentang seberapa tinggi selera yang mencerminkan kelas sosial seseorang.
Demikian pandangan sastrawan Sapardi Djoko Damono, 78, yang coba ia tuangkan dalam cerita pendek Sepasang Sepatu Tua. Judul itu kemudian dipilihnya menjadi judul buku kumpulan cerita pendek (cerpen) ini. Cerita yang sama, tentang sepasang sepatu yang jatuh cinta pada telapak kaki pemiliknya, pun sebaliknya, si empunya sepatu yang langsung jatuh hati pada sepatu tersebut sejak pertama kali melihat, kemudian memutuskan membeli tanpa menawar, sebelumnya pernah ditulis Sapardi dalam bentuk puisi.
Tulisan Sapardi seperti mewakili, mengusik perasaan banyak orang saat memilih, memutuskan membeli sepatu atau barang berharga lainnya. Sepatu kerap dinilai berdasarkan seberapa mahal harganya, seberapa terkenal mereknya, serta seberapa bagus model dan warnanya bisa mewakili selera orang-orang pada kelas sosial tertentu. Jika berbeda dengan selera kelas sosial tersebut, akan dianggap jelek, udik, dan tidak berkelas. Hal yang sama berlaku pada barang-barang lainnya.
Terkadang, orang sering kali mengabaikan fakta bahwa ada rasa suka, rasa cocok, dan jatuh cinta pada sepatu tertentu saat pertama kali melihatnya, sebelum memutuskan untuk membeli. Seberapa pun udik dan norak sepatu tersebut bagi orang lain, tapi pada saat yang sama, si sepatu telah membuat seseorang jatuh hati. Dengan cara yang amat sederhana, Sapardi menggambarkan bahwa soal selera ialah rasa dan itu muncul dari hati sehingga orang lain mestinya tidak bisa meremehkan dengan memandangnya norak, jelek, atau udik. Selera, sekali lagi tidak menunjukkan kelas sosial seseorang.
Saat menggambarkan betapa sepasang sepatu itu saling bercerita dengan bahasanya sendiri yang tidak dimengerti manusia secara umum, bahkan sering kali bertengkar karena berbagai alasan, Sapardi seperti ingin mengajak pembacanya agar bisa lebih menghargai dan menyayangi barang-barangnya. Tidak sekadar memperlakukan seperti benda mati dan bisa membuangnya kapan saja ketika sudah ada barang baru untuk menggantikan yang sudah usang.
Dengan cara yang sama, Sapardi bercerita tentang berbagai benda dan makhluk hidup lain di sekeliling kita, seperti tentang kertas dan cicak pada cerpen berjudul Arak-Arakan Kertas, tentang rumah yang kita tinggali dan dihuni orang lain pada cerita berjudul Rumah-Rumah.
Dia juga melihat orang gila dengan cara yang berbeda serta memperlakukannya dengan cara yang berbeda pula. Seperti pada cerita Seorang Rekan di Kampus Menyarankan agar Aku Mengusut Apa sebab Orang Memilih Menjadi Gila bahwa benda dan makhluk hidup lain itu bisa bercerita, menandakan semuanya punya jiwa. Bahkan, jiwa pada orang yang oleh masyarakat atau pandangan umum dianggap gila, Sapardi melihat dengan cara sebaliknya. Oleh karena itu, semua hal mestinya diperlakukan dengan layak menggunakan hati.
Pada bagian lain, Sapardi merangsek dengan berbagai cerita satir bernuansa kritik sosial dan kemasyarakatan, seperti saat ia mencibir cara pandang umum mengenai makna Lebaran pada cerita Jemputan Lebaran. Tentang jalanan macet dan kerap dilanda banjir serta kritik sosialnya mengenai trotoar lebar yang dikuasai para pedagang kaki lima sehingga para pejalan kaki kehilangan haknya untuk berjala di tempat semestinya. Semua itu ia ceritakan pada cerita berjudul Membimbing Anak Buta.
Kisah lama
Selain beberapa cerita baru, dalam buku Sepasang Sepatu Tua ini, Sapardi juga menyajikan beberapa cerita yang sudah lama, seperti dalam cerita berjudul Nonton Kethoprak Sampek-Kentaek, Solo, dan 1950. Cerita Jemputan Lebaran merupakan cerita lama yang ditulisnya pada November 2003. Cerpen Ditunggu Dodot juga cerita lama yang ditulis pada Oktober 2002.
Selain menyuguhkan cara pandang yang lebih mengutamakan rasa, menghargai apa saja di luar diri manusia, dalam buku ini, Sapardi berupaya menyajikan kesan bahwa bercerita itu mudah dan bercerita itu asik. Menulis cerita tidak harus memenuhi standar-standar tertentu, seperti berapa banyak jumlah baris kalimat, berapa paragraf, dan berapa banyak kata dalam sebuah tulisan seperti standar yang kerap diterapkan para kurator di bidang sastra. Cerita juga bisa disajikan amat pendek dalam beberapa baris saja. Seperti pada cerita berjudul Dalam Tugas, Sapardi hanya menyajikannya dalam empat paragraf, yakni paragraf terakhir hanya berisi dua kalimat. Pada kalimat pertama terdiri atas enam kata. Pada kalimat kedua terdiri atas 13 kata. Pada cerita dengan judul Wartawan itu Menunggu Pengadilan Terakhir, Sapardi hanya menuliskannya dalam tujuh paragraf.
Hal menggembirakan lainnya dari cerpen dalam buku ini disertai banyak sajak. Sapardi menulisnya dalam bahasa yang amat sederhana sehingga lebih mudah dihayati dan tentu enak dibaca. Ia seperti ingin menyampaikan pada pembaca bahwa sastra tidak harus dibawakan dengan bahasa yang rumit dan sulit dipahami. Di tangan Sapardi, sastra menjelma berwajah ramah dan bijaksana. Semua pandangan dan tulisan Sapardi di buku Sepasang Sepatu Tua mencerminkan kematangannya sebagai penulis. Karena itu, karya sastra yang bijaksana dari penyair Sapardi Djoko Damono ini patut dibaca siapa pun yang menginginkan cerita bermutu.
Judul buku: Sepasang Sepatu Tua, Sepilihan Cerpen
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Cetakan pertama Maret 2019
Jumlah halaman: 114