Muhammad Yasir
Seorang hakim telah mengetuk palu tiga kali di ruang pengadilan yang lembab. Seorang lelaki berkulit hitam-legam menatap pijar wajah hakim yang tidak menerima pembelaannya. Kemudian dia bangkit dan mengatakan kepada hakim untuk kembali mempertimbangkan. Apa peduli hakim kepada seorang petani seperti dirinya, hakim itu keluar dengan pengawalan ketat aparatur pengadilan. Jadilah, petani itu diseret seperti seekor bangkai anjing liar yang perutnya mulai menggelembung seakan segera pecah.
***
“Ya Tuhan!” Gumam seorang petani karena kehilangan cara untuk marah ketika menyaksikan padi-padi di sepetak sawahnya ludes dimakan tikus. “Tikus-tikus sialan!” Lanjutnya. Kemudian, di hari yang sama, semua petani berkata sama seperti petani sebelumnya: “Tikus-tikus sialan!”
“Baiknya,” kata seorang petani dalam rapat dadakan di kampung bisu itu, “kita harus mengadukan permasalahan ini kepada balai pertanian, siapa tahu mereka bisa menghubungkan ke kota kepada para petinggi secepatnya.”
Semua petani yang berkumpul, bersitatap dan mendukung usulan itu.
“Kalau demikian, besok aku sendiri dan beberapa orang dari kalian, jika bersedia, ikut bersamaku!”
Para petani ketinggalan zaman ini kembali bersitatap satu sama lain. Sesungguhnya, selain petani yang memberikan usulan itu, mereka tidak memiliki keberanian untuk menghadap tuan kepala balai pertanian. Semua orang tahu betapa galak dan rakusnya dia.
“Dasar pengecut! Kalian hanya mau hasilnya saja tanpa bekerja sama! Lihat saja. Aku tidak akan membela kalian! Ha-ha!” Gumam petani yang tadi. Kemudian dia melanjutkan, “Baiklah, Saudara-saudara sekalian, aku akan pasang badan demi kesejahteraan bersama!”
“Ya!” Kata seseorang yang duduk paling belakang.
“Bagus itu!” Kata yang lain.
“Kau pantas diandalkan!” Demikianlah para petani ketinggalan zaman ini menumpahkan kepengecutan mereka kepada rekannya.
Tiba-tiba, seorang penggede, seorang rente, hadir ditengah-tengah riuhnya tepuk tangan para petani ketinggalan zaman itu. Kedatangannya tidak lain dan tidak bukan untuk menawarkan kebaikan; memberikan pinjaman hutang kepada para petani dengan bunga yang lebih rendah dari biasanya, karena dia sadar bahwa Tuhan mengutus tikus untuk membuat para petani di kampung segera bertobat dan menjalankan ajarannya.
“Bagi yang ingin, silakan datang ke rumahku. Aku akan menerima dan menjamu kalian. Perkara sekarang ini, jangan diselesaikan dengan cara ketinggalan zaman. Bukan demikian?
Tidak seorang pun menggubris. Begitulah, bau pagi mulai terendus dalam desir angin.
Keesokan hari, berangkatlah petani itu menghadap kepala balai pertanian. Dan, nasib baik baginya, kepala balai pertanian berada di kantornya pagi itu. Setelah menjelaskan semuanya, petani itu merasa lega, kepala balai pertanian pun bahagia. Betapa tidak? Di tengah kegagalan Nyonya Gubernur seperti sekarang ini, proyek-proyek nyaris tidak ada.
“Aku akan menyusun strategi pembasmiannya khusus untuk kalian! Tapi… itu tidak murah. Pastikan, satu orang dua juta. Tidak harus cepat-cepat. Aku akan menjelaskan strategi itu setelah semua uang terkumpul.
Petani itu mengangguk dan mengatakan, “Aku percayakan kepada Tuan Kepala. Tapi… ah! Masak, tidak ada untukku?!”
“Dasar petani ketinggalan zaman! Bodoh!” Gumamnya. Kemudian menjawab, “Ya. Nanti aku akan atur itu.
Tetapi, ingat katakan kepada mereka bahwa pemerintah telah memprediksi bahwa wabah tikus akan lebih mengerikan. Dari tikus sawah, curut, dan selokan akan kembali menyerang jika tidak menuruti apa kata kepala balai!”
“Baik, Tuan Kepala. Aku akan mengatakannya!”
Dalam dua minggu, terkumpullah semua uang yang dibutuhkan. Oh! Betapa bahagianya kepala balai pertanian menerima uang itu. Dan kepada petani itu, dia diberi uang lima juta rupiah, kemudian disuruh pulang.
Dan, di inilah sebab-musababnya.
***
“Tuan Hakim yang terhormat… tidaklah aku terlibat dalam kasus ini. Aku hanya disuruh oleh Tuan Kepala untuk mengumpulkan sejumlah uang dari petani yang terdampak wabah tikus. Dan, bukankah pemerintah akan segera mengumumkan akan ada serangan wabah tikus besar-besaran?! Karena itu, tanpa pikir panjang, aku mengiyakan apa yang disuruh Tuan Kepala.”
“Apa bukti dan siapa saksi bahwa kepala balai pertanian yang memerintahkan itu?!” Tanya hakim.
“Ada, Tuan Hakim. Bukan begitu…” Dia terkejut, karena petani yang semula hadir untuk sekadar melihat persidangan telah pergi dan tertinggal seorang anak lelaki, cucunya, sembari memakan jagung bakar buatan ibunya.
“Bukankah saudara sendirian yang meminta uang itu kepada para petani?!”
“Benar, Tuan Hakim.”
“Engkau pula yang mengantar sendiri uang itu?!”
“Benar, Tuan Hakim.”
“Kepada siapa engkau memberikan uangnya?!”
“Tuan Kepala, Tuan Hakim.”
“Jangan berbohong dalam pengadilan!”
Sebentar. Sepertinya, petani itu mengenali suara hakim itu. Mirip…
“Jangan bengong, jawablah!”
Petani itu semakin mengenali suara itu, “Ya… tidak salah lagi. Aku… menge…”
“Nah! Kalian, Hakim Anggota dan para jaksa, mendengar?!”
Semua pasang mata menatap petani itu, kemudian menggelengkan kepala mereka.
“Sekarang akan kubacakan hukumanmu, dengarlah baik-baik: “Dengan diakuinya tindak pemerasan terhadap para petani di kampung bisu, maka petani ketinggalan zaman ini…”
Petani itu bangkit dan sangat yakin bahwa hakim itu adalah kepala balai pertanian.
“Kau… Tuan Kepala Balai!” Teriaknya. Sontak, hakim itu mulai gugup karena memang dia adalah kepala balai – hakim yang bertugas telah menerima amplop sakti dan properti berbentuk beberapa petak sawah.
“Petugas! Tolong tertibkan petani ketinggalan zaman ini.”
Setelah kepala balai selesai membacakan putusan hakim, dia tertawa kecil nyaris tak bersuara. Dan para hakim anggota dan para jaksa yang memang merasakan terhadap sesuatu yang berbeda dari hakim agung, memilih bungkam.
“Kau! Kau adalah Tuan…” Kata petani itu tidak selesai, karena trali besi penjara dan para sipir, sudah lama menahan birahi mereka. Selamat datang, tikus!
Lamongan-Gresik-Surabaya, 2021.