KIAI YANG TERTAWA

Taufiq Wr. Hidayat *

Dialah seorang kiai dengan ilmu-ilmu agama yang mumpuni. Penguasaannya pada ilmu-ilmu agama Islam tak diragukan, menjadi rujukan banyak orang perihal masalah-masalah keagamaan. Tapi kiai ini punya selera humor yang tinggi, tak segan tertawa terbahak, hari ini mirip Kiai Fadhol Umbulsari, Wongsorejo. Sedikit saja humor sudah membuatnya tertawa. kalau berbicara, wajahnya tampak seakan-akan menahan tawa atau tampak selalu tersenyum. Sangat cair. Dan mengasikkan.

Setidaknya begitulah Gus Dur menggambarkan Kiai Ali Krapyak dalam “Kiai Nyentrik”-nya. Kiai yang luwes dan gemar bercanda. Meski demikian, ia selalu bersikap tegas pada persoalan-persoalan bersama, kritis terhadap kebijakan-kebijakan negara yang tak menguntungkan orang banyak. Ia kokoh pada sikapnya. Namun sikap kritis dan kokoh pada pendirian untuk setuju atau tak setuju pada kebijakan-kebijakan publik yang merugikan, bukanlah sikap yang dilandasi kepentingan praktis. Melainkan dibangun dari pengertian yang mendalam terhadap ilmu-ilmu agama yang dikuasai dan dipedomaninya sepanjang hayat. Kiai yang tampak luwes dan gemar bercanda, memiliki selera humor yang baik itu, selalu bersikap kritis pada kebijakan negara yang buruk. Tetapi ia tak segan mendukung apa pun kebijakan negara yang menurut keilmuannya baik. Dan untuk kedua hal tersebut, ia tak cemas pada resiko: dianggap tak mendukung pemerintah ketika menyerang kebijakan formal, atau dianggap antek pemerintah ketika menilai suatu kebijakan itu memang baik. Dia tertawa saja.

Dari manakah sikap seperti itu ia dapatkan? Tak lain dari pendalamannya terhadap ilmu-ilmu agama Islam, dari penguasaannya yang mumpuni pada kitab-kitab kuno pesantren. Artinya Kiai Ali menemukan kebijaksanaan dari pedalaman ilmu-ilmu agama yang dijaga tradisi pesantren selama beratus tahun. Bagaimana ia dapat melihat kenyataan hari ini dari kitab-kitab kuno tersebut? Tak lain adalah kemampuannya memberikan tafsir baru terhadap teks-teks kuno dengan mengarifi kenyataan hari ini. Pedoman itulah yang ia pakai, yang dalam prinsip keilmuan Islam disebut “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” (mempertahankan yang lama dan meramunya dengan yang baru yang lebih baik). Sikap tersebut ditegakkannya dari pengalaman hidup sehari-hari, bergaul dengan siapa saja tanpa batasan umur dan status sosial, bahkan dengan santrinya sendiri ia dapat bergurau seperti seorang kawan karib.

Dalam pengertian ini, barangkali ia memang memegang pengertian kalamullah sebagai “al-‘alam al-amar”, yang original dan tak terjamah makhluk. Tetapi kitabullah, sebagai “buah tafsir” dari kalamullah ialah “al-‘alama al-khalq”, yang berada dalam sejarah dan kebudayaan manusia. Kalamullah utuh dan kekal (basith). Namun kitabullah sebagai buah tafsir terhadap kalamullah, meniscayakan dirinya pada bahasa dan penanda, tersusun dan membuka keleluasaan diraih budaya atau akal-pikiran manusia (murakkab). Pemahaman terhadap kitabullah sebagai “tafsir kedua” dari “tafsir pertama” yang telah dirisalahkan seorang Rasul, belum tentu meraih kalamullah. Itulah kenapa dalam khazanah Islam dikenal istilah “qauliyah” (ayat yang terucap) dan “kauniyah” (yang tak terucap). Kalamullah adalah perilaku dan segala sifat agung Rasulullah sebagaimana hadits yang disabdakan Aisyah: “kana khuluqul qur’an” (perilaku mulia Rasul adalah Qur’an). Atau dalam al-Qalam: 4: “wa innaka la’ala khuluqin adhim” (sesungguhnya perilakumu (Muhammad) itu perilaku yang luhur-agung), pun dalam an-Najm:3-4; bahwa apa yang diucapkan dan segala gerak-gerik Rasul tak lain wahyu yang diwahyukan.

Pengertian ini menarik. Pembacaan, pendalaman, tafsir, bahkan dugaan-dugaan, dan segala upaya akal-pikiran manusia terhadap Qur’an sebagai “kitabullah”, mensyaratkan muaranya pada keluhuran kemanusiaan (al-akhlaq al-karimah) atau manfaat yang baik guna membuka peluang anugerah-Nya pada “kalamullah”. Jika tidak, maka segala pengagungan terhadap “kitabullah” tidak integral dengan perilaku kemanusiaan yang luhur di mana manusia hidup. Sehingga menjadi batal segala klaim yang mengatasnamakan kitab suci dengan tujuan dan alasan apa pun tetapi mengingkari kemanusiaan. Bunyi “iqra'” merupakan hasil “daya tangkap” Rasul. Ia membunyikannya. Sebab mustahil ada kata yang pasti untuk menjelaskan kalamullah secara final.

Justru dari kedalaman ilmu-ilmu agama yang dikuasai, dipelajari, dan dipegangnya dalam kenyataan hidup sehari-hari, membuat Kiai Ali dengan tepat membedakan apa-apa yang penting, dan apa-apa yang tidak penting. Apa yang bersifat prinsip dan yang tak prinsip dalam kehidupan. Bercanda, bergurau, dan lain-lain yang merupakan pergaulan sehari-hari baginya bukanlah sesuatu yang gawat, melainkan kewajaran. Tak memerlukan dalil-dalil agama. Melainkan dialiri saja. Tak perlu seseorang berbasa-basi meski di dalam tertawa. Ia tidak khawatir ke-kiai-annya tak dihormati orang lain ketika bercanda. Tapi pada kebijakan publik yang berimplikasi terhadap kepentingan bersama, ia memasang diri sebagai sosok yang tak kenal kompromi. Bahkan melakukan perlawanan dengan menyanggah atau yang lain, meskipun ia punya pergaulan yang cukup dekat dengan para pejabat negara Kemampuan dan sikap memilah apa-apa yang penting dan apa-apa yang tak penting, apa-apa yang vital dan apa-apa yang tak vital, membuatnya menjadi sosok yang tak dapat dirobohkan keadaan, dan kejernihannya tak terpengaruh atau dipengaruhi siapa pun meski ia punya pergaulan yang dekat dengan para pemegang kebijakan formal. Kiai ini mustahil bisa diperalat kekuasaan. Begitu kiranya Gus Dur melihat Kiai Ali.

Hingga pada suatu hari, Kiai Ali ditanya perihal sikap dan tata cara mendapatkan ilmu yang ditetapkan dan dijadikan pedoman para pencari ilmu beratus-ratus tahun yang lampau oleh al-Ghazali dalam “Ihya’”-nya yang mashur. Dalam ketetapan al-Ghazali itu, seorang santri atau pencari ilmu harus melakukan “laku tirakat” atau “laku prihatin”, yakni mengurangi makan atau sering berpuasa dan mengurangi tidur di dalam mendapatkan ilmu-ilmu.

“Bagaimana menurut, Kiai?” tanya seseorang. Mungkin seseorang itu adalah Gus Dur sendiri.

“Bagu! Tapi belum tentu bermanfaat. Karena anak-anak jaman sekarang punya mobilitas yang tinggi, sehingga memerlukan banyak nutrisi dan waktu beristirahat agar dapat menuntut ilmu dengan baik. Tidak membutuhkan puasa dan mengurangi tidur seperti yang dikatakan al-Ghazali. Apa yang dikatakan al-Ghazali itu, pada hari ini tetap bagus, tapi belum tentu bermanfaat,” jawab Kiai Ali ringan.

Bukankah ini kearifan yang menakjubkan? Kearifan itu dibangun justru dari dalam ilmu-ilmu agama itu sendiri. Bukan dari logika di luar ilmu-ilmu agama bersangkutan. Kemudian alangkah pengertian Kiai Ali tersebut tetap memiliki kesesuaiannya pada hari ini, bahwa pemaksaan atau penekanan kedisiplinan yang berlebihan di dalam rangka menuntut ilmu, tidaklah bermanfaat bagi si penuntut ilmu itu sendiri. Juga pada konteks kehidupan dan kepentingan bersama. Dan dalam dunia sehari-hari dalam kekinian, ada seberapa bayakkah para tokoh agama yang memiliki pengertian luwes, tapi tegas seperti itu? Ketegasan yang murni dari dalam keilmuan agama yang dalam, luas, dan mumpuni. Bukan ketegasan dari kepentingan-kepentingan praktis dan singkat belaka. Bukan sebagai pendukung atau yang melawan pemerintah belaka. Bukan yang begitu luwes, sampai tak punya ketegasan. Bukan pula yang tegas, tapi sama sekali tak memiliki keluwesan dan toleransi, sehingga banyak orang ketakutan. Sikap hidup Kiai Ali adalah sikap hidup sepanjang masa, yang jika ditekuni, menjernihkan kehidupan. Bukan sikap serba boleh atau serta tidak boleh, sehingga tak pernah sanggup menjernihkan kehidupan, terlebih dalam kehidupan beragama. Sikap sederhana Kiai Ali, jika didekati dengan keilmuan agama, sejatinya tak sesederhana itu. Tetapi sikap tersebut memang muncul secara alamiah dari dalam kepribadian seorang kiai yang mendalami dan menggeluti ilmu-ilmu agama seumur hidupnya. Hari ini sikap seperti itu seolah lenyap, terutama dari sejumlah orang yang mengaku atau dianggap pemuka agama, bukan?

Tembokrejo, 2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *