Kidung Puisi untuk Para Kiai


Judul: Hadrah Kiai
Penulis: Raedu Basha
Prolog: Acep Zamzam Noor
Epilog: Jamal D. Rahman
Penerbit: Ganding Pustaka
Terbit: November, 2017
Peresensi: Iskandar Zulkarnain *
radarmadura.jawapos.com, 25/2/2018

KITA mengenal penyair ialah orang yang sekadar mengandalkan imajinasi dan secangkir kopi. Melamun dan merenungkan sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, atau merespons segala semesta. Sehingga pada titik jenuh yang telah ditentukan oleh penyair, jadilah sebuah karangan puisi.

Namun, ketika membaca Hadrah Kiai tidak bisa mengatakan seorang penyair seperti halnya di atas. Raedu Basha mengajak pembaca mengembara dalam samudra suci para aulia dan kiai. Dari itu, penulis Hadrah Kiai tidak lepas dari historis para aulia atau kiai. Dan, keberadaan kultur pesantren merupakan lembaga pendidikan paling berpengaruh di Nusantara ini.

Minderop (2010) Psikologi Sastra menyatakan, karya akan mencerminkan jiwa seorang pengarang. Itu terbukti jelas ketika saya membaca karangan Raedu Basha yang mencerminkan jati dirinya sebagai santri. Kehidupan dalam keseharian santri, karakter serta sikap mental santri yang semuanya tidak pernah lepas dari takzim atau rasa hormat pada seorang guru.

Mayoritas menggunakan kitab klasik sebagai pedoman keilmuan tauhid, fikih, tarikh, dan akhlak. Sehingga dalam salah satu puisinya yang berjudul Di Hadapan Mbah Moen; di jantungku yang basah/ berdegup dingin dan pasrah/ kibasan serbanmu memoles jiwa/ keringlah sejarah kelam/ yang terkapar deru hujan/ menghantamkan pasal keperihan/ dan murung nazam//.

Cuplikan bait puisi tersebut menggambarkan seorang penulis yang takzim terhadap Kiai Maimun Zubair sebagai salah satu guru besar NU yang marwahnya tidak diragukan sampai detik ini. Penulis menunjukkan karakter kesantriannya manakala berhadapan dengan kiai. Dilanjutkan dalam bait keduanya; dadi wong iku kudu dewe/ kalambi jobo lan kalambi jero/ (orang harus punya baju perisai/ baju luar dan baju dalam)/ ujar engkau/ aku sunyi/ seperti jantungku//. Dalam lanjutannya ini semakin memperkuat jati dirinya sebagai seorang santri, yang tak berani sedikit bergerak saja manakala berhadapan dengan guru. Layaknya jantung yang sunyi bahkan detaknya sulit untuk diketahui orang lain.

Hadrah Kiai dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi pepujian bagi wali Allah dan kiai yang sudah meninggal. Pengarang menamainya Hadrah Arwah. Sementara bagian kedua adalah puisi pepujian bagi kiai yang masih hidup Hadrah Hayah. Kedua puisi ini amat lekat dengan puisi-puisi pesantren, nusantara secara umum.

Semua puisi hampir mirip dengan syi’ir, tembang, pepujian, dan barzanji atau burdah, dan diba’ yang merupakan model puisi Timur Tengah yang banyak dijadikan tradisi, di pesantren nusantara. Puisi yang laksana tembang atau syi’ir begitu sangat mengangkat kultur pesantren. Puisi yang tertib dan teratur. Apalagi, disokong dengan karakteristik kepesantrenan seperti tawaduk, takzim, dan khidmat serta mengharap berkah pada ucapan berbentuk kata maupun kalimat.

Pada bagian Hadrah Arwah para tokoh agama Islam, baik yang menyebarkan maupun yang membesarkan, dinarasikan dalam bentuk puisi begitu indah dan telaten. Bagian pertama yang sangat menggugah ketika seorang penulis mencoba berdialog mistis dengan seorang sufi Siti Jenar.

Puisi ini dikemas dengan judul Gerbang Siti Jenar dalam bait ketiga; gerbang terbuka belum tutup/ sampai tiba mata terkatup/ khusyuk/ masuk/ dekaplah/ merasuk/ dekaplah/ lepaslah/ pulang arah hilang/ pulang hilang arah/ hilang arah pulang/ hilang pulang arah/ arah pulang hilang/ aku tahu apa yang kutahu/ aku tak tahu apa yang kutahu/ aku tahu apa yang tak kutahu/ aku tak tahu apa yang tak kutahu/ biar hanya zat yang tahu//.

Begitu kata per kata dimainkan dengan indah, per kalimat dirangkai begitu apik. Dari sajian puisi tersebut tidak lepas dengan pesan yang ingin disampaikan, sehingga puisi yang serupa dialog bersama Siti Jenar ini mengalir layaknya air. Tidak pernah bisa dipisah layaknya Siti Jenar yang tak dapat membedakan dirinya dengan zat.

Puisi bagian Hadrah Hayah juga tidak jauh beda dengan bagian pertama. Mengangkat corak tradisionalisme Islam. Para kiai-kiai nusantara yang berpengaruh banyak dijabarkan dalam narasi, baik digali secara historis maupun pemikiran. Termaktub dalam puisi ini ekspresi para kiai, wajah santri, dan nilai tradisi.

Puisi Raedu Basha hampir mirip dengan puisi-puisi pepujian Sunda yang maknanya tidak jauh beda dengan nazam atau kasidah. Sehingga, sentuhan tradisional begitu lekat dan seakan-akan abai terhadap keberadaan modern. Akan tetapi, karangan Raedu Basha yang berjudul Hadrah Kiai ini amatlah sangat menarik dibaca. Membacanya seperti membaca biografi para kiai nusantara yang tidak akan pernah lepas dengan pahala dan barokah yang akan siap mengalir.
***

*) ISKANDAR ZULKARNAIN, Wartawan Freelance Institut Keislaman Annuqayah (Instika).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *