Keberuntungan yang luar biasa bisa ngaji literasi pada Raedu Basha. Seorang seniman sekaligus sastrawan berdarah Madura. Tepatnya, Kabupaten Sumenep.
Sumenep adalah salah satu kabupaten di ujung timur Pulau Madura. Entah kenapa, kabupaten ini banyak sekali melahirkan sastrawan. Sebut saja Raedu Basha, KH. Zawawi Imron, dan lain-lain.
Bahkan, kesusastraan di pondok saya (saat saya masih nyantri) juga diwarnai oleh anak-anak dari Sumenep ini.
Uniknya, sastrawan Sumenep itu mayoritas alumni pesantren. Ada dzauq kesantrian yang sangat kental. Di mana dzauq ini mungkin lebih mudah difahami oleh orang yang pernah nyantri.
Badrus Shaleh, itulah nama asli Raedu Basha. Kemaren beliau mengisi pelatihan tulis-menulis untuk angkatan baru FLP Surabaya. Tepatnya, pelatihan menulis puisi. Dengan cara online. Karena masih ada Corona yang memisahkan.
Insyaallah, kapan-kapan saya share juga materi puisi dari beliau. Mau izin dulu ke ketua FLP Surabaya. Insyaallah.
Dalam pelatihan ini, panitia menyiapkan waktu untuk tanya-jawab. Banyak pertanyaan yang masuk. Tapi, ada satu pertanyaan yang menarik perhatian saya. Jawaban dari Raedu Basha juga menginspirasi saya.
Pertanyaannya begini:
“Tips membiasakan menulis puisi kak? Agar istiqomah menghasilkan karya-karya indah?”
Ini jawaban Raedu Basha:
“Melanggengkan wuduk saat kita menulis, kalau perlu salat sunnah sebelum menulis, lalu berdoa setiap bakda salat supaya diberikan kemudahan menulis dan produktif.”
“Dan tentu saja, kita harus punya etos kerja, jam terbang yang tinggi untuk menulis puisi.”
Ya, sebelum menulis, berwudulah. Bahkan, shalatlah. Ditambah, berdoalah.
Sepertinya, penulis hebat memang tidak lepas dari apa-apa yang dinasehatkan oleh Raedu Basha ini.
Saya masih ingat betul cerita dari KH. Zawawi Imron beberapa tahun lalu. Saat saya mengikuti ngaji literasi yang diisi oleh beliau.
Kata beliau, ada salah satu puisi beliau yang menang lomba. Hadiahnya adalah berangkat beribadah ke Makkah. Hadiah ini merupakan hadiah yang termahal yang beliau dapatkan.
Ternyata, puisi yang juara itu lahir dari rintihan-rintihan doa panjang beliau. Setiap malam beliau selalu berdoa. Beliau memohon, semoga Allah memberinya inspirasi untuk menghasilkan tulisan yang luar biasa.
Maka, jadilah puisi itu dan beliau meraih juara.
Jadi teringat ulama salaf dalam menghasilkan tulisan. Sebut saja Imam Bukhari. Seorang ulama yang menulis hadis Sahih Bukhari itu. Kitab hadis paling sahih. Urutannya berada di setelah Al-Quran.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani menulis tentang Imam Bukhari ini. Kata Ibnu Hajar kurang lebih begini terjemahannya:
“Imam Bukhari memiliki manhaj khusus dalam hidupnya. Khususnya dalam ilmu dan pembukuan hadis. Imam Bukhari menghabiskan waktu 16 tahun untuk mengumpulkan hadis shahih dengan teliti, sabar, dan hati-hati.”
“Dan setelah semua itu, Imam Bukhari tidak membukukan hadis kecuali setelah mandi dan shalat dua rakaat.”
Begitu juga dengan Imam Syafi’i. Menurut Imam adz-Dzahabi yang terekam dalam kitabnya, Tarikh al-Islam Wa Wafayat al-Masyahir Wa al-‘A’lam, Imam Syafi’i membagi waktu malam menjadi tiga bagian.
Sepertiga bagian pertama, Imam Syafi’i menghabiskannya dengan menulis. Sepertiga bagian kedua, Imam Syafi’i melaksanakan sholat. Sepertiga bagian ketiga, Imam Syafi’i menghabiskannya untuk istirahat.
Ya, bagi saya, nasehat Raedu Basha di atas menjadi renungan panjang. Sudahkah saya menulis dalam keadaan daimul wudu (selalu punya wudu)? Atau setidaknya, sudahkah saya menulis diawali Bismillah? Semoga!