TERSESAT KE PERTAPAAN RATU KALINYAMAT BERBEKAL PUISI GELAP

Mashuri *

Saya mengenal tokoh satu ini dari pentas ketoprak di TVRI tahun 1980-an di TV hitam putih. Pelajaran sejarah di sekolah absen mencatat dan mengajarkannya. Mungkinkah karena ia ‘hanya’ perempuan? Yup, ia adalah Ratu Kalinyamat, puteri Sultan Trenggono, Demak. Dikenal sebagai penguasa Jepara atau Kalinyamat pada masa Kerajaan Pajang, pengganti suaminya, Sultan Hadiri. Sebagaimana diketahui, Sultan Hadiri dihabisi kaki tangan adipati Jipang Panolan, Aryo Penangsang, dengan bilah keris legendaris Kyai Setan Kober, karena bersekutu dengan Sultan Hadiwijaya, yang kondang dengan nama Jaka Tingkir.

Dalam ketoprak, Sultan Hadiri dianggap sebagai salah satu otak di balik mangkatnya Pangeran Sekar Seda Lepen, ayah Aryo Penangsang, ketika akan berangkat menunaikan salat Jumat, demi memuluskan jalan tahta buat Sultan Hadiwijaya. Demikianlah, pentas seni rakyat itu kuyup dengan lendir politik, dan sebagai anak ingusan saya dipaksa untuk memihak. Sebagaimana wacana besar Jawa, masa kecil saya pun memihak Jaka Tingkir dan memandang buram pada sosok Aryo Penangsang, meskipun hitam di atas putih, Aryo Penangsang juga punya hak pada tahta Demak.

Sosok Kalinyamat, yang merupakan sosok historis dan wafat pada tahun 1579, meskipun saya mengenalnya dari kisah imajinatif, turut membentuk imajinasi saya dari kecil hingga remaja. Apalagi, pada masa pertumbuhan gagasan, saya sempat tertarik dengan ide puisi gelap dengan bertumpu pada absurditas dan residu tradisionalitas. Pada tahun 2005, saya pernah menulis puisi tentang Ratu Kalinyamat berjudul “Kalinyamat” —apalagi pada era itu, saya tertarik dengan tema-tema ganjil ihwal perempuan, seperti absurditas Jonggrang, kegelapan dunia Durga, surrealisme Nawangwulan, dan lain sebagainya, yang memang bertumpu dan berhulu pada cerita rakyat atau tradisi lokal yang membentuk ketaksadaran kolektif Jawa.

Awalnya, saya penganut fanatik otomatisme dalam penulisan puisi, sehingga menolak revisi. Namun, karena satu dan dua hal, saya pun merevisi puisi “Kalinyamat” pada 2010, dan saya sertakan dalam Dangdut Makrifat (2018). Mungkin karena puisi ini terlalu gelap, liar dan absurd, tidak ada satu pun media konvensional yang ‘sudi’ memuatnya. Sebagai pembaca, saya baru menyadari, ternyata, sosok Kalinyamat begitu merasuki imajinasi saya, apalagi dari cerita yang sampai pada saya bahwa ia berikhtiar mengkomunikasikan dendam lewat laku membunuh ‘diri’ dalam ketelanjangan!

KALINYAMAT

Hanya aku yang mengerti janjiku pada maut! Aku saksikan arak-arakan terus berarak, derapnya berkumandang, penuhi telinga, jebol kendang, luruhkan darah pada darah, nisbatkan alam pada sisa-sisa pembakaran, bentur-benturkan harapan di kekosongan, kosong, tikam ilham, param malam, hamparan hampa. Batu-batu keras, percik bunga api, bintang-bintang mengambang, laut kembali, debur mengabur, sahwat purba berdiwana, kematian berdurja…

Aku sebut tubuhku jasad. Jasad yang terwarta dari kabar lahat: unggun belatung, ulat-ulat dan kengerian daging yang dikoyak tanah; Aku sebut jasad karena mataku melegam, hitam, kelam; kerlingnya taburkan hasrat untuk menguji diam; tatapannya yang sendiri tapi tak sendiri, sengkarut oleh nasib tak terpahami, tak bisa lari dan terkapar di gigir latar, liar bak kalajengking sengatkan sengatnya dan titipkan racun pembunuh di sekujur tubuh; tubuh telanjangku…

Ketika segalanya rumpang, aku menuju arah ketika surya terbelah. Dunia kurakit dari rasa sakit. Rahasia yang bersemayam di benak mulai mencipta gelisah; ia bertanya tentang angka, cinta, rindu dan kesepian sendiri. Aku kurung fajarku di tapal batas. Kukatakan: ‘jangan pernah mendekat pada seorang yang telah berkhianat pada kelenjarnya sendiri, birahi dan kesakitan yang tercipta dari sepi.

Kelak sebuah rahasia yang tak tersentuh oleh nafas akan meringkas batas, merenggut denyut dan maut. Ia kusapa dengan sirri, palung laut yang tak tersigi. Ia seperti dendam yang tak bisa dibagi.

Surabaya, 2005-2010

Mungkin tidak ada hubungannya puisi tersebut dengan sampainya saya ke pertapaan Ratu Kalinyamat di Jepara, tanpa rencana lebih dulu dan tanpa kesengajaan. Begini, dua hari setelah akad nikah, 19 Januari 2007, dengan kata lain saya masih menyandang sebagai pengantin baru, saya dan isteri jalan-jalan ke kawasan perbatasan Pati– Jepara. Tujuan kami cuma satu, yaitu ke Benteng Portugis, di Desa Banyumanis, Kecamatan Donorojo, Jepara. Kebetulan rumah mertua di Pati termasuk wilayah Pati utara, berbatasan dengan Jepara.

Usai dari Benteng Portugis, saya mencoba arah jalan pulang dengan cara memutar, yaitu melewati ruas jalan ke arah Jepara, melewati Keling, lalu ke Tayu. Ternyata, di perjalanan, kami menempuh jalan yang sama sekali tidak kami kenal, karena saya baru pertama kali menyusurinya, begitu pula dengan isteri. Pada akhirnya, kami nyasar ke sebuah lokasi asri. Di gerbangnya, terdapat tulisan: Pertapaan Ratu Kalinyamat.

Yup, sebagaimana dalam kisah ketoprak, sahdan, Ratu Kalinyamat, bertapa wuda sinjang rikma, tapa telanjang hanya ditutupi rambutnya, demi membalas dendam pada Aryo Penangsang. Ia berjanji baru menyudahi tapanya, setelah bisa mengeramasi rambutnya dengan darah Aryo Penangsang. Sungguh, mengerikan! Meskipun ada juga yang menafsirkannya, bertapa telanjang adalah pralambang menyepi untuk melepas segala atribut yang melekat pada diri. Semacam khalwat.

Pertama melihat kawasan tersebut, saya mulai merasa ada yang tidak hanya logis —semacam magisme realis. Ehm. Kawasan tersebut termasuk Dukuh Sonder, Desa Tulakan, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Keling, pada masa klasik Jawa disebut kerajaan Keling, Ho Ling (dalam berita Cina), atau Kalingga, dengan ratu perempuan: Sima. Tilasnya masih berkabut, tetapi banyak yang meyakini bahwa keberadaannya di kawasan Keling kini. Kerajaan ini kosmopolit karena beberapa tinggalan prasastinya yang berada di wilayah lain berbahasa Sanskrit dan Melayu Kuno.

Tak heran, dalam catatan sejarah kekinian, Ratu Kalinyamat bukan hanya seorang penuntut balas kematian suami tercinta yang melankolis habis. Sahdan, ia tercatat dua kali menyerang Portugis dengan armada laut ke Malaka. Meskipun keduanya gagal untuk merebut benteng di Malaka, tapi serangan itu membuat Portugis jeri untuk merambah Jawa. Baru beratus tahun kemudian, setelah kematian Kalinyamat dan kekuasaan pesisir berakhir, Portugis baru bernyali menginjakan kaki di pesisir utara Jawa, tepatnya di dekat Pulau Mandalika dan mendirikan benteng Portugis. Itu pun atas strategi politik Sultan Agung saat akan menggempur Belanda di Batavia. Kerajaan Mataram kongkalikong dengan Portugis.

Setelah era Kalinyamat, di kawasan Pantura Jawa Tengah, terutama Pati, Rembang, dan Jepara, sejarah mencatat sosok Roro Mendut, perawan penjaja tembakau yang membuat Wiroguno, tumenggung legendaris Mataram era Sultan Agung Anyokrokusumo itu dedel-duel. Lalu, pada era Politik Etis, R.A. Kartini mendapat sambutan dunia, dan kini ditasbihkan sebagai pahlawan emansipasi wanita.

Ada beberapa keyakinan masyarakat setempat terkait dengan Pertapaan Ratu Kalinyamat, apalagi di sana, ada mata air alami, yang dianggap sebagai sebuah daya tawar tersendiri. Rata-rata keyakinan itu untuk perempuan, yaitu bagi perempuan yang lama tidak menemukan jodoh, awet muda, dan lainnya. Yang mengagetkan, ketika saya sedang asyik di Pertapaan Ratu Kalinyamat, mata saya tertambat pada sebuah prasasti baru dari plester semen di salah satu pancurannya, yang menyebut sebuah kota, yaitu Sidoarjo. Sebuah kota yang hingga kini kami tinggali.

Pascatahun 2007, terhitung dua kali saya berusaha menapaktilasi perjalanan saya dan isteri ketika pengantin baru dulu. Namun, entah kenapa, kedua niatan itu selalu tidak berhasil menemukan jalan kembali ke Pertapaan Ratu Kalinyamat. Saya tidak lagi mampu tersesat ke sana. Yup, pada rentang kedua niatan itu, memang belum ngehits Google Map. Meski demikian, yang terekam dalam ingatan saya adalah tempat pertapaannya yang unik karena ada tembikar naga di sana. Selain itu, saya juga penasaran, apakah sebuah tanda nama dari orang Sidoarjo masih bertahan di sana atau sudah mengalami renovasi.

Pada 17 Januari 2021, ketika pandemi mulai menggila, saat saya sendirian di teras rumah di Sidoarjo, ingatan pada pertapaan ratu legendaris di Pantura Jawa itu begitu melekat. Yup, tanggal itu, adalah hari ulang tahun pernikahan saya ke-14. Saya seperti Kalinyamat yang sedang dirasuki naga dan menenangkan keliarannya dengan cara bertapa. Sejurus kemudian, saya membayangkan diri sehikmat Kalinyamat saat sedang meredam dendam terhadap musuh abadinya, Aryo Panangsang, meskipun tubuhnya melepuh dan dada lebam.


KENANGAN NAGA

dalam genangan kenangan, akulah naga yang tertidur dari ritus tanah. aku sudah berpesan pada waktu, ‘jangan kau bangunkan aku, selama nafasku masih api.’

tapi air bah —seperti nujum zaman es ketiga– menyeret ingatanku membentur batu-batu angkasa. kusebut nuh lewat tubuh purbaku yang raksasa. ‘bila zaman masih membutuhkan degupku, kirim bahteramu dalam mimpi-mimpi dalu’.

aku melihat diriku bangkit dari kenangan. tak ada bahtera yang kuasa meringkusku. nafasku mendengus dari tungku, membakar hutan-hutan rindu. tangan dan kakiku bergerak dalam tarian angin —menciptakan sakal-sakal lain. mulutku berkumur segala bensin, melebur hening.

suaraku berkoar sehingar halilintar di padang datar: ‘o waktu, kenapa kau usik dengkurku, biarkanlah lelapku memadamkan agni yang masih bersarang di jantungku….’

waktu datang dengan membaca cermin. aku dimintanya mengaca, sebab aku bukan kahfi, api yang tak padam dalam goa mimpi-mimpi. ‘tidak tahukah kau, kenangan dapat menjelma kuburan abadi. lihatlah dirimu, tak ada naga tanpa api. kenapa kau hilang nyali bertempur dengan dirimu sendiri’

demi waktu kini dan nanti, berbekal pantulan kaca benggala dan mantra dunia bawah, biarlah aku berkiblat pada kalinyamat, melesat dari arus memori, meski sesekali kelak, aku menyanyikan lagu: ‘yesterday’

Sidoardjo, 17 Januari 2021

Hmmm. Seringkali, saya juga belajar pada puisi sendiri —terutama soal ingatan dan gelisah diri. Puisi seringkali merupa alarm pengingat terkait dengan hal-hal yang luput dalam keseharian dan tergilas rutinitas.

Kembali ke soal tersesat ke Pertapaan Ratu Kalinyamat. Hingga kini, saya masih belum mengerti bagaimana rute yang saya dan isteri telusuri hingga ke Pertapaan Ratu Kalinyamat pada 2007. Bahkan, saya seperti dipaksa untuk mencatat bahwa bisa jadi saya tidak benar-benar tersesat, karena pernah menelusurinya dan mengabadikan gelibat imajinasi dalam puisi, meskipun liar, gelap, dan berapi-api. Sebab, seringkali hidup memang diwarnai dengan rahasia dan misteri –seperti puisi berbahasa sandi.


On Sidoardjo, 2021

*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *