Menjadi Penyair dari Catatan Harian

Dahta Gautama*
http://www.lampungpost.com/

KARENA keintensitasan menulis puisi, kemudian memublikasikan puisi-puisinya di sejumlah media massa atau kemudian membukukan puisi-puisinya, seseorang yang sebelumnya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa tiba-tiba dipredikati sebagai penyair.

Apakah semudah itu untuk menjadi penyair? Tentu tidak. Menjadi penyair, mengambil istilah sastrawan Isbedy Stiawan Z.S., melalui proses panjang yang berdarah-darah. Continue reading “Menjadi Penyair dari Catatan Harian”

Komedi Hitam Rasa Melayu

Ibnu Rusydi
http://www.tempointeraktif.com/

Namanya Aruk. Ia bukan Don Kisot. Tapi, karena watak pandirnya, nasibnya selalu sial. Teater Satu Lampung, dengan menggunakan format teater kampung, menyajikan kisah Aruk, yang ditulis oleh sang sutradara, Iswadi Pratama. Pertunjukan ini renyah, lucu, sekaligus getir.

Lakon ini telah dipentaskan Teater Satu Lampung di puluhan desa, sekolah-sekolah, dan instansi pemerintahan di Lampung. Mereka juga menjajal memainkan drama ini di komunitas-komunitas teater, dari Solo sampai Jakarta. Dan kini dicoba di Teater Komunitas Salihara, Jumat dan Sabtu lalu. Panggung di Salihara diubah ke dalam bentuk arena. Continue reading “Komedi Hitam Rasa Melayu”

Menegasi Indentitas Sastra Indonesia

Damhuri Muhammad *
Republika

Corak historiografi kesusastraan Indonesia modern yang masih berpijak dan bertolak dari ‘asal muasal’ dan pendekatan teleologis, memang sudah amat melelahkan dan terlalu banyak menguras tenaga dan pikiran. Sebagian pemerhati sastra mulai pesimis, kehilangan gairah, bahkan apriori.

Nirwanto Dewanto, dalam esainya (Kompas, 4/3/2000) mempertanyakan, masih perlukah sejarah sastra? Ini mencerminkan ketidakpercayaannya pada konstruk sejarah yang ditegak-berdirikan tanpa ‘kesadaran sejarah’ itu sendiri. Sejarah sastra yang ‘penuh lupa’ atau sengaja lupa berkepanjangan. Continue reading “Menegasi Indentitas Sastra Indonesia”

Puisi Perahu

Mustafa Ismail
tempointeraktif.com

Hujan belum sepenuhnya berhenti ketika puluhan sastrawan satu persatu meninggalkan kafe. Mereka melangkah ke dermaga kecil yang terbuat dari kayu yang menyatu dengan cafe itu. Di sana, sebuah perahu besar dan sejumlah perahu kecil telah menunggu. Para sastrawan lalu meniti anak tangga masuk ke dalam kapal besar.

Tak lama, irama rapa’i mengalun ditabuh oleh sejumlah lelaki berpakaian hitam-hitam bermotif Aceh, ditingkahi suara serune kale — alat musik tiup khas Aceh. Continue reading “Puisi Perahu”