Belajar Sejarah dari Timbunan Cerita

Judul Buku : Rahasia Meede (Misteri Harta Karun VOC)
Penulis : E. S. Ito
Penerbit : Hikmah
Cetakan : I, Oktober 2007
Tebal : 675 Hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Dalam jagad fiksi belakangan ini -baik itu novel, cerpen, maupun puisi-, tak sedikit pengarang memanjakan imanijasi untuk selalu bertanya. Misalnya, Dan Brown yang piawai mengkait-kelindankan konstruksi ceritanya dengan alur hidup seniman besar, Leonardo Da Vinci, hingga novelis itu berhasil melahirkan karya adiluhung The Da Vinci Code yang menggemparkan itu. Begitu juga dengan Matthew Pearl yang membingkai kisahnya dengan kepeloporan penyair, Dante Alighieri (1265-1321), hingga sukses menggubah The Dante Club, novel yang telah melambungkan namanya dalam kancah sastra dunia.

Novel karya Es ito ini, Rahasia Meede (Misteri Harta Karun VOC), juga tidak bertolak dari semangat membingkai kisah dengan gagasan besar sebagaimana dilakukan Dan Brown dan Matthew Pearl. Pengarang muda ini, mengemas rapi kisahnya lewat sejarah kartel dagang Belanda, VOC, sejak masa awal, masa kejayaan, hingga fase kebangkrutannya, tahun 1799. Jantung tutur kisah dalam novel ini, berkisar di seputar perburuan harta karun VOC yang bermula dari kedatangan laki-laki misterius ke penginapan delegasi Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Syahdan, para juru runding Indonesia sedang dihadapkan pada pilihan sulit. Pihak Belanda menyodorkan klausul tentang pengalihan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden kepada Indonesia. Bung Hatta sudah mencari jalan tengah, tapi para perunding tak berhasil mencapai mufakat. Orang asing itu memberikan selembar kertas lusuh pada seorang delegasi, Ontvangen maar die onderhandeling. Indonesie heeft niets te verliezen! (Terima itu perundingan! Indonesia tak akan rugi!), begitu ia berbisik. Tentu saja Indonesia tak bakal rugi, sebab yang diserahkan laki-laki itu adalah dokumen rahasia berisi petunjuk tentang lokasi penyimpanan emas batangan milik VOC. Celakanya, dokumen itu raib, tak ditemukan di dalam peti dokumen KMB yang dibawa delegasi Indonesia. Itulah basis problem setiap rangkaian cerita dalam novel setebal 675 halaman ini.

Namun, pengarang tidak langsung menukik pada perburuan harta karun yang tertimbun selama lebih dari tiga abad itu. Es Ito malah membuka cerita dengan kasus pembunuhan berantai yang meninggalkan sejumlah tanda tanya besar.

Dalam waktu kurang lebih lima bulan, ditemukan lima mayat yang semuanya terbilang orang penting. Mayat Saleh Sukira (ulama) ditemukan Bukittinggi, Santoso Wanadjaya (pengusaha) dibunuh di Brussels, Nursinta Tegarwati (anggota DPR) dibunuh di Bangka, JP Surono (birokrat) dibunuh di Boven Digoel dan Nono Didaktika (peneliti) dibunuh di Banda Besar. Satu selubung misteri belum terungkap, pengarang sudah merancang keterkejutan baru. Batu Noah Gultom (wartawan koran Indonesiaraya) dipusingkan oleh penculikan Cathleen Zwinckel, mahasiswi universitas Leiden yang sedang melakukan penelitian tentang sejarah ekonomi kolonial di Jakarta.

Sebelum diculik, Cathleen dititipkan oleh Prof. Huygens (pembimbingnya) di lembaga penelitian partikelir, Central Strategic Affair (CSA). Redaktur senior Indonesiaraya, Parada Gultom, juga hilang entah ke mana. Batu hampir memastikan bahwa dalang semua peristiwa itu adalah gerakan bawah tanah yang menyebut dirinya ; Anarki Nusantara. Sebelumnya, kelompok pengacau yang dipimpin Attar Malaka itu juga dituduh sebagai otak penyerangan bersenjata dan perusakan gedung di sebelah utara Jakarta.

lewat karyanya ini, Es Ito dengan leluasa menggiring pembaca ke dalam suasana Batavia di masa gubernur jenderal Cornelis J Spellman (1682) dan sepak terjang Monsterverbond (persekutuan rahasia yang mengendalikan VOC), lalu dengan sangat tiba-tiba ia mengungkap penemuan terowongan bawah tanah (De Ondergrondse Stad) di Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah). Terowongan itu diduga berujung di tempat penyimpanan dokumen rahasia tentang harta karun VOC yang hilang sejak 1949.

Pada saat yang sama, Es Ito memotret suasana Jakarta hari ini, ia menyebut ‘Bis Transjakarta’, Mikrolet S-11 jurusan Pasar Minggu-Lebak Bulus dan KRL Bojongggede Ekspress. Realitas yang sangat ‘menyehari’ bagi warga Jakarta hari ini. Terjebak pada suasana mencekam dalam cerita novel ini, ternyata Batu Noah Gultom bukanlah wartawan biasa, ia anggota intelijen militer yang menyusup di Indonesiaraya guna melacak persembunyian Attar Malaka (sebelum buron ia bekerja di sana).

Saat menyelamatkan Cathleen dari penculikan, Batu mengaku polisi bernama Roni, padahal ia adalah Batu August Mendrofa, intelijen militer dengan nama sandi ‘Lalat Merah’. Sebenarnya, Batu tahu pelaku penculikan Parada Gultom. Redaktur senior itu ‘diambil’ oleh orang-orang suruhan Darmoko, jenderal purnatugas, pemimpin ‘Operasi Omega’ untuk membasmi antek-antek Anarki Nusantara. Parada diinterogasi untuk mengorek informasi perihal keterlibatan Attar Malaka dalam penyerangan bersenjata, perusakan gedung, pembunuhan berantai dan penculikan Cathleen.

ES Ito, pengarang buku ini, membingkai kompleksitas cerita dengan detail sejarah Batavia Tempoe Doeloe. Ada dua pilihan bagi pembaca novel ini; cerita atau sejarah? Jangan-jangan kita memang lebih gampang membangun kesadaran sejarah bila diumpan dengan sederet cerita. Belajar sejarah lewat novel sejarah. Apa boleh buat…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *