Azizah Hefni
Ribut. Teriakan sahut-menyahut. Suara serak beradu suara kecil di ruangan berselambu. Ada nyala televisi dengan volume tinggi. Belum lagi bunyi sirine kereta jalan. Semua bercampur dan siap pecah. Lantaran selambu kamar tak ada, pantulan mentari jadi meraja. Gerah. Tiap titik kegerahan menyimbolkan resah serta amarah. Tak tahan, perempuan itu membanting tasnya ke lantai dan berjalan mantap ke ruangan.
Seorang gadis remaja, anak sulungnya itu, mengisyaratkan pada sang ibu untuk tenang. Laki-laki mendelik. Suara gagaknya tertahan. Mata menyala api. Dan bocah di sudut ruangan—dengan kereta sirinenya—menatap lugu ibunya yang siap meledak. Ia segera mematikan bebunyian itu dan berlari ke halaman. Si sulung mengikuti adiknya keluar ruangan.
Kini hanya tinggal dirinya; si bungsu dan laki-laki itu. Remote masih dipegang keduanya. Alis menyeringai dari muka bapak dan anak. Keheningan dari sentakannya hanya sesaat saja. Setelah itu, si bapak menyentak lebih hebat lagi pada si bungsu. Ia juga menarik benda itu lekas dan mengumpat tegas. Bocah kecil menangis, mengadukan ulah kejam bapaknya.
Ia berjalan menghampiri Bayu yang merengek-rengek. Tangan perempuan menarik lengan anaknya yang baru dua tahun. Remote televisi mutlak digagahi laki-laki serak. Makin melengking saja tangisan Bayu. Tak ada pilihan, ia menggendongnya ke halaman dan keluar melintasi jalanan tanpa aspal. Bayu terus mengadukan kesewenangan bapaknya. Jalanan lengang itu nanti akan mengantarkan keduanya pada perkebunan Kalibakar yang luas. Sebuah perkebunan yang melintasi lima desa sekaligus. Pohon-pohon hutan lindung dan sebagian wilayah berkakao di sana menuai banyak untung.
Namun, tak sampai kesana, Idawati berbelok ke jalan tikus, mengantarkannya pada tanah tanjakan. Sebuah bukit kecil. Ia menepuk-nepuk pantat Bayu agar diam. Lantas, ia melepas gendongannya, menggandeng Bayu duduk di batu besar bawah pohon. Dari tanah bukit ini, tampak manggis dan pisang dari kebun buah warga berjajar seperti batalyon. Di sebelah utara, area pertanian jagung dan ketela. Kakao tak tampak sama sekali. Hanya di perkebunan raksasa itu yang sanggup menanamnya. Ini karena mahalnya tanaman dan lamanya masa panen.
Dari atas bukit kecil itu, area perkebunan Kalibakar terlihat seperti hutan raksasa di tengah-tengah pemukiman penduduk. Pohon-pohon lindung dan produksi gagah megah. Truk-truk pengangkut kayu tertata rapi–kejauhan seperti mainan yang berjalan-jalan dengan baterai. Dan sebelah truk-truk itu, ada pabrik pengolahan kayu.
Ia melepaskan gandengan anaknya yang masih terisak-isak pelan. “Kamu harus ngalah pada bapakmu, ngerti?” Ia meyakinkan, “Bapakmu itu pengku !” Bayu masih terisak, Idawati mengecup keningnya. Saling tatap. Air mata masih menghujan. Ia lantas memangku Bayu, diciumnya ubun-ubun bocah itu. Siur angin menambah dingin. Ia mendekapnya seerat mungkin, seperti ketika rahimnya mendekap jabang mungilnya hangat.
“Tapi Bapak kan sudah besar, Ibu!”
“Sssssttt!” telunjuk Idawati rapat dibibirnya “Kamu mau dipukul? Dilempar tongkat, heh?”
Bayu menggeleng pasrah. Ia melirik lengan Ibunya yang balur. Kayu itu tampaknya berat. Semalam ia melihat dengan kepala sendiri bagaimana bapaknya menampar batang kayu ke lengan ibunya.
Mendadak terdengar daun kering terinjak. Idawati menoleh cepat. Beberapa meter, berdiri seorang laki-laki di ujung tanjakan. Ia berseragam putih kusam dan bercelana hitam. Matanya kelelahan. Dari bibirnya sesungging senyum. Ia mengangkat bahu, menghela ringan, dan berjalan mendekat.
“Aku melihatmu berjalan cepat tadi,” gagap, suaranya serak. “Aku meneriakimu, tapi kamu tidak dengar. Jadi, aku langsung ke sini saja,”
Perempuan itu tersenyum ramah. Bayu menatap laki-laki itu asing. Ia berjalan mendekati Idawati dan duduk menjajari. Bau keringat menyengat. Angin sore di perbukitan melambai-lambaikan rambutnya. Ia bertanya kabar, dan laki-laki itu menjawab seadanya. Senyumnya masih tetap sama, tapi sorot matanya berbeda. Matanya dalam dan menusuk, gelap, menantang penuh semangat namun terpendam. Dan di pelipisnya ada lebam biru mengharu.
“Kamu masih sering di sini, Rusman?” tanyanya kemudian.
“Yah, aku selalu di sini untuk menghibur diri,” sangat apa adanya, “dulu kamu juga sering ke sini, kan? Kamu yang memberitahuku tempat ini,”
Mengangguk. Ya, dulu, sebelum matahari berubah menghitam. Sebelum langit muram kusam, sebelum semesta menunjukkan keangkuhan. Di sinilah ia menanam harapan. Hanya sebuah harapan, tentulah kalah dibanding dengan kekuatan. Laki-laki berkumis itu memiliki kekuatan dan menggilas habis harapannya.
Ia melirik perempuan yang bahkan menyapanya saja seolah ia tak berhak. Perempuan mendendangkan lagu macapat lirih. Bayu masih sesenggukan. Pasti berakhir karena tiap tepukan dari lembut tangannya menyebarkan tenang. Sepasang mata telaga, menggenang perahu yang hanya diam di permukaan. Ia ingat bagaimana Rodiah menceritakan perempuan ini menangis tersedu. Ia tak pernah bahagia. Selama linggis masih belum bisa mengapung, kesedihan tak akan bisa dibendung.
Karena menahan gejolak, leher jenjang itu bergerak-gerak menahan sesak. Dan dua butir embun siap jatuh membasahi pualam pipi. Ia mengecup ubun-ubun si buyung–bersamaan dengan itu, tetesan itu jatuh.
“Apa yang bisa kulakukan sekarang? Melihatmu begini, aku sangat menderita,” tatapan matanya naif, “Aku tak mau kau memikulnya sendiri,”
Cepat disaputnya. Ia menoleh sejenak, lantas memandangi hamparan pepohon. “Maksudmu?” Idawati berpura-pura.
“Rodiah menceritakan semuanya padaku. Jangan sembunyikan apapun lagi,” Idawati menunduk, matanya berkaca-kaca “Tak akan bisa. Penderitaan ini tak sebanding dengan penderitaan yang kamu alami,” laki-laki itu mengernyit pada perempuan di sebelahnya, “Aku juga sudah mendengar semuanya dari Pak Suhar. Dia bilang, suamiku selalu memarahimu, bahkan suka sekali menendang atau memukulmu,”
“Semua mandor melakukan itu,”
“Ya, tapi dia yang terkeji, kan? Dia tau masalalu kita,”
“Aku tahu dia dendam. Apa dia sering memukulimu juga?”
Tak ada jawaban. Rambutnya dibelai-belai angin, membuat sepasang mata bening itu menyipit. Ketenangan Bayu sempurna. Ia turun dari pangkuan dan memetik daun-daun tanaman liar.
“Sejak ia tahu masalalu kita, dia suka sekali memarahiku,” suaranya penuh dendam, ”Lambat laun ia pasti akan terbiasa memukuliku,” Bagi perempuan, perlakuan kasar itu adalah penderitaan terpanjang. Dia seperti tak sadar bahwa ia istri yang dibelinya atas nama Tuhan. Sepasang mata kembali mengembun. Berkaca-kaca dan siap pecah. Wajah merah, dagu bergetar resah. Bersamaan dengan tarikan nafasnya, mengalirlah air mata itu dengan lancar.
Tahukah, ia ingin sekali memeluk? Mengambil bebannya yang berpunuk? Hanya, mata laki-laki itu seperti mata setan, bertebaran dimana-mana. Purwanto, mandor gemuk sialan itu mengadukan hubungan yang sejujurnya sudah dimakan waktu itu pada suami Idawati yang juga seorang mandor. Culas, pedas. Ia lupa kalau dulu ia pernah miskin, pernah mengeluh tak memiliki pekerjaan. Kini, setelah diangkat menjadi mandor, begitu bebasnya ia membusungkan dada dan mencelakakan para buruh perkebunan.
Sungguh ia tak sanggup. Pernikahan paksa atas mandat bapaknya yang juga kaki tangan mandor bejat itu sudah amat melukainya. Idawati sempat mengancam akan membunuh dirinya dengan terjun dari bukit ke lembah berbatu. Lebih baik mati dari pada menikah dengan mandor licik seperti Totor Raharjo. Hanya saja, ada kekuatan abstrak yang diatur melingkupinya. Banyak yang membantu kutukan itu bertahan, termasuk tetuo di lereng Semeru. Konon, ia telah bertapa puluhan tahun. Selama linggis masih tenggelam dalam air, ia tak akan bisa lepas. Kematian akan datang, entah pada siapa, dirinya atau laki-laki kenangannya. Haruskah ia rela mati, agar sepasang mata itu merekah lagi, seperti saat Rusman mengajaknya melihat lingsir matahari?
“Kita lari saja,” Suara Rusman memecah udara, memecah tenang dalam diri perempuan itu. “Kita pergi dari Kalibakar! Pergi sejauh-jauhnya!”
“Kamu pikir mudah? Salah satu dari kita akan mati! Bagaimana dengan anak-anakku? Lagipula, aku tak mau kamu mati! Djati Kusumo itu pertapa hebat. Supri dan Jukri mati disantetnya. Wati, anak yang menolak lamaran Purwanto, mandor tengik itu mati mengenaskan. Perutnya banyak kabel dan baterai! Banyak kutukan yang berhasil dan abadi!” ia berteriak panik. Bayu melihat ibunya menegang.
“Emakmu itu, bagaimana bila kehilangan kamu? Adikmu belum menikah! Kamu juga. Bukankah kabarnya kamu akan menikah dengan Rodiah?”
“Aku tidak akan menikah dengan siapapun!!”
Ia diam, mencerna kalimat yang dilontarkan begitu tegas memegas. Idawati menarik nafas, dan melemparnya kasar. Air mata deras tak tertahan. Isaknya menggebu-gebu. Bayu semakin tak tahu menahu.
Rusman tak tahan. Ia memeluk tubuh Idawati yang ringkih. Mata laki-laki itu tak kuasa menahan derita. Ia ingat dulu, saat ia masih begitu leluasa memeluk kekasihnya atau sekadar menghapus air matanya. Idawati tak mengelak. Ia memang butuh dermaga lantaran terlalu lama menderita. Karena angin mengerti, maka diamlah ia berkelebat. Dua helai daun jatuh, tepat ketika Idawati membalas pelukan kekasih lamanya. Bayu menatap ibunya tak mengerti.
***
Dan ia berjalan, mengangkut kayu-kayu ke atas truk. Keringat sudah berbaris rapat-rapat. Seorang buruh tampak ditendang pantatnya lantaran terlihat menerima kiriman makanan dari perempuan–mungkin istrinya. Para buruh di sini berhadapan dengan mandor-mandor berwatak kompeni. Belanda sudah berlalu, tapi watak kemlondo masih menyatu. Ia sering mendengar keluhan buruh perkebunan. Bagaimana si mandor meraung-raung, memukul atau menendang buruh yang terlambat. Bagi buruh yang terlambat, hari itu tidak akan mendapat upah. Upah dari pusat akan masuk ke kantong mandor-mandor tengik itu.
Ia berdiri di sana. Dua tangannya berkacak pinggang. Rusman merapatkan badan, berbisik pada rekan sebelahnya. Ia membisikkan rencana pertemuan rahasia setelah pulang kerja pada para buruh satu persatu. Sekalipun tampak takut dan khawatir, para buruh itu mengangguk. Amarah itu sudah menjadi kerak-kerak raksasa di dada mereka. Dan pemuda bernama Rusman itu akan melebarpaksakan nyali mereka yang sempit.
Senja tiba, para buruh mulai berbondong pulang ke rumah. Rusman berjalan paling belakang. Krah baju tiba-tiba tertahan. Wajah laki-laki beringas sudah menyeringai di belakangnya. “Hari ini kamu tidak mendapat upah!”
“Tapi, apa salahku? Aku tidak terlambat! ”
“Lebih dari terlambat. Kamu menemui istriku, Ccuuhh!” ia meludah tepat di wajahnya. Rusman memejamkan mata, merasakan pukulan keras di pipinya beberapa kali.
***
Malam kelam. Sekelompok orang melingkar di rumah Kang Utomo. Tegang memanggang. Dan beberapa buruh tampak mengangguk sepakat. Ada yang menyeru nama Tuhan, ada yang berteriak merdeka. Rusman tahu respon rekan-rekannya akan sangat baik. Mereka hanya butuh dipancing untuk sedikit lebih berani.
Begitulah, perkumpulan rahasia itu tiap hari diadakan. Semakin matang buah pikiran mereka. Lahan di Kalibakar adalah lahan nenek moyang desa. Dulu, Belanda memang menguasainya, namun, sekarang Belanda sudah pergi, maka tanah harus kembali ke pangkuan desa. Pemerintah sudah mengeluarkan pernyataan perihal hak tanah, namun hanya sebagian kecil. Pemilik perusahaan perkebunan masih duduk nyaman di kota. Sementara pula, para mandor berbuat sewenang-wenang.
***
Perempuan itu berjalan seorang diri di bukit. Ia menduduki satu-satunya batu di bawah pohon dan menatap hijau daun di sepanjang mata. Laki-laki itu ada di dalam sana, di gerombolan pohon raksasa. Apa yang ia lakukan? Apakah ia baik-baik saja? Ia ingat, kemarin Rusman mengatakan cinta dan menciumnya. Ia tersenyum sendiri.
Lantas, Idawati meraba pipinya yang masih panas. Semalam suaminya memukulnya keras sekali. Sebelumnya lagi, ia mendorongnya hingga membentur meja. Lihat, pelipisnya tersumbat perban. Ada darah mengalir dan nyaris masuk ke mata kanannya, tersebab suaminya tahu bahwa ia bertemu Rusman. Pastilah Djati Kusumo yang memberitahunya.
Di tempat sunyi ini, terdampar seribu lebih ilusi. Ia ingin kembali melewati area perbukitan, melewati laut dengan guruh gelombangnya, melewati angkasa yang menaburkan benih bintang gemintang. Ia mendesah, mengingat-ingat lagi masa dimana ia memilihnya menjadi pendamping hidup. Betapa rapuh mentalnya! Hanya karena sentakan bapaknya yang mengatasnamakan Tuhan dan status darahnya, ia rela menjalani hidup dengan duda tanpa anak itu. Sejujurnya, apakah hakekat sebuah jalinan rumah tangga? Kenapa ia menjadi sebuah kewajiban bila sejatinya begitu membuat menderita?
Tiba-tiba ia melihat kobaran api. Idawati mengemasi lamunannya. Ia bangkit dan menyipitkan pandangan. Pohon-pohon bergumbul itu tampak terbakar. Pabrik dan truk-truk juga. Ramai riuh. Kepulan asap bergulung-gulung di udara. Aih!
Serta merta ia ingat Rusman. Laki-laki itu ada di sana. Panik mengantarkan kakinya dengan sangat cepat menuruni tanah tanjakan, dan melewati jalan-jalan sempit tak beraspal. Sampai ia terantuk batu dan tersungkur. Darah mengalir dari dua lututnya dan beberapa jari. Idawati bersegera berdiri dan terus melarikan kakinya.
Suara teriakan kian dekat, panik kian hebat. Dari gerbang perkebunan tampak para buruh berliaran keluar. Perempuan mencari-cari. Ia menanyakan kepada beberapa pegawai pabrik yang bebas lari, namun mereka tak menggubris. Para buruh kehilangan kendali dan masing-masing berusaha menyelamatkan diri.
Mata Idawati nanar. Ia meneriaki nama kekasihnya. Hingar bingar. Ia menahan sakit di kakinya. Namun, ia kembali tersungkur saat sebuah kaki besar bersepatu boat menjegalnya. Seterusnya, banyak yang menginjak punggungnya, tangannya, kepalanya, rambutnya, lehernya, kakinya… Kemudian perempuan itu tak merasakan apa-apa lagi.
***
Pembakaran perkebunan mendapat sorot tajam dari media. Pemerintah turun lapangan dan menyelesaikan masalah. Buruh yang bermain di belakang layar mulai dicari. Sementara status tanah diperdebatkan lagi. Kalibakar menjadi sebuah lahan sunyi dan penuh dendam. Banyak korban, tak satupun mandor yang hidup. Jauh diluar dugaan, kematian begitu banyak.
Para buruh menyimpan dendam kesumat demikian lama. Sungguh ini diluar dugaan. Keliaran itu lahir saat api membakar kawasan. Banyak penduduk dan para petani ikut masuk dan mengacaukan susana. Orang-orang sudah terlanjur menyukai jalan ini. Jalan teriakan, umpatan, pembakaran, dan pembunuhan. Satu lagi, jalan kutukan! Semua ini karena dendam. Ketenangan itu, bagi mereka, hanya mampu diselesaikan dengan darah.
Atas nama sepasang mata perempuan yang semakin tertekan menahan beban, Rusman menjadi pelopor. Saat api mulai berkobar, laki-laki itu berlari memasuki kantor dan melempar obor ke tubuh mandor tengik itu. Ia ingat bagaimana tubuhnya menggelinjang seperti cacing terpanggang. Ia sangat puas melihat tubuh yang terbakar itu menghitam dan benar-benar diam.
Idawati, tahukah, karena kehilanganmu, maka kurelakan penjara menghimpitku. Batin Rusman tercacah. Perempuan itu, bagaimana bisa tergeletak dengan simbah darah di perkebunan? Apa yang ia lakukan di sana? Bukankah seharusnya ia mengurus anak-anaknya di rumah dengan tenang? Setelah membakar tubuh Totor Raharjo, Rusman berlari ke rumah kekasihnya. Betapa terkejut ia saat Bayu menggelengkan kepala dan mengatakan sang ibu tak ada di rumah.
Laki-laki itu digelandang, juga beberapa buruh lain yang tak bisa lari dan sembunyi. Ia menunduk, menghindari jepret media dan sorot kamera. Betapa luka telah menggores seluruh komponen kedirian laki-laki itu. Ia merasa tidak hidup lagi. Ia adalah entah.
Bayu dan dua kakaknya menangisi kedua orang tua mereka yang bersatu dengan tanah. Jepret-jepret kamera tak kalah ramai. Pekuburan dikunjungi banyak orang. Selama linggis masih tenggelam ke dalam air, semuanya memang tak ada gunanya. Bukit lengang. Sepasang mata perempuan di atas bukit kembali tergenang. Ia harus rela jasadnya bersebelahan dengan suaminya lagi.
***
Malang, 28 Juni 2007.