(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Diruapi Malam Harum” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper
Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=223
Udara wengi mekar perlahan, membawakan berita dari dasar keheningan,
merasakan sayap keagungan kedaton, yang digerakkan ruh suci kehidupan (VI: I).
Langkah kata-kata mengikuti kehendak hembusan semerbak bayu mesrah,
waktu-waktu memijarkan benang cahayanya dalam degupan cinta sesama (VI: II).
Merambah kurun masa, menjamah kulit getara, serupa jarak keganjilan akan
takdir dipersaksikan sukma, menjadikan purnanya pribadi-pribadi utama (VI: III).
Sehempasan nafas nan temaram, selembut lelembaran kabut bertaburan
atas gubahan kidung, dalam perjamuan malam-malam (VI: IV).
Di mana bergerak lalu berdetak, tetabuhan bertalu-talu di lumbung padi,
mengisahkan dewi sri menari-nari bersampurkan cahaya pagi dengan ruh lestari,
memakmurkan jiwa-jiwa, dan tiada diketemukan wajah-wajah murung petani (VI: V).
Dekatkan senyummu, di sisi benderang bulan menggendong keriangan,
pedut membumbung mengabadikan masa, atas menterjamah peristiwa (VI: VI).
Tiada perlu dipertanyakan sebab maksud terfahami di jalanan usia,
demi pencarian bebatuan mulia, yang hilang diketemukan kembali (VI: VII).
Di rimba kelana menempuh gairah pagi menyuguhkan penerang hati,
kemampuan mengisi tempat, sedang ruang meluangkan kehendak (VI: VIII).
Ruh hayat berkabut, sesendi insan melewati kelenjar kesadaran (VI: IX).
Menghadangmu saat hendak terjun memutuskan ruh, tali-temali merentang
laksana sampur membelit tubuh, tariannya melambaikan tetembangan jiwa (VI: X).
Aduhai penerawang, berteduhlah di tentram jiwamu, janji datang kepadamu
atau kau menyusul, menuju deburan waktu paling tentu (VI: XI).
Saat ketentuan berunjuk, kisahkan buah matang sekali tiupan, dan kekupu
mengepak dikawinkan bayu, oleh keinginan terindah mengimbangi jiwa (VI: XII).
Lentera di tengah-tengah malam, membelai tak kunjung padam,
ditumbuhi pepohon hening, kembang pelajaran bermekaran (VI: XIII).
Hadir kobaran semangat ketika terjangkit galau, para pewaris
mengusik kalbumu terkuasai, lupa kecemasan ternyalakan (VI: XIV)
; sebagaimana kedudukan sunyi di saat kalbu insan sendiri,
membuka-tutup keramaian memberi warna kesegaran hayati (VI: XV).
Yang menjenguk keyakinannya akan mendapati harum kembang,
taman mewangi di sepanjang merawat rambut cemara atas ketinggian pagi
yang mempelanting embun cahaya mentari, pada rerumputan berduri (VI: XVI).
Duduklah di bangku paling mesra tanpa terbebani debu-debu curiga,
air penuh dalam gelas, apabila tumpah di hadapanmu nyawanya (VI: XVII).
Kau mendekati keagungan, menempuh berlapis-lapis ketentuan,
semenjak telaah kematangan, teringat jalan pernah dunia kecil tempuh,
serupa ruh penyetia, menguak perbendaharaan kata-kata (VI: XVIII).
Kehadiran detik-detik mengulangi masa peristiwa,
manusia mempelajari kesendiriannya di jarak sosial cahaya (VI: XIX).
Jikalau merasa diselimuti keganjilan sewaktu menyulami bumi,
begitu lepas rantai berputar habis bersatu, dalam pelukan mesrah (VI: XX).
Ruh suci kehidupan berluap rindu, atas kobaran tungku mewaktu,
mencipta embun di wajahmu, dan selempar surat terseret arus (VI: XXI)
; ikan-ikan berkasih, terhantar ke pesisirmu, terbaca bebocah pantai
setelah kering penantian, menebalkan kertas-kertas keyakinan (VI: XXII).
Indahnya nafas-nafas bertemu menjelma terbiasa yang asing itu,
ruh menyeberangi kali menyusuri lengan jembatan, nuraninya mengikuti bayu
membuka tirai kalbu, menuju langkah kebugaran mewaktu (VI: XXIII).
Kau menghisap hawa ketinggian lengkungan tangan kekasih
di pebukitan bersayap cinta mendiami kelembutan jiwa (VI: XXIV).
Kesadaran ruh ganjil, sedang ketidaksadaran terkira dalam,
tatapanmu seperti ratapan mata berkunjung ke sana (VI: XXV).
Langit malam merunduk setangkai awan, dan suara-suara dedaunan
menyapa bintang-gemintang, sedari mata jendela kereta jaman (VI: XXVI)
; menghormati bunga rumput di kampung hujan, kemungkinan awan dari
balik pungung bukit, berharap kedipan mata menghargai senyuman (VI: XXVII).
Mengunjungi perjuanganmu atas duka ketermanguan digerakkan sukma
setelah mengunyah keajaiban, seumpama air di gelas itu racikan obat-obatan
pembawa ruhmu kepada ujung-ujung penentu (VI: XXVIII).
Ruh yang diberkati menyatukan jiwa sedenyut kasih sekapas lembut bertiup
melepaskan ada-tiada dalam ruangan sesama, seturut kehendak melati (VI: XXIX).
Ia dekati dadamu, atau kau kepada gemuruh jiwanya, rasakan keterbangunan
beling dingin ratapan, dan khusyuk sayap-sayapmu menjemput niatan (VI: XXX).
Bulu-bulu bebas meninggalkan kekang, mengikuti panggilan gemawan,
merindu-rindu cahaya pembuka, pada jemari tangan-tangan dedoa (VI: XXXI).
Ujung pena mengguratkan syair sehalus dingin belati di tikaman malam,
mengisyaratkan lembaran kertas dalam masa diam ketentuan (VI: XXXII).
Getaran lembut mengembalikan daya, nafas fajar berhembusan
menghampiri kepastian ganjil menuju terangnya pengertian (VI: XXXIII).
Warna bulan pucat membayangi tubuhmu, ruh membumbung
keberadaannya berdegupan, kepada tulang rapuh sejarah (VI: XXXIV).
Celotehnya gentayangan di ubun-ubunmu letak peraduan memilukan,
bola-bola mata nanar terinjak kaki-kaki panggung para pencibir (VI: XXXV).
Duhai hembusan bayu, antarkan ia kepada keabadian merubah waktu
tungguhlah sampai pucuk rambutnya terbelah, terbelai langit biru (VI: XXXVI).
Selepas kesendirian sakit, gerimis tinggalkan suwong ketakberdayaan bukit,
menerima piala berisi racun, setelah menyelesaikan tugas luhur para leluhur,
menyalakan obor kebenaran, di sepanjang kobaran api jaman (VI: XXXVII).
Menangisi diri diselamatkan himpitan batu prahara menemui bumi,
menginjak merangkak, terseok kerikil cadas (VI: XXXVIII).
Hadir berdemaman didekapnya kesembuhkan, masukilah sumsum iman,
lantas kembalikan cinta dari kubangan rindu, kubur kenangan ajal (VI: XXXIX).
Jangan enggan menjenguk nisan dalam rintihan, sebab ketulusan
sanggup menghentikan siksaan, doa kesegaran di alam penantian (VI: XL).
Minumlah walau seteguk di malam menyakitkan, nyalanya dian melambai
demi topangan patah, menjadi pendorongmu selaksa awan menjalani masa (VI: XLI).
Kilatan cahaya petir menyambar keberadaan, bersiap-siaplah terbunuh
agar tidak lama menunggu, terjerembab dalam petak tak menentu (VI: XLII).
Wahai gelapnya malam, isyaratkan kesadaran mentari,
getar di ubun-ubun menunggu bayangan lenyap (VI: XLIII).
Tiada berdaya dibalut rindu, sungguh melayu bunga muda tak bermadu,
harum jiwa pun suwong, kelopak-kelopaknya ditanggal angin berlalu (VI: XLIV).
Namun kau laksana sosok kembang ditakdirkan kekal sepi,
atau sebotol tinta tidak terjamah jemari memukau (VI: XLV).
Jiwa-jiwa sengsara berkabarkan hantu gentayangan
dalam tidur panjang penguasa, terendam cemburu (VI: XLVI)
; bertambatlah kau di belantara dahaga kasih sayang,
kupu-kupu salju di tangan layu bermata sayu (VI: XLVII).
Pahatan sejarah kematian, mengusik takdir mimpi kenyataan (VI: XLVIII).
Semenjak menghuni arus dangkal, sirip-sirip ikan Betik disapu hawa terik,
terdampar menggelepar di bencah tanah, atau ditarik selokan kering (VI: XLIX).
Siapa sanggup hentikan mabuk kepayang, pada leher, alis dan hidung,
segala tubuh sunyi lekat basah, menaiki kasih abad merapikan jaman (VI: L).
Berilah hadiah, sebelum musik pemakaman mentitahkan awan
memayungi jalannya keranda hitam menuju kediaman (VI: LI).
Pagelaran pewayangan dipermainkan ketentuan
diombang-ambing ketetapan pandang (VI: LII)
; pengamat tersesat pengikutnya cinta gelap, kepadanya air sumur tak
kering penimba, terus berdatangan dari segala penjuru pemukiman (VI: LIII).
Telingamu mulai pekat menginginkan lelap dalam pelukan malam,
bersiaplah para malaikat menaburkan perbendaharaan kata-kata (VI: LIV).
Gairah hilang tercuri maksud, mengajak menggesek daya gravitasi,
itu atmosfir memecah segenap kangen, terkumpul dalam semedi (VI: LV).
Dengarlah sebelum isyarat membumi, malam menjemput gerimis
membasahi rumput perjalanan penentu hadir, pada sisimu abadi (VI: LVI).
Bunga mencipta takdir ngilu pujaan, seharum kelopak manunggal
kepastian reranting meragu, terlepas terjaga rindu (VI: LVII).
Hawa malam merangkul pilu, di ujung masa mencecapi makna tiada terkira,
berendaman di sepanjang bentangan pasir pesisir, di pulau-pulau ganjil (VI: LVIII).
Pada pertemuan melangit, serpihan salammu berpijak,
layang hadir, di kala sujud meninggalkan kemabukan bayangan (VI: LIX).
Beranggapan ngeri tidur mendengkur, dibubuhkannya doa-doa
pada selembaran kabut berdetak menempa jantung khusyukmu (VI: LX).
Wewarna luapan hayati menggerayangi nasibmu,
pagi nan buta melewati pekuburan pinggir desa, sukma memanjat
penantian hangat mentari, di sejengkal mata dhukha hakiki (VI: LXI).
Jika malam diruapi bau harum, dikenangnya larikan kaki ke lautan terbatas,
manusia menggelinjak naik-turun, terbakar api keabadiannya sendiri (VI: LXII).
Kelak mencatat yang menawan, berkisah nafas-nafas kabut berhembus
menembus bersulaman ketinggi-rendahan rumput ilalang (VI: LXIII).
Renungan kasmaran dalam kekalan, bermandi bareng pada telaga,
ini sendang kasih, yang pernah dikenal dalam ingatan, dan masukilah
bilik kalbumu, menyadarkan jiwa-jiwa lewat lamunan terdalam (VI: LXIV).
Pujangga bertetap niat, meski kapal gelisah dalam samudra prahara,
layar nasibnya terangkat, lalu berkembang menuju awan cita-cita (VI: LXV).
Sampai dahan menarik pena, bergerak lincah tarian meliuk
menyenandungkan air sendang pancuran di jemari tangan waktu,
menyihir bola mata, menyetujui rimbun ketentramanmu (VI: LXVI).
Kau mulai jemu memasuki lebatnya hutan, tetapi ia tetap inginkan sama,
merasakan terbebani, nafasmu-nafasnya dalam hasrat percintaan (VI: LXVII).
Berhentilah sejenak, ia ’kan menjemput pengaturan langkah,
wujud bayangan terdekat, tiupan ruh berkepompong (VI: LXVIII).
Semenjak memberi warna ketenangan, rambut panjang sebenang fajar
memiliki tempaan pasangan, suka-duka di rengkuh para kesatria (VI: LXIX).
Perkenalkan jiwamu, ciuman lekat mendesah kehangatan cinta,
itu dekapan setubuh, melanggengkan guratan tembang (VI: LXX).
Marilah meresapi tingkah nafas-nafas pemberi rindu,
sedang yang terpenjara, keadaanya berpinjam (VI: LXXI).
Saat-saat dikembalikan dalam pautan sungguh,
fahamilah harum kembang dalam musim itu (VI: LXXII).
Gerimis terjatuh di samping kilatan cahaya, manakala mentari ragu
tertutup malu, awan membuka laksana kerang berpenghuni (VI: LXXIII).
Malam-malam menaburkan benderang gemintang,
klenengan memanggil malammu murni tanpa pengganggu (VI: LXXIV).
Dia menghentikan, saat kau berjalan tersadar kelembutan, gelisa cinta
menyatukan gairah terdalam, selaju jaman menarik abad kelam (VI: LXXV).
Bagi menemukan kebaharuan, serupa nyala obor yang sama,
inilah seruan paling pagi di antara pagi-pagi hari (VI: LXXVI).
Laksana lenyap dalam pusaran padat bertarian hening,
laksana segala hidup ombak lautan, bertujuan malam (VI: LXXVII).
—-
*) Pengelana asal Lamongan, Jawa Timur.