Memagut aku memagut
Racutan gelanggang mengurai pulut
Mematut aku mematut
Bunga pengimbang lamun bertaut.
Ikhwan yang setiawan.
Banyak bayang-bayang yang sepanjang badan; tapi lebih banyak lagi bayang-bayang yang tak lagi mengindahkan badannya, malahan bersebadan dengan rayuan yang jauh di atas ukuran wujudiah. Cara bagaimana pun untuk mengekalkan carapandang seseorang di tengah dunianya, niscaya akan membikin kecut orang lain, jika kekerasan diucapkan sebagai bahasa inti. Namun demikian, tiada seorang pun ragu akan kekuatan pribadinya, jikalau dia memang punya kekuatan untuk terbang. Siapa dapat menghadang?
Nah, pada hari menjelang Malam Ramadlan itu, telah pula aku usahakan untuk bertemu dengan Engku Syarifuddin, yang biasanya memberikan pelajaran khusus untuk anak-anakku. Sebetulnya aku teramat gembira, karena setiap dia datang, selalu juga anakku satu-satunya itu menyiapkan segelas air jeruk kegemarannya, dengan juadah seperlunya. Kemudian si Tulip itu akan memanggil dua kemenakanku yang tinggal agak jauh di belakang rumah, untuk ikut menyemarakkan pelajaran yang bersifat kekeluargaan tadi. Alangkah akrabnya, alangkah manisnya menyaksikan kanak-kanak berumur antara 8-10 tahun itu belajar membaca, berhitung dan bahasa melayu dari seorang kerabat seperti Engku Syarifuddin itu, yang sepenuh kerelaan mengajari para bocah yang haus ilmu pengetahuan. Maklum, tempatku jauh di pedalaman dan sebagai seorang perintis pengeboran minyak di kawasan hutan rindang Malawak, agaknya wajar kalau aku datangkan guru semacam itu, untuk menjaga agar anakku tak ketinggalan dalam ‘adab-budaya’ dibandingkan kanak-kanak sebaya (yang tentunya pada jam-jam sekolah mereka giat belajar) – dan tiada pilihan lain selain kebijaksanaan demikian.
“Anak-anak yang cerdas,” gumamnya suatu pagi, ketika menyeruput minumannya. Di depannya, ketiga bocah lanang cilik itu telah siap menerima pelajarannya hingga tengah hari, setelah disela istirahat sejenak (di mana mereka main karambol atau halma) dan shalat lohor. Aku terharu menyaksikan keluargaku begitu akrab dengan guru yang berasal dari kampung halamanku sendiri, di Sungai Batang-Maninjau. Di rantau orang, di pedalaman Brunei yang tua ini, aku merasa menemukan seorang sanak-saudara. Ia tergolong masih muda, penyantun, dan telah lima tahun lebih beberapa bulan meninggalkan negerinya, untuk memupu nafkah di bandar-raya itu.
“Pukul berapa Engku mengajar di Sekolah Sore Sribunga?” tanyaku agak menyelidik. Karena, alangkah lelahnya dia. Paling tidak, setelah keluar dari pelataran rumahku, dia harus menuju ke Batang Pinang, sungai yang panjang-luas, tempat perahu-perahu tambang menawarkan jasanya. Pelayaran di sungai memakan waktu kurang lebih satu jam. Maka, paling tidak baru pukul 16.00 petang dia tiba di rumahnya, ujung dusun injuk. “Ya, tuan, saya selalu menyempatkan diri untuk beristirahat barang seperempat jam, begitulah. Biasanya jam 17.00 lebih sedikit, saya harus siap mengajar di Sekolah Raja di Jalan Bendahara, hingga pukul 19.00. Itulah yang saya lakukan selalu.”
“Dan apakah Engku mendapat jemputan mobil tiap hari?”
“Tidak juga, tuan. Dari Injuk, biasanya saya numpang ojek sepedamotor yang dijajakan di mulut gang. Memang hanya itu yang mungkin saya tempuh. Soalnya Sekolah Sore tak mau tahu dengan kesulitan perjalanan guru…”
Saya menelan ludah. Aneh, pikirku. Bukankah dia masih tergolong lajang, dan di negeri kayaraya ini kehidupan ditata secara cermat?
Begitu mengherankan, sekaligus memilukan. Jika demikian, maka Engku Syarifuddin menyandang beban rangkap. Beban pertama sebagai seorang perantau muda, dia merasa kurang memiliki hari depan yang baik. Ia seperti tengah digaduh oleh kecemasan berlarut-larut, sehingga hidupnya sendiri harus ditata dari rinci-rinci terkecil. “Ah, adakah Engku sudah teringat untuk berumahtangga?” Tanya istriku pada suatu ketika. “Adikku lelaki tampaknya sebaya dengan Engku sudah beranak dua orang…” Dia tak meneruskan, sedangkan wajah Engku Syarifuddin kemerahan. Dalam memberikan pelajaran, dia tak pernah terkungkung oleh persyaratan keilmuan tertentu. Ia lebih bersifat terbuka, seperti kakak mengajari adik-adiknya; dan justru cara itu lebih memadai untuk anakku yang agak manja. Istriku sebetulnya menuntut agar pelajaran Bahasa Inggris juga diberikan. Tapi untuk sementara hal itu kutangguhkan mengingat umur para pelajar-rumah (sebutlah: sekolah kebun) di kawasan hutan ini hanya menepati peribahasa yang berbunyi: ‘tiada rotan, akarpun jadi’. Lagipula, anak-anak lekat sekali dengan guru muda yang periang-lincah.
Ikhwan yang lembut.
Minggu sore, aku sudah mengatakan kepada Engku Syarifuddin, agar hari Seninnya (yang kebetulan libur, karena bersamaan dengan perayaan Idul Adha), ia datang seperti biasa. Kami sekeluarga bermaksud mengunjungi Situ Kuala, untuk mandi-mandi dan menikmati udara gunung. Perjalanan ke sana dilakukan dengan menyewa kuda tunggang terlebih dahulu. Sungguh menggembirakan, bahwa Engku tak berkeberatan. Si Tulip, anakku dan dua keponakan, Lolong dan Dodi juga menyertai perjalanan yang penuh santai ini. Nah, jadilah empat ekor kuda, dua besar berbulu dawuk, dinaiki aku bersama istri dan Engku seorang; sedangkan dua yang agak kecil, berbulu putih, dinaiki anak dan dua keponakan. Jalan setapak di perkebunan kopi, dengan bau tanah tersiram gerimis lembut, sungguh sedap. Apalagi serujuk dengan uap hangat harum dari buah-buah kopi yang siap-petik. Suasana pagi memberikan sinar sumringah!
Tatkala mandi-mandi, di situlah terjadi pembicaraan yang berlangsung dari hati ke hati, antara kami. Usai mandi ala kadarnya, sambil mengawasi si buyung sayang berkecimpung di airjernih, sayapun bertanya kepada Engku, mengapa mengajar di Sekolah Sore yang dibangun oleh kesultanan itu, dia kurang memperoleh pelayanan memuaskan. “Bukankah sekolah itu dibiayai berjuta ringgit dari modal orang-orang Inggris?” Tanya istriku dengan mata iba. Kulihat baju dan celana Engku penuh tisikan, yang tentunya dilakukan olehnya sendiri lantaran tak begitu halus jarumannya. Dengan suara agak parau, dia menjawab: “Dugaan Uni memang tepat. Artinya bahwa seyogyanya sekolah itu memberikan segalanya yang baik. Karena saya mengajar anak orang besar-besar dan di antaranya juga sinyo-sinyo yang kepingin menuntut pelajaran di sekolah kerajaan.” Ia menghela nafas, kemudian menghembuskannya kembali. Suaranya lebih kental, begini: “Kalau saja saya mau. Tetapi rupanya hal itu memang harus lepas dari keduabelah tangan. Paling tidak untuk saat sekarang.”
“Lho, bukankah dalam usia kini, biaya hidup lebih Engku butuhkan? Tanyaku agak tak sabar. “Dan Engku bisa mengajukan usulan itu…”
“Tidak. Tidak. Karena… Zubaidah jadi kendalanya, tuan…”
“Zubaidah? Siapa gerangan yang Engku sebut ini?”
“Gadis remaja ini adalah putri Datuk Landuga, direktur Sekolah Sore Sribunga, tuan. Saya menolaknya. Itu lebih baik katimbang saya menggadaikan diri kepada keluarga bangsawan yang selalu haus kekuasaan itu.”
“Sayang,” kata istriku memotong. “Engku punya pandangan tertentu. Umpamanya memilih hidup secara zuhud, menjauhi gebyar keduniawian…” Giliran Engku tertawa agak keras. “Jangan salah kira, Uni. Dalam hal ini, saya lumrah-lumrah saja. Naluri kelelakian juga bicara. Cuma belum waktunya. Betul.”
Belum waktunya. Belum waktunya. Belum waktunya. Sungguh, belum pernah saya mendengar ihwal sepelik dan seaneh ini. Engku dari kampung, yang bersahaja dan senang mendidik-mengajar para bocah di kampung seputar hutan, toh punya sikap hidup yang pantas disimak. “Apa gunanya saya tenggelam di tengah gelora zaman yang menyilaukan, tuan – lebih-lebih jika saya menyadari, bahwa diriku teramat hina. Asal dari sesuatu yang rontang-ranting, terserpih-serpih. Aku berasal dari sebuah Panti Asuhan untuk para yatim-piatu. Siapa ayahku, siapa nama ibuku, telah samar sekali. Orang tua-tua juga bungkam setiap aku berusaha untuk menanyakan hal itu. Akhirnya aku simpulkan, Tuhan punya kehendak, agar diriku tetap berada di jalur jelata. Jalur rakyat miskin. Bersatu dengan mereka. Bergaul dan membina panggulawenthanya. Karena pada jalur seperti ini, hidupku akan senantiasa terpelihara dari kesombongan, kedustaan, jubriya, lupa pada Tuhan, mempertaruhkan hawa nafsu, mendewakan pribadi!”
Sepintas, ada yang tak kusetujui dari pilihan-batin begini. Tapi setelah kurenungkan lebih lanjut, memang tak jauhlah dari sesuatu yang telah disengaja jadi carapilih yang dalam. Kala itu, air kuala berwarna biru tua, sewaktu sinar surya dengan girang-gumirang melintaskan sorotnya, seraya melihat beberapa rumpun caldena yang berwarna ungu bercuplik-cuplik, yang menghias karang berpesanggrahan, sebagai Si Cantik di Kerajaan Timur – alur dan alir sungai ini pelan merayap ke sanubari. Aku pernah, dalam awal tugas-dinasku di kerajaan Brunei Darussalam itu menyaksikan Keraton Sultan Hasanal Bolkiah yang diliputi emas permata yang bagaikan memberikan cahaya berlapis mutiara, serta kereta kencana yang menyiratkan bayang seribusatu malam. Mungkinkah dari seorang Engku Syarifuddin dari maninjau yang hanya menganggap dirinya lara-papa dan tanpa nilai kebangsawanan, kecemerlangan yang dipamerkan oleh pusat Sri Diraja itu sungguh-sungguh merawankan…?
Ikhwan yang setiawan.
Aku mengeluh beberapa kali. Aku sering pedih, mengurut dada, meneteskan airmata bila tinggal di kawasan yang tak menjanjikan apa-apa selain bau kembang hutan dan kumbang madu yang bernafaskan arkadis. Kalau sesekali sempat bertamasya di daerah lain yang agak indah dan seronok, hati jadi terhibur. Sebenarnya, aku masih mendambakan kemuliaan hidup, yang bukan hanya di tengah pengabdian kepada tugas dan kesetiaan kepada Tajuk Mahkota Diraja, melainkan diliputi pula dengan segala yang bernama prasana dan sarana kehidupan modern yang pantas (untuk orang-orang seusia ini, dengan jenjang pendidikan tinggi dan halus kemapanan orang lain sebagai kompas) – tapi, ah, ah, ah. Istriku lebih-lebih lagi, kurang memahami arti kesyukuran dan mensyukuri nikmat. Tatkala mendengar secelah ungkapan yang digoreskan Engku Syarifuddin kepada kalbu kami berdua, kurasakan, betapa aku tiba-tiba merasa pongah, sombong dan meninggalkan Al-Khalik. Aku lupa, ada oranglain yang kurang beruntung tapi yang jauh di dasar hatinya terpeta jelas jalan munajat ke hadirat Rabbani.
Ikhwan, sahabat setia.
Kami anak-beranak dan Engku berenang sepuas-hati di Kuala itu. Airnya segar-sejuk memberikan kecambah keharuan ke lurung sukmaku. Esok, atau hari-hari kemudian, ingin aku lebih berguru kepada guru anakku yang masih muda itu. “Saya menolak Zubaidah. Sebagai balasannya, Datu memperlakukan diriku semacam ini. Dibiarkannya diriku menanggung beban sengsara. Melata dan merayap menuju sekolah, tempatku mengajar. Upah atau gajiku dibuatnya paling kecil, yang membuat diriku lebih-lebih lagi tertindas. Saya maafkan segala perlakuan itu. Bila Tuhan melimpahkan karunia, fajar pasti menyingsing nanti!”
Aku tercenung, seraya membuka bekal makanan dan minuman dari rumah. Sebentar kemudian, kami serombongan melahap hidangan sambil istirah.
—
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa