Letupan Hati Seorang Feminis

Hudan Hidayat

Cerpen “tradisional” bertaruh dengan plot yang mengusung watak dan konflik, suasana dan pastilah bahasa juga. Tapi cerpen “modern” apalagi “postmodern”, tidaklah terantai dengan semua unsur-unsur fiksi itu. Karena fiksi itu, seperti kerja lamunanmu itu sendiri: bisa mengimajinasikan sebuah bintang, yang kamu harapkan jatuh di depan kakimu.

Semangat yang berkobar ke dalam pilihan diksi dalam bahasa prosamu yang mengusung rakya jelata dengan konteks sebuah daerah (Kupang) yang kau kenal dan karena itu familiar, adalah kekuatan dari cerpen monologmu ini.

Sahkah?
Mengapa tidak?
Justru kekuatan cerpen seperti itu, adalah bagaimana dan bisakah dia menarik pembaca ke dalam renungannya – menariknya dari awal sampai akhir.

Saya tidak melihat kelelahan kamu bercerita di sana. Justru saya melihat banyak ruang kosong yang kamu masih bisa ekspose ke dalam keliaran imajinasi yang nampaknya akan menjadi kekuatanmu dalam menulis prosa.

Misalnya saat cerpen memasuki renungan:
“Seberapa jauhkah perjalanan sebelum menabrak atmosfir bolong bumi kami ini? Apakah memang ada kehidupan lainnya? Apakah nafas kehidupan di ‘ruang semesta’ sana persis beroksigen seperti kami, atau seperti apa?”

Alangkah asyiknya kalau kau bernakal-nakal di sini – memberikan sentuhan humor. Sehingga pembaca dibawa berayun, dari tegangnya nasib orang miskin ke sisi-sisi lucu dari manusia pada umumnya.

Ayunan seperti itu tentu membuat cerpenmu seolah kehilangan unsur “dramatik sprint” yang terbaca oleh saya.

Memang benar. Tetapi dengan begitu ia pastilah akan menjadi lebih kaya. Dan terutama: dengan mengangkatnya pada variasai alam, manusia, alam, maka akan nampaklah bahwa manusia dan alam itu adalah sebuah noktah kecil di tengah keluasan semesta.

Sehingga saya sebagai pembaca seolah berada di tengah rayuan daun-daun padi yang tertiup angin, merasakan ruap tanah dan matahari di Kupang karena ilustrasi yang kamu tuliskan. Atau saya bisa menyimak betapa bintang itu benar-benar jatuh dan kau menceritakan proses kejatuhannya dengan lucu dan dramatis.

Dengan kontras seperti itu, cerpenmu menjadi menerobos gejala (orang miskin) dan (bintang jatuh – alam). Sehingga cerpen mengalami metamorfosa. Sehingga kita bisa mengelus dada tentang nasib manusia tanpa rasa dendam (yang kau sebut kekecualian itu). Sehingga nampak makin besarlah status manusia itu sebagai mahluk berperadaban di bumi.

Tapi jangan salah mengerti: cerpenmu berhasil sekali menggelorakan pembacanya untuk bersimpati, untuk marah.

Tapi kan setelah simpati dan marah, lalu apa yang tersisa?
Pastilah kita harus memeluk sebuah nilai yang menjadi keyakinan untuk kita melanjutkan hidup.

Nah, nilai semacam itu akan datang dari sebuah cerita yang “diangkat”, ditransendir ke arah, tak perlu ketuhanan, tapi mungkin misteri alam atau misteri kehidupan itu sendiri.
Saya selaku pembaca menginginkan pernik-pernik cerita lucu tentang anakmu. Sebelas bulan pastilah sedang lucu-lucunya. Dengan sebuah cerita tentang gerak bibir atau matanya, atau kulitnya yang kemerahan, saya bisa membayangkan sebuah bayi montok.

Akan lebih sedap lagi kalau tokoh ‘aku” dalam cerita itu membiarkan anaknya menyusu pada ibunya. Pastilah akan menambah hempasan kesan betapa kekuasaan yang jalang mesti terjerembab di hadapan kefitrian kisah ibu dan anak semacam itu.

Begitu pula dengan lelaki yang kau sebutkan dengan “kekasihmu” itu, terbuka untuk diceritakan.

Tetapi dengan demikian cerpen menjadi, atau menempuh, arah lain yang panjang sekali.
Tak mengapa. Justru di situlah keindahan sebuah prosa: adalah saat kau memberi bentuk ke dalam cerita (bisa memakai plot bisa pula hanya renungan seperti ceritamu ini) pikiran dan perasaanmu sebagai mahluk yang terlempar ke bumi.

Seandainya bintang itu “benar-benar jatuh” di dalam ceritamu, wah, itulah saatnya kita mengalami dongeng modern yang dikisahkan oleh seorang feminis.

Satu hal yang akan selalu terekam setiap aku membaca ceritamu kelak: empatimu pada manusia dan kecepatanmu bercerita yang seolah senjata otomatis yang pelurunya menghujam tak henti-henti, ke ulu hatiku.

Sebuah cerita adalah saat “tokoh” hidup di hadapan kita. Tokoh ceritamu hidup di dalam “narator”, “Aku”, dan kamu mempunyai peluang menghidupkan tokoh itu sendiri. Membiarkan sang “Soe” itu, misalnya, menceritakan sendiri akan kepedihan hidupnya.

Bahwa dirinya sudah mirip budak dari keluarganya yang datang dari struktur partiarkal yang memang timpang. Tentu tidak ada salahnya cerita yang hidup dalam diri sang narator semata. Tapi tidak ada salahnya pula kalau sang pengarang membagi ceritanya kepada sang Aku – Soe, dalam ceritamu yang amat memikat ini.

Sehingga ia menjadi mirip alam yang berlapis-lapis ini. Menyuarakan banyak suara seperti soal-soal dalam hidup kita.
Aha aha.

HH, Jakarta, 27 April 2008

Leave a Reply

Bahasa »