MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV

Musik-Tarian Keabadian
(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Musik-Tarian Keabadian” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper

Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=225

Bisikan hujan malam mengajakmu menari-nari membasahi seluruh tubuh,
mengguyur jiwamu bersayap beku, lantas nyalakan tungku dalam kalbu (V: I).

Bayu meniup api melambai, bara bergolak ke uluh hati, dan prasangka
tumpah merajah prahara, menelusup ke dada, meruh ke dalam sukma (V: II).

Sekian kali, awan berkendara bayu, berbondong ke pusaran langitan,
menumbuhkan cahaya kilat berkelebat beserta bayangan kematian (V: III).

Di atas ketinggian dahan, ruh para malaikat penunggu bukit datang berseru,
bergelombang siur bayu berkilau, membusa liar di pantai, pada kulit luka menerawan,
ia menghisap arus keringat perjuangan, haus akan madu kapujanggaan (V: IV).

Berdegupan tetembangan memusari ombak empedu dan pahit di lidah
serasa madu kala bercinta, jika berkisah terhenti oleh hukum waktu keluh (V: V).

Kebekuan kembali mengalir sedari palung semedi,
hadirlah selagi usia memberi, menjangkau hari-harimu,
memudahkan sederet kengerian di akhir perjamuan (V: VI).

Ia bawakan anggur saat kau menulis suluk perayaan mendatang
selaksa matahari melampiaskan dendam menyepyurkan serbuk kaca,
mengekalkan nafas-nafas para pencari jalan kesejatian (V: VII).

Endapan di angkasa biru melayang-layang mencipta corak gerimis,
sebening ingatan suci melihat awan jelalatan mengamati penentu (V: VIII).

Sesobek-sobek kenangan ganjil dalam puisi,
kau pegang bagi teori atas hukum-hukummu (V: IX).

Itukah patung di ubun-ubun kota memahami kaki langit memudar,
seawan senja berserak di wajah-wajah pejalan kaki dalam kesuraman (V: X).

Bara revolusi berasal rindu tekumpul gagasan sebelum bertemu,
dan akhirnya, bentuklah yang menciptakan melodi ruangan takdirmu (V: XI).

Anak-anak menarik tali pedati seberat beban hidupnya,
ia terlunta mengamati beling-hening-cermin berserak duka (V: XII).

Sederas hujan menembangkan ricuh-balau-kacau akan berakhir,
ia memuntahkan rasa kesal paling muak lantas bergolak
dalam dadanya bergelembung udara hampir pecah (V: XIII).

Lelangkah mengeringkan leluka beserta rontok daun-daun,
namun pada goyangan dedahan masih ada hutang bertanya (V: XIV).

Sejengkal maksud menebah ladang-pesawahan retak kemarau,
hawamu gerah mengucurkan butiran garam keringat tubuh (V: XV).

Jangan terpenjara tanpa hasrat ke sana, cinta mengembalikan
tumbuh berkeindahan, telaga samudra kalbu, langit danaunya rindu (V: XVI).

Debaran jantung bersimpan degup seluruh maksud, ia mengisi sedenyut
aliran darah di bekas luka, berkaca duka bila tak menuju ke sendang jiwa (V: XVII).

Bersulang cara perpisahan, atau membunuh membuka kubur ajal (V: XVIII).

Jasad siapa pun ditundukkan kesemestaan, ia kumpulkan lelah berlebih
dari dendam pemuda yang terpendam, atas abad-abad purbasangka (V: XIX).

Kenapa memohon balasan secepatnya, berkejarlah ke puncak gunung,
seiring lambaian dahan kering mengeras patah, atau nalar tidak sampai (V: XX).

Kembalilah angin waktu dalam gerimis cahaya bulan,
doa di belantara padang gurun duka nenek moyang (V: XXI).

Lengkingan langit menggugurkan bintang-gemintang,
debu berhamburan ke sorot mata berkedip duka (V: XXII)

; seberkas sobekan perjuangan, selarik sajak di hadapan nalar impian,
seakan menghirupi jantung penyair berkali-kali dalam air rawa-rawa (V: XXIII).

Berlarilah dalam hujan bila tak ingin kaku terpenjara atau kunyah kebiasaan,
merangkai harum bunga, kekupu mengepak berserah di kuncup perindu (V: XXIV).

Halus sayap-sayapmu tak sepadan tarianmu
yang blingsatan sebab cemburu (V: XXV).

Jangan was-was di sepanjang jalan,
temukanlah kunci rumah kekasih dalam kubangan tersayang (V: XXVI).

Ia mengintai geraian rambutmu diguyur mataair jelajah (V: XXVII).

Bibirmu rekahan senja berfatwa kembang kemboja, batu-batu nisan,
lelampu remang dihinggapi kabut wangi menyentuh kening hati (V: XXVIII).

Menimbang tidak lebih berat,
bayangkan ia awan, kau pelajar di matanya (V: XXIX).

Sesingkat apa pun cahaya meresapi, bekasnya terasa,
sudah tentu tetangkai bunga mawar berduri-duri? (V: XXX).

Jangan menunggu selain pada tetangkai bebunga, sebab suatu hari nanti
akan menghibur pandanganmu, sejumlah kelopak-kelopak mengada (V: XXXI).

Setiap meludahi unggun, kobarannya menjilat jenggot sampai kepalamu,
ialah api keabadian, di atas ketinggian gunung merapi kayu meranti (V: XXXII).

Kesalahanmu karena pengamatan, terimalah renungan tempaan pelaku,
ia aktor awal kehendak, dan kau mendaki yang pernah ditempuh (V: XXXIII).

Kenapa melupakan pegunungan paling ranum, terlalu rawan di hati?
Panjat dan dakilah, kau akan bertemu eidelwis sesungguhnya (V: XXXIV).

Sekawanan bangau menggedor gerbang barat mewujudkan badai,
bergulung memusar-pukul merontokkan keyakinan demi kebaharuan (V: XXXV).

Siapa kira jalannya laba-laba menciptakan laluan setatap hening,
berulasan lebih tampak, ia menunjuk di balik dadamu (V: XXXVI).

Sukma berbisik dalam diam, dengarkan degupan mendesah
merajai angin legenda, mengunjungi debaran sejarah (V: XXXVII).

Suwong tatapan matamu mengawasi duri-duri tengah jalan
seperti baling hening menyiratkan darah, nikmatilah kegamangan,
untuk mereka mau mencium amis luka perjuangan (V: XXXVIII).

Menggedor kaca cermin pecahnya serpihan akan berakhir,
tajamnya menusuk-nusuk keberadaan manunggaling (V: XXXIX).

Marilah baca kesengajaan demi menitih buih berkah di setiap masa,
dawai gerimis membasuh kaki teka-teki kembara, memandikan dahaga sukma
atas hujan derasnya kata-kata, yang ditumpahkan ruh kenangan rahasia (V: XL).

Gemuruh ombak membawa ikan-ikan menepi mengikuti nurani
melenggang tiada was-was seluput debaran menanti ayunan tangan pejala
menghentakkan dataran air telaga jiwa (V: XLI).

Hilang kepemudaan atas kehendak berkepompong, benang-benang
sutramu balutan penari ulat, akan menjelma kekupu di panggung bayangan,
nantinya bakal berkabarkan cahaya kepenuhan (V: XLII).

Ia gelisahi kelembutan pada lengkungan sebrang,
menyelesaikan senjakala di akhir tak terkira menemui kisah (V: XLIII).

Awal tiada mudah merahasiakan pertimbangan, tentramkan kalbumu,
sedurung mencintai altar pengaduan (V: XLIV)

; kematangan ditempa himpitan keadaan, menjemput niatan kembara,
inilah pergulatan kabut punggung bukit, kepada awan bergulung (V: XLV).

Gerakkan takdir burung Srigunting menguraikan sayap-sayapnya
di saat gerimis bersalaman, kepada jiwamu yang manunggal (V: XLVI).

Alam kesetiaan terkumpul berirama memberi jalan benderang,
sedang tusukan ke sukma, terasa lelah merayumu berserah (V: XLVII).

Ada saatnya wewarna bentuk membentur sapa mengajak akrab,
lewat bertarung terlebih dulu dengan prasangka (V: XLVIII).

Tidakkah potongan rambut dan kuku memaknai usia,
bernafas dalam buku-buku sejarah, batu-batu waktu (V: XLIX).

Sesingkat apapun persekutuan, kesuntukanmu menggelinjak
bertumpuk di kebiruan pundak nafsu, mabuk badan tersungkur (V: L).

Adakah kehausan ringan pandangan di sana? Datanglah kemari,
ia hadiahkan sekuntum dendam manis, minuman anggur menebalkan lidah
kepada bibir pecah merekah (V: LI).

Sesekali tersenyum, melihat keningnya bertanda pemberontak,
apakah ikhwal kesucian lembut, dengan berpasrah satu-satunya (V: LII).

Setelah baca kelopaknya, kaki-kaki meninggalkan taman bunga,
sejauh sejarah menandaskan wewarna dihafalkan keharumannya (V: LIII).

Usah menyebut di masa kapan ialah sudut menjangkau kepenuhan,
mengkristal embun daun jati di hutan pelajaran, ambil perekat mahabbah itu
demi untaian rambutmu menghitam panjang sepenantian ganjil abadi (V: LIV).

Ibarat gelegak tuak ke puncak urat syaraf kekacauan, bertumpangan waktu
menderaikan ruh kedalaman kata, tubuh sendiri memasuki rongga terpencil (V: LV).

Di dasar kesunyian, temukan tangisan tinta hitam di waktu lambat membisu,
berharum kembang khusyuk sesalan kalbu (V: LVI)

Apa pun yang ia bisikkan menjelma seribu kecupan kupu-kupu,
di setiap kelopakan kembang, kau mendapati perumpamaan (V: LVII)

; laksana fajar senja selalu diulang, terus berlabu siang-malam,
menyelimutimu pada selubung lindap tiada penghabisan (V: LVIII).

Masa gairah memberkati langkahmu bertambah, rawatlah nyala apimu,
ia tak kurang dari itu, tak lebih di saat pencarian keutamaan waktu (V: LIX).

Bertekad menghadapi tapakan keyakinan, ini bumi kelahirannya
ketika kesadaran menyapa ladang-ladang pesawahan lembah (LX).

Tangkaplah gejolak sebelum kesungguhan lepas kurungan,
sesak kepulan asap duka mimpi, memberi pemahaman baru (V: LXI).

Biarkanlah bersabung ayam ada cedera,
demi temukan makna gelanggang (V: LXII).

Kapan pun menggelinjak naik-turun menemui,
tidak sekadar di batas kalimah janji, kau masuki kesetiaan selendang hangat cahaya,
kesegaran karena menari-nari, dalam kesempatan panjang usia mencari (V: LXIII).

Tanpa bobot perawakan mengikuti siul-lambaian menuju akhir,
di mana letak bimbang terawat, tiada pantas dikisahkan kembali (V: LXIV).

Jangan persoalkan kantuk teramat berat saat melancong jauh (V: LXV).

Yang berharap waktu lapar dahaga, jangan ringankan sakitmu atas beban,
sebelum tembangkan hikayat perang gerilya menemukan kemenangan (V: LXVI).

Semenjak bersaudara, tempat memeras anggur,
bukankah salahmu rasa malu? Guci-guci kosong sedari dulu oleh takut sambillalu,
tidak pernah kau sangka, ternyata kehausan sanggup mencekik lehermu (V: LXVII).

Kau pena tergolek tidak menghiraukan lelembaran kertas,
membiarkan diri terlelap, sampai hilang rasa berkata (V: LXVIII).

Inikah anak-anak jaman terpenjara?
Berkicau di sangkar mewah, berkisah bentuk-warna lain di dekatnya,
malang nian nasibnya, segaris bulu hitam di jenjang lehernya (V: LXIX).

Kau direstui meminjam ucapan yang terpendam,
dalam jeruji menulis di tembok lembab, udara bebas penantianmu (V: LXX).

Ada memperhatikan seumpama masuk hutan kuburan keluar lelah,
setegas keris pengertian berhenti, kepada pusaran bayu petilasan (V: LXXI)

; khusyuk mengejawantah diwarnai aneka cahaya rasa mengagumkan,
sekali hilang tersadarkan nanti, panutannya tidaklah membahaya (V: LXXII).

Jangan sekali-kali mengulangi kepayahan menyepakati mimpi-mimpi,
angan-angan bentukan nafasmu, dalam hembusan besar alam (V: LXXIII).

Terkuaklah kerahasiaan sedari menampar kekangan,
rindu lebur lenyap sudah, kematian membangkitkan rasa
dan perasaan menjelma pengetahuan pertama (V: LXXIV).

_____________
*) Pengelana asal Lamongan, Jawa Timur.

Leave a Reply

Bahasa ยป