PIKIRAN DI ATAS TAKARAN

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Jacinta yang baik.
Memang sudah selayaknya apabila dalam suasana perayaan Natal yang sepi seperti ini, kau lebih menjemput diri sendiri atau lebih akrab dengan sesuatu yang bernama kejujuran. Apabila saya mengatakan hal semacam ini, tiada lain karena didorong rasa tulus dalam pergaulan yang cukup lama, dan karena itulah wajar, jika saya berterus-terang. Sedangkan jika saya banyak menyembunyikan sesuatu, maka kurang baik bagi kita semua. Seraya melonggarkan segenap kesumukan dan kegetiran yang menyesakkan, kukira lebih baiklah apabila kita sanggupkan diri untuk mengonceki buntalan-buntalan dalam jiwa. Kuharap kau menjadi lebih dewasa sedikit. Melalui penjabaran pada setiap sudut-sudut pencerah batin.

Jacinta yang budiman.
Manakala kita bicarakan tentang pendaki pongah di persimpangan, tiada lain kinilah saatnya untuk mengungkapkan hal itu. Jangan cemas, bahwa ada yang terhindarkan dari rasa nan berkecamuk ini. Jangan cemas, bahwa dirimu akan menjadi seorang lain di tengah persoalan gemuruh yang meributi dunia selingkungan. Jangan cemas, bahwa ada yang ditempiaskan dari rengkuhan yang manis – jauh sebelum orang sampai kepada kebulatan pikiran. Karena kitapun yakin, segala kumandang tiada jauh meninggalkan pokok suara. Dan jika saya mengajak dirimu bangkit, itu adalah syah adanya. Tuntutan-tuntutan itu harus dirumuskan secara langsung.

Jacinta yang setiawan.
Kulihat sekuntum mawar nan diberkaskan kemarin oleh pemilik sanggar yang terkenal itu kepada seorang pengagum karya lukisnya? Aku sengaja memperhatikannya. Ikatan yang nampaknya bersahaja, dan hanya dihias dengan lipatan-lipatan perca kain merahjambu, membuhulkan karangan itu lebih kokoh dan padu. Aku lihat bahwa sang pengagum menikmati lukisan seraya bibirnya mengulumkan senyum pengakuan, atas kehadiran mahakarya itu. Bukan pujian muluk, bukan sanjungan yang menjamah langit nilakandi. Pada rasa tertarik, pada rasa berperhatian, dan pada rasa gemati yang benar-benar mengelopak dalam jiwa. Pada rengkuhan demikian semuanya terucapkan.

Elok pula kita ungkapkan bahwa yang selama ini disebut kesetiaan bertumpu pada tiga masalah saling berkait. Yang pertama, terhubungnya silaturahmi yang tiada kentara, antara si empunya karya dengan pihak pemerhati, dalam suasana saling terpengaruh. Yang kedua, terhubungnya buah pikiran yang maju, lebih maju katimbang manusia sekeliling, lebih mendahului zamannya, dengan ruanglingkup yang masih mempertanyakan ragam hias tertentu, atau kecenderungan aliran seni. Ketiga, lantaran terdapat beberapa kelompok yang kepingin memiliki martabat budaya yang kokoh dan benar, karena itu maka berusaha untuk menciptakan ‘selera pasar’ yang barangkali bisa langsung menyusun percik Pidato Pengukuhan lagu musim, dan meraihnya lebih dekat. Makin merumuskan waktu dan tempat.

Jacinta yang baik.
Agaknya lebih menonjol juga kebahagiaan kita, jikalau bagian dari kepepalan hidup ini ikut menjadi selubung bumi ini. Dengan kata lain, ada niatan dari diri sendiri agar hidup makin bernas, makin rampak semakin semarak. Karena tanpa menginginkan suatu rangkuman yang lengkap, maka orang masih juga terombang-ambing, bertanya-tanya dalam liputan yang ragam-bagai. Akan tetapi, jika diupayakan menjadi pemilik dari satu bahan kesenian, atau menjadi pilar ketegarannya, mungkin tiada nan senyap.

Bagaimana menggembalakan pikiran, sehingga ia menjadi perkakas kejuangan yang lestari? Bagaimana menjuruskan gagasan (yang semula berupa lintasan-lintasan lepas) hingga menjadi bunderan yang mewadahi ragam-ragam lainnya? Kadangkala diperlukan keceriwisan berlebihan, jika masyarakat ingin benar-benar menggapai berkas-berkas sinar matahari. Karena kalau tanpa melihat kemungkinan untuk menaklukkan hati orang, sedangkan pada kurun ini kita sudah melihat banyaknya jelaga yang mencorengi tembok kota ini – ah, ah, niscaya bakal lahir juga seorang pecinta kemurnian. Demikianlah bergema nyanyian Kesiapan yang digarap.

Jacinta nan setiawan.
Baiklah, kita patoki kehidupan sebagaimana lazimnya kita gunakan untuk menggarisi untai-peristiwa yang memikat. Dengan segala daya, masyarakat bisa digandeng untuk ikut menyemarakkannya. Sementara itu, dikau dapat pula meletakkan diri sebagai orang yang mengakui dayapikatnya sendiri, serta mampu mengembangkan hakcipta menjadi ukuran wigati. Apalagi kalau hal ini dimaksudkan agar dunia mencatat sebuah gerak paling berarti. Apalagi, kalau tak jauh dari kemauan untuk ‘membuka selubung hati’. Maka di balik keyakinan untuk menang, kita sanggup mengabsyahkan cinta ini.

Jacinta nan baik.
Sebuah pelabuhan adalah rentang-jala yang melambangkan batin majemuk. Ia mengkait-langsung pola-pikir yang bertolak dari ruang dan waktu, karena itu secara tulus pula memberangkatkan kemungkinan awal dari sebuah Nasib. “Ah, komentarmu waktu itu.” Kita justru sekarang bukan membicarakan pelabuhan dari nasib-nasib umat manusia. Kita malahan amat banyak berkata tentang titik tolak kebendaan yang meronta-ronta di langit hampa sebelum pada akhirnya terbanting di bumi nyata.

Keberangkatan paling pagi berlangsung sedari dimulainya keculasan pertama, sedangkan yang terakhir di kala kulit-kulit iblis mengelupas tanpa kendali. “Ah, ah. Kuanggap pandanganmu kelewat picik. Atau kelewat terpancang pada ukuran agamawi tertentu, yang belum disentuh oleh rembangnya matahari petang. Akan tetapi, Jacinta, kalaulah kau pernah bilang seperti itu, aku segera percaya betapa aku yang dulu nyinyir itu tergolong orang yang menyepelekan jalan nasib sendiri.

Menganggap sepi pergulatan kemanusiaan yang ada dalam sumber kefitrianku sendiri. Lantas aku ngomong dan ngomong, sampai ujung bibir berbusa dan orang-orang mendengarkan dengan separuh hati”. “Bukan, bukan begitu, sayangku.” Sangkalmu, bukan? “Dikau belum faham akan kidung zaman, atau kurang maklum terhadap arus hidup yang bergemuruh sepanjang liku dan hilirnya. Kau hanya mendewakan katahati, yang seringkali lewat di sela-sela angkaramurka dan tak mampu meredakan olak-alik pergulatan pikir yang tumbuh suatu kurun waktu. Lemah dan nyaris renta.” Kala mengucapkan wawasan ini, pipimu memerah, mata bulatmu bersinar-sinar. Kukira dikau telah menyatakan sesuatu yang berasal dari dasar pribadi kuatmu…

Jacinta yang baik.
Sepanjang pewartaan ilmu pengetahuan (yang kita tangkap sesaat atau yang kita serbu secara menggebu) bisanya tidak pula menjadi satu kesunyataan dumadi. Sepanjang pewartaan cerah yang hadir di belantara masa, maka diperlukan kesaksian insani, sekelompok maupun sendiri. Bahkan, berpamrih atau hanya setangkup perhatian yang terperi. Dalam kesatuan nilai yang menggemulung hati gunung dan lembahnya, memperhatikan kajian demi kajian yang sempat dihayati, para pemikir berjuang keras. Antaranya, mengkristalkan apa yang bernama penemuan masasilam, setelah itu bisa menggolongkan cara-beda suatu persoalan keseharian. Kalau hal ini dapat berlangsung baik, kitapun sanggup menguak kerahasiaan dari pintu-pintu mulia (yang selama ini diyakini terletak di jantung kebudayaan) itu. Setrum hayati dari mata air tempat kecimpung.

Jacinta yang penyabar.
Masih ingatkah Adik pada telaga kecil yang terletak di desa Suryajati itu? Telaga itupun bernama Surya-Jati, alias kesejatian sinar yang menjiwai kehidupan. Ketika masa-masa indah sekolah dulu, kita seringkali mengayuh sepeda dari sekolah ke telaga kecil itu, bolak-balik lebih dari dua jam, karena pelajaran Ilmu Pasti dari guru yang kurang kita sukai hendak dihindari. Kalau sudah lewat satu pal dari pelataran sekolah, tiba di perempatan jalan, kita sampai pada sebuah pos alit, dengan bangunannya bergaya Jawa, sedangkan kotakpos di depannya bercat oranye, bagaikan tugu kukuh menjulang – kemudian kita berbelok ke kiri, sepanjang jalan ditumbuhi kenari.

Perjalanan jauh terus ke selatan kota. “Aku heran, Syam,” katamu waktu itu. “Apakah sebenarnya yang kita cari di telaga sana? Rasanya kita hanya duduk-duduk seraya membasuh airnya nan jernih.” Maka akupun segera memotong: “Bukan itu, kawan. Siapapun tentu kepingin mandi berkecimpung di telaga jernih, dan bukan yang lain.” Kemudian pelan-pelan mulut mungilmu mengoceh: “Siapa dan apa katanya. Di Surya Jati kita justru kepingin mandi cahaya suci!” Ah, ah, ah. Tak salah, ungkapmu berhasil menyadarkan bahwa hal itulah yang harus kita hayati di telaga yang punya nama ‘kesejatian sinar’ tadi.

Namun, tatkala pada hari-hari lanjut kita bersiram di mata air sejuk itu, kukira bukan lantaran menghindari pelajaran Ilmu Pasti nan menyebalkan, melainkan ada dorongan lain. Kini aku tahu, apa namanya. Percikan dan getaran air-gemair yang sampai ke badan kita, memberikan suasana baru. Paling tidak, rasa kangen yang tiap kali bangkit (antara kita, tentu!) dapat terobati. Telaga alit itu barangkali hanya ujud dari pendekatan ulang!

Jacinta yang baik.
Sesudah deretan angka melunturkan sejuta kesan, lalu pulalah perhitungan saat-saat yang berdekap, maka hidup menjadi gaya ulang sejati. Bukankah aku masih muda, teramat remaja masa itu? Sedangkan buah pikir yang berloncatan masih jauh dari sekrup pemanteknya. Dirimu pun masih lebih teragak-agak untuk mengenal tolok-ukur dari pemahaman ilmu. Karena apa yang tengah kita hadapi (dan sergap) senantiasa berlangsung antara reranting aking dan guguran daun berlumut. Kalau terjadi perenungan serta permenungan, maka yang lahir adalah golak-galik pandangan kanak-kanak, bukan yang lain. Hanya saja itu sudah cukup buat zamannya. Karena pada deretan kini, ada tantangan lain yang memaksa diri untuk mengamati ‘hilang’nya suatu pamrih (yang waktu itu tercuri oleh sifat naif), dan kalau akan benar-benar jujur, rasanya datang pamrih lanjut yang lebih mengental bukan? Caranya ialah dengan menggelimangi sejarah umat.

Jacinta tersayang.
Memberikan hari-hari cerah, kiranya lebih menggairahkan katimbang menyudutkan hari-hari yang tak pula ditafsirkan ke balik segala rengkuhan. Mengembalikan hari-hari yang ceria, niscaya lebih utama lagi. Tuhan melimpahkan anugerah Kasih di hati kaum muda, kaum remaja, karena Dia ingin agar serbuk-serbuk darah dalam jasad mereka hangat, bahkan panas. Secara kodrati semuanya dikembalikan kepada nilai paling luhur. Di balik pertemuan-pertemuan yang tanpa bayang-rancang masa depan, aku dan dirimu telah melaksanakan sabda Tuhan sebaik-baiknya. Mengunjungi dusun-dusun ranum seputar telaga di pedalaman, untuk menggali renungan maha dalam. Menggauli panorama terpencil, lantaran tekad dijelmakan suatu pandang dan tilik, kendati usia muda belum mengokohkannya. Kebersamaan yang tampil, mendaki tebing-tebing.

Jacinta, Jacinta.
Kutatap kembali aksara-aksara buku harianku semasa sekolah. Aku menghela nafas. Aku bahagia bersama sejarah nan memupus kudus.

*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Leave a Reply

Bahasa »