(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Di Atas Tandu Langitan” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper
Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=219
Ujung pena meluncur dari dasar keheningan, ketajaman kalimah
menghunus, menembusi diamnya waktu tersampaikan telempap (VIII: I).
Dia tidak mengikuti siapa-siapa, dirinya tegar lagi murni (VIII: II).
Kejumudan manunggal, datang menemui pribadinya berdaya kasih,
bertanda tangan ular naga, di padang rumput berterang purnama (VIII: III).
Bukankah kau mencari gagasan ranum, kepemudaan lebih bayangan laron
yang berputar mendekati lelampu, terpesona-terpedaya magnit sendiri (VIII: IV).
Cahaya matahari tidak seluruhnya menguasai serpihan granit,
maka biarkanlah waktu-waktumu membimbing kepadanya (VIII: V).
Bukalah jendala di pagi-pagi menuju kesegaran udara ke pori-pori,
melangkah ke kebun melati, di sana ada puisimu menunggu selesai (VIII: VI).
Harum bunga mewangi, bergantungan di alam lelangitan memutih,
semerbaknya lembut membumbung ke hidung kekhusyukan (VIII: VII).
Serindu-rindunya petani memetikmu melati adalah ibunda
penjual bunga pada pasar Menganti kembali (VIII: VIII).
Keringat di telapak tanganmu menjelma emas, lainnya berhasrat mengikuti,
diusung para perempuan ke tengah kota, ke kampung-kampung harapan (VIII: IX).
Jangan cepat larut dalam lagu, atau menghilang enggan meresapi (VIII: X).
Tepukan tangan panjang tawa renyah-ringan, masukilah lengking penyanyi
bersedih suka kejujuran, bercengkerama melepaskan selendang (VIII: XI).
Kerling hangat matamu berucap.
Tidakkah ingin menyimak, walau ia telah di sebrang? (VIII: XII).
Diammu banyak menyimpan percakapan dalam,
dengan lama tentu menemukan ujung jawaban (VIII: XIII).
Fahami kembali, selagi kabut pedut menutupi punggung bukit,
memeluk pohon sungai, yang mengalirkan mata air hayati (VIII: XIV)
; lewat nafasmu ke ujung laut berkabut, mengatur kelokan arus nasibmu,
telah lama bertahan menghisap puting kepenuhan, selaksa perbincangkan waktu,
arah melampaui abad sebelummu (VIII: XV).
Ia tak ingin kau kecewa atas mimpi-mimpimu,
terimalah ini reronceng mayang bagi kalung saat menari,
sebab belum berarti bangsa mengikuti pakem akan lestari (VIII: XVI).
Gemerincing binggel kaki penari, mengusir hantu-hantu hayalan,
membuyarkan hasrat kuat para pecundang (VIII: XVII).
Tidak disangka mawar setiap paginya disiram
menggores kulit daging sendiri, di balik kemolekan merekah
runcing pena terselinap di bebulu sayap mempesona (VIII: XVIII).
Ia sangat faham kata-kata terakhir,
membersihkan lumut di arus bebatu, oleh tak ingin ada tergelincir (VIII: XIX).
Setelah menggosok-gosok lumut, kaki-kaki menapaki pasti,
air deras mengalir dihujani daya tinggi penghayatan (VIII: XX).
Dia teguh tegar memegang tongkat kesetiaan
demi meniti jalan berkah dengan keseimbangan (VIII: XXI).
Air terjun bergolak menggaris peta, pemain-penonton memberi makna,
pengikutnya sederhana menjalani, menabur biji menanam benih (VIII: XXII).
Menunggu buah runduk seawan keemasan, cahaya senja membentang lebur
di sebilah keris baja hitam, atas purnanya tirakat dalam rahim malam (VIII: XXIII).
Tak sekadar bayang, bengi terfikir langkah menemukan bentuk tak terkira,
sepaduan ruh senyawa menuju batas tiada terhingga (VIII: XXIV).
Kadang mereka lupa marabahaya
ketika meneguk segelas anggur, tumpah sia-sia (VIII: XXV).
Siapa memetik kembang diwujudkan kekupu
yang ditiup angin jemari waktu menjelma untaian lagu (VIII: XXVI).
Selintingan tembakau merawat wengi berkuluman bibir puja,
asap mengepul bagai dupa merangsek langit memakluminya (VIII: XXVII).
Penjaga sadar mengikuti arus ketaksadaran menemukan jiwa-jiwa
di garis ketentuan, sebagian mencemooh, lainnya memahami (VIII: XXVIII).
Bintang yang jatuh diambil sang empu, dileburnya demam tak tertahan,
duka nestapa ketermangun sejarah rindu terawat kebekuan waktu (VIII: XXIX).
Siapa sanggup menghentikan degup jantung sumpah
atas kawah gunung berapi di dada pemuda? (VIII: XXX).
Lelehannya menelan lereng pedalaman, meleburkan pohon membatu,
gua-gua tertutupi cairan padat, awan menunda turunnya hujan (VIII: XXXI).
Kalau bersedih lagi bertengkar bertambah berat deritanya, maka marilah
berjabat tangan seerat nadi mengelus waktu menilik kebenaran sejati (VIII: XXXII).
Daya sesal berasal mana? Kesadaran batu segairah lahir bathin bertambah,
dirinya pilihan persidangan waktu, musti hilaf menyertainya (VIII: XXXIII).
Kau berlama di depan cermin serupa kertas enggan dibubuhi resep,
padahal lelembaran waktu ngilu tersembuhkan kesungguhan (VIII: XXXIV).
Jikalau dipetik bintang yang terang adalah wujud pertolongan,
sejauh mentari terlempar senja, pulas ditikam malam (VIII: XXXV).
Andai tiada kidungan, sulutan tetap dimulai, pegunungan es mengapung,
mencairnya menjelma kesadaran gelombang samudra pemikiran (VIII: XXXVI)
; di bawah lautan nalarmu melangut, remaslah batu salju berpanas api,
ialah dunia panggung menghendaki para insan pemberani (VIII: XXXVII).
Naik dan turun gunung mengambili, mengangkut kata-kata rahasia,
menghampiri bibir kekasih kala sukma lenyap di padang lara (VIII: XXXVIII).
Ruh hayat dibangkitkan kini bertempat, mengajarkan kelestarian di dalam
beranda purnama, semisal menjemput diri terpasung mahkota duri (VIII: XXXIX).
Kembang-kembang berguguran atas lemparan batu kala musim kesunyian,
sebelum nyawanya lepas, menyebut keindahan hingga mensum-sum (VIII: XL).
Pada ketinggian nafasmu, daya hayat berkobar selaksa nyala keabadian
menerangi telatah peribadatan, demi utuhnya ruh luhur para leluhur (VIII: XLI).
Kesaksian penuh penyerahan, burung gagak mencabik seluruh
daging tubuh, dan seisi perut dikoyak habis (VIII: XLII).
Awan menghitam duka murni, kayu patah dipeluk hujan lebat,
kilatan petir menyambar layar kapal, gerimis ialah tangisan (VIII: XLIII).
Para pecundang lari tunggang langgang disabdakan badai,
tidakkah angin lembut bersayap tenang menggenang? (VIII: XLIV).
Ikutlah bersama kekasihmu memeluk pangkal sayap-sayapnya
dan janganlah ragu, teguk imanmu sampai ke langit hijau (VIII: XLV).
Berjanjilah takkan memetik kembang kemuncup di lipatan bukit,
kau dan ia mengisi khayangan penuh bebuah ranum dihiasi kidungan suci,
pelayannya muda-mudi, dari tetasan telur burung onta sejati (VIII: XLVI).
Ia di antara cahaya menjadi penghuni paling bahagia (VIII: XLVII).
Tiupan ruh menentramkan hayat menghidupkan tanah (VIII: XLVIII).
Sebening membaca relief prasasti yang dipahat di batu-batu sepi,
bukalah lelembaran lontar menyimak makna ditinggalkan (VIII: XLIX).
Tulislah hikayat memberi secuil senyuman tidak akan kurang,
rahasia masih bersimpan kuasa di gudang perbendaharaan (VIII: L).
Jadilah hakim adil pertukaran dan jangan ikuti riak gelombang
atau sungguhlah mempersembahkan tanpa mengidam (VIII: LI).
Iklaslah, jangan berharap dariku atau menolaknya,
jika diberi sekerat daging itu upah kesungguhanmu (VIII: LII).
Kerinduan bugar sedari hempasan prahara,
sedingin sunyi dalam sumur bersembahyang (VIII: LIII).
Yang datang dalam telempap menawan bertaburan kembang,
tariannya hening melantunkan puja seayu pengharapan (VIII: LIV).
Ia keluar dari bidang semedi, lalu hadir dalam dekapanmu
lebih dari kulitmu di tengah ruang penuh nafas-nafas (VIII: LV).
Gairah fajar menanti terang meresapi keringat rindu,
hembusan bayu menyisir rambut-rambut pesawahanmu,
ia kicauan burung penghuni sendang, mendamaikan jiwa menggapai impian (VIII: LVI).
Memandang gulungan ombak temaram menyirami puja hati malam,
seluruh rantai gemintang mengisyaratkan kembara, melepaskan segala ragu-godaan,
memuji pula menghantui (VIII: LVII).
Meresapi bulir-bulir pasir pesisir dengan kaki-kaki berpijak,
bayu menyapamu berdiri mesra, memberi tempat bukan belenggu jiwa (VIII: LVIII).
Hawa dingin renunganmu bernafas rindu, dalam gelora persetubuhan waktu,
sukma-sukma berhempasan salam tak terkira, sebelum-sesudah membatu (VIII: LIX).
Ialah bayu menyusuri geraian rambutmu atas permainan seruling
yang alunan-alunannya menelusuri lembah bunga karang pemikiran (VIII: LX).
Tidak harus mendaki, tengoklah ujung-ujung ketinggian di setiap pepagi,
kabut membumbung ke pegunungan menghiasi pepohonan jati, mahoni, trembesi,
kepada randu juga rumpun bebambu hati (VIII: LXI).
Hujan bergulir menetes ke tanah-tanah kelahiran
dan bayu berkembang menggeraikan musim kebaharuan (VIII: LXII)
; unggun menghangatkan rerimbun hutan malam, bulan purnama
bertengger di reranting-dahan, dan bayangan hidup dalam kenangan (VIII: LXIII).
Tumpahlah seluruh keluh kesah di padang lara
atas kibasan nasib memeluk tubuh akhir kata (VIII: LXIV).
Sisanya debu di kaki rumput tercerabut, gontai menyemai detak jantung,
kicauan burung tiada sembunyi beradu, dalam sangkar sendirian (VIII: LXV).
Sambutlah bulan pengantin, madu kembang di usia muda sarang lebah,
inilah kabar awan-gemawan berarak, dari ujung timur kedamaian (VIII: LXVI).
Disepuh purnama, mata anggurmu selembut telaga jiwa kembara,
sedang rerumputan bercahaya, kepada kesadaran terkesima (VIII: LXVII).
Tentramlah dirimu berkepompong, lalu munculkan bebulu sayapmu,
kepakanmu memikat pandang, membelai peputik kembang (VIII: LXVIII).
Bunga dipijak merunduk mesra, keharumannya terjaga (VIII: LXIX).
Manakala tarianmu kepada punggung udara, sayap-sayapmu terseka,
ia mendekatimu sesapa penyadaran rindu menyelami wewaktu (VIII: LXX).
Setelah dilinting dalam racikan ruang paling jumud,
menghisap nafas hijau berhias penuh pujian (VIII: LXXI)
; mantra menyusuri kepulan asap mewangi ke dalam rongga cakrawala,
menuliskan kisah hari esok, matahari mengeringkan lempengan senja
di pulau sebrang ingatan (VIII: LXXII).
Rentangan senjakala seharum khusyuk kembang dalam berkah penjaga malam,
lantas kegundahan memasuki terowongan kebahagiaan (VIII: LXXIII).
Bayangan susut saat nyala lentera di hatimu, sebatang lilin di tangan
memercikkan api petapa, memijar-memecahkan kaca cermin jiwa (VIII: LXXIV).
Tiada kesiangan mencari hakekat pembunuhan, cahaya menikam
dalam lipatan ruang, menghampiri, tak sadar diselimuti pengaduan (VIII: LXXV).
Oleh kemanusiaanmu tinggi, menulikan telinga, ganjil ruh menoreh kata
dari pandangan masa menajamkan makna (VIII: LXXVI).
Berkendi-kendi tinta dihabiskan demi gambaran baru,
terilhami sederu serdadu sejarah masa-masa lampau (VIII: LXXVII).
Jernihnya air telaga tak menghanyutkan daun kering terjatuh,
selagi mencipta lingkaran ombak ke tepian prihatin (VIII: LXXVIII).
Batu dilempar hanyut ke dalam, tumbuh keraguan (VIII: LXXIX).
Kesadaran jari-jemari menggapai petik gemintang, bulan berkisah
dahaga malam, mengalirkan dayadinaya kerinduan (VIII: LXXX).
Betis masa tertiup bayu, kerahasiaan tersingkap menyesakkan dada,
jika tak sanggup tumpah lahar pecahkan karang, laut mendidih pulau tenggelam,
habis daya burung Belibis, kekupu lelah tekanan udara ketinggian (VIII: LXXXI)
; dalam kesunyian terbuka sendiri, lembaran kalbu terlepas hitunganmu,
di sini masih bersimpan jejak silang ia tempuh (VIII: LXXXII).
Sayup-sayup pengertian mengenyangkan lambung nurani,
mengisi jiwa tenang, terkabulnya pengharapan (VIII: LXXXIII).
Bila gelas para utusan meluber, membanjiri cawan para pengikut,
tapi masih dirasuki rayuan, selain yang ikhlas berjuang (VIII: LXXXIV).
Mencubit kulit sayang melahirkan kehendak-kehendak,
tidak terkecuali kata-kata puja, nama-nama suci (VIII: LXXXV).
Segairah gemawan mengantarkan degap kehadiran membesar,
reranting patah akan mengisi yang tersembunyi di mata (VIII: LXXXVI).
Ia menghadiahkan reronceng kembang kepada pantai pelayaran,
pulau pernah tenggelam, ini saksi segala kemungkinan (VIII: LXXXVII).
Asap kemenyan membumbung mengendarai hati bersayap merpati,
bertaburan kesungguhan ditelan lautan renungan, mempersilahkan puja
melampaui kabut gulungan ombak akhir senja (VIII: LXXXVIII).
Terhanyut arus gelombang terseret ke pasir pesisir asing
yang ditelan masa melahirkan desah kekalutan (VIII: LXXXIX).
Setegukan air menguatkan langkah menuju ketinggian angin pucat,
harum kembang kathil memberi kabar berita, menyisakan wangi keringnya
terkurung dalam penantian lembah menghadirkan pelita (VIII: XC).
Apakah langit terbuka sendiri? Bebijian ketakutan tergolek
di keranjang penyimpanan dilupa musim, tubuh membujur seakan berteriak;
di manakah matahari? Dan kau menari-nari di pematang kering (VIII: XCI).
Menghanyutkan bebijian jagung ke hamparan samudra,
mabuk desah kata, timbul-tenggelam-terapung terhempas
ke pulau baru, sedang kenangan lama bertahta (VIII: XCII).
Tanamlah di ladang kalbumu, dan saat temanten membuahkan jagung,
nikmati bersama unggun bagi pengganjal lambung kekosongan (VIII: XCIII).
Kutukanmu lebur berakhir manakala tubuh-tubuh jelmaan tersucikan,
mendapati wengi gelisa sirna, ketika nafas-nafas teratai merekah (VIII: XCIV)
; pujangga sederhana melantunkan tembang-tembang pengekang bathin
serupa tumpukan batu-batu menstupa ke hadapan wajah purnama (VIII: XCV).
Pantulkan wewarna fajar, dan senjakala jingga bagi pandanganmu seluruh
kepada candi-candi Prambanan mengekalkan kisah percintaan (VIII: XCVI).
Jasad mengapung, bulu-bulu tumbuh sayap-sayap mengembang,
hasrat kuat tersedot warna direngkuh masa mengejawantah (VIII: XCVII).
Alangkah sakit melipat sayap mega mencabuti ulu sukma,
bertarung atas angin berserakan menutupi laut-dataran,
mata mencincang tidak berbulu pandang (VIII: XCVIII).
Biarkan dikuliti, dicabik-cabik bangkaimu,
kekenyangannya menjelma bagian tak terpisah, daging-darah, nalar-kalbu,
nafsumu-nafasnya bersatu setubuh di dalam sukma merajah (VIII: XCIX).
Perjalanan mengajarkan menyelami ombak ditelan gelombang demi badai,
sebagai maha guru kerinduan (VIII: C).
Keterjagaan jiwanya ialah dendam terkubur tanpa tanda,
bertelanjang di pebukitan mentari, menggosok punggung berkuku
secepat bintang meluncur kepada yang sanggup memangku (VIII: CI).
Panasnya tubuh dinginnya mewaktu sebagai gejalah keabadianmu,
menarik magnit angkasa, tertuang merasuk dalam pesona semesta (VIII: CII)
; getaran nalar meraja, meresapi seluruh sendi-sendi gemulai,
keyakinan lekat membimbing jiwa berpaut, paling tahu tergelincir
pulang ke sarang maut (VIII: CIII).
Ketika mengunjungi keganjilan, tarikanlah penamu sampai batas lunglai,
bukan kesiaan memalukan, menelan buah maja tercapainya kerajaan (VIII: CIV).
Sebagai drama kebencian,
hempas dan tancap sedalam keraguanmu menghantui (VIII: CV).
Momok rindu berulang, cinta pun keyakinan datang
sedang yang tak pasti menjelma hakiki nantinya (VIII: CVI).
Sebelum cukup mengembara, mata jiwa-jiwa berpudaran dan
seluruh tersentak, bersusah payah oleh hasrat kian memaksa (VIII: CVII).
Setidaknya tangisan bayi membebaskan lengan, tangan dan jemari,
menggapai yang belum terlihat, lantas menapaki sejati rasa (VIII: CVIII).
Kenapa kau cukupkan? Apa kesulitan oleh referensi terbatas? (VIII: CIX).
Alangkah indah bayangan menari-nari menggapai angan di pendapa,
kepekaan kesadaran, setajam isyarat terlaksananya impian nyata (VIII: CX).
Saat langkah kaki mendentak binggel merancak, tambah menggelinjak
mengisahkan lakon tersendak, menuju jiwa gemulai penuh budhi (VIII: CXI).
Angin selat kepayahan menghempaskan tubuh-tubuh kapal,
layar tersobek, tiang-tiang penyangga patah, tali-temali gelayutan putus,
menendang dan sekali tempo melengking cakrawala luka (VIII: CXII).
Rautnya purnama kepada belum dilalui,
ia tahu diri di hadapanmu (VIII: CXIII).
Wengi bergerimis sesaat, mengagungkan butiran embun cahaya rasa
saat pancarannya bersimpankan denyutan fajar degupan abadi ( VIII: CXIV).
Mereka berbondong membuka pakaian, berendaman di telaga kasih
yang bebatuannya bersimpankan daya pesona cahaya matahari (VIII: CXV).
Gemintang merenda-renda di sepertiga malam, bulan bertengger di ingatan,
keayuan dedaun bergoyang, atas bisikan bayu pemikiran masa silam (VIII: CXVI).
Jasad bathin bersuci, nuraninya dituntun kehalusan budhi pekerti,
didorong kelembutan mendekatkan diri, kantuk tiada dengki (VIII: CXVII).
Batang tumbuh dilalaikan, mengendor masa-masa terangkai rumusan,
membaca tanpa mencampakkan beban malam menggigil demam (VIII: CXVIII).
Ia di gerbang, saat turangga sembrani membalik terbang menuju kekasihmu,
memasuki kediaman berbasah kuyup, mesranya di ruang sempit berjubel sakit,
bagaikan genting kaca terang nan hening tiada kepulan membebas, sebab semua
telah ditimbang atas sesak-udara, suhu-gairah, sesal dan kecewa (VIII: CXIX).
Ia mempercayai langit biru merindu sungguh,
maka keluarlah dari sangkar pengasingan (VIII: CXX).
Ribuan ombak pecah di batuan cadas, hati pasir pesisir terkikis
tinggal duka berbeban malu, memberi punggung mata sejarah (VIII: CXXI).
Badan kuasa mengunjungi jiwa-jiwa gentayangan, namun kenapa
gelisa mengeja hari-hari makbul terpaut hasrat pandita (VIII: CXXII).
Daya seakan tercerabut dari rengkuhan bumi seluruh, dirinya rumput
di kubangan rindu, matahari, malam, senja pun hujan melewati cela-cela tanah,
akar-akaran waktu menjadikan nafasnya dari musim sebelumnya (VIII: CXXIII).
—–
*) Pengelana asal Lamongan, Jawa Timur.