(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Gelombang Merawat Pantai” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper
Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=209
Dia menumpahkan sabda kelanggenggan gelombang,
luapan kabut menuruni semenanjung langit pulau sebrang
dan daya rindu tersirap cakrawala (XIII: I).
Ketika elang mengapung, kau tarik kendali sukmanya,
angin-ombak tiada berhenti menelusupi pori-pori pasirmu,
itu bayang dirinya telah sampai di gerbang penantian (XIII: II).
Melepas pelukan purba, jejakkan kaki di bebatuan karang,
lantas terbang bersayap pengetahuan melewati kenangan (XIII: III).
Janji rindu semesta bersaksi melalui geraian rambutmu, kau
semakin temukan ketentraman, di kedalaman tak terukur (XIII: IV).
Saat singgasana nalarmu porak-poranda oleh tiupan taupan,
debu mengiris mata, atas tumpah darah di sudut gelap tercela (XIII: V).
Kiranya hujan gerimis bertambah menggenangi lamunan hati
oleh mendung berdesak merata ke tengah malam (XIII: VI).
Usap kulit lembutnya, lalu goyanglah nyala lilin hatimu,
ia mempunyai kasih, tidak mematikan cahayanya (XIII: VII).
Siapa bergayuh terus melenggak ke panggung, getaran rumput tertunduk,
tataplah langit, yang terus memberikan butiran (XIII: VIII).
Di belakang laut berlarian buih ke pantai, wajah gerimis menderas doa,
tebarkan kembang mengumpulkan hasrat suci kemenangan terjaga (XIII: IX).
Kesadaran sedingin kapas putih mensalju, terapung membeku berpulau
sebagai dataran kabut percintaan (XIII: X).
Keluarlah dari cengkraman mata-mata, dirimu ringan
serupa kebijakan bebiji, meninggikan tubuh berdahan (XIII: XI).
Renungan angin di pepucuk petilasan,
menyeret kantuk tenang menelusup ke dasar kesejatian (XIII: XII).
Pencapaian burung pelintas di gelap wengi memberi pekikan
melengking tanpa perlihatkan bayangan
dan kerling bola matanya, bertemu kehendak mengepak (XIII: XIII).
Sunyi tertunduk tegar, menanti hujan mengembalikan ingatan
kepada bentangan samudra, layarmu ke pulau nan ghaib (XIII: XIV).
Setiap melihat kembang ingin memetiknya, namun kau jauh,
diabadikan lewat kata-kata, agar keharuman lestari selamanya (XIII: XV).
Angin dan air berkasih sayang, maka adillah di selatmu
jikalau berharap selamat sampai perkampungan (XIII: XVI).
Khusyuk dengarkanlah deburan ombak di dinding kapal,
biar kegelisahan tak sampai membuatnya karam (XIII: XVII).
Arah tubuh gelombang memberi nafas pekabutan
dan awan menghujan bersayap kehidupan (XIII: XVIII).
Ia lesatkan gairah waktu ke pantaimu
merindu di tengah-tengah keindahan (XIII: XIX).
Langit berdentam, ombak biru mengajari jiwamu (XIII: XX).
Sekian masa bergolak, lalu gedoran ombak merangsek maju
kepada pergumulan setubuh menciumi bibir merekah (XIII: XXI).
Gemuruh kalimah menghadirkan udara cadas menyatukan tekad,
selat manunggalkan dayadinaya, ditakdirkan berpasangan dirinya
menuju pelaminan mengusung kebijakan langitan (XIII: XXII).
Yang lepas kembali suci mendekati keajaiban,
ombak perasaan pengetahuan pertama, meninggikan ruh sempurna akal
seumpama lekukan sampur menghanyutkan jiwa-jiwa masa (XIII: XXIII).
Ia memuntahkan deburan jantung ombak menghantam,
pasir pesisir telah hatam, dielus mesra anak-anak menyongsong mentari,
atas selongsong manggar sayang, terjatuh pada gelombang (XIII: XXIV).
Kasihnya cahaya pagi mendamaikan ikan di kandungan samudra
yang terlahir kehendak kemanusiaan (XIII: XXV).
Bangkitkan fajarmu pada lintasan camar
yang digubah para pecinta gelombang (XIII: XXVI).
Kedipan gemintang arah pelaut memperjuangkan nafas-nafasnya,
pelayarannya dikala kau lelap dalam buaian kasih mesra (XIII: XXVII).
Kesadaran mengapungkan cinta mengikuti segala kekuasaan bayu
tanpa watas kehadiranmu, seperti kaum pencari sejati (XIII: XXVIII).
Bergulungan debaran hawa kemarau, pada lidah ombak sejilatan garam,
berduyun robohkan dengus bertengger, mensucikan ikan berpasir (XIII: XXIX).
Ombak berjunjung membelai tanjung karang, menyelinap kilatan pedang
setajam menghunus hasrat di teluk serengkuh (XIII: XXX).
Berjubah bayangan gerilya terjaga pesakitan
tapi jangan tertunduk di lereng kebun anggur (XIII: XXXI).
Ia berseru; tangkaplah gelora, rasakan dentingan bunyi nurani bergoyangan
dan menarilah, kau kan terangkat ke pucuk-pucuk keutamaan (XIII: XXXII).
Beranjak maju menjawab kekosongan pilu mengisi ruang ngilu,
inilah kabar datangnya kemerdekaan jiwa-jiwa tertindas (XIII: XXXIII).
Siapa mengarahkan busur panah tepat di jantungnya, menjilati darah segar
tandas tidak bersisa? Yang salah arah, tinggal tulang-belulang saja (XIII: XXXIV).
Kerahkan terpendam, menggubah laut berawan mendesak malam,
laluilah bersungguh angin, ketika api menghadang matamu (XIII: XXXV).
Jangan manjakan sebab lecutan pecut memecah pendengaran,
akan berlari tunggang-langgang selagi langit masih memar (XIII: XXXVI).
Semerbak bunga liar mengacaukan imaji pejalan kaki
semurni kejernihan air pegunungan membasuh tubuhmu,
laksana lintang mempercayai cahayanya (XIII: XXXVII).
Butiran pasir-pesisir pertanda belaian lembut lautan
tetapi kenapa kalian tampak pucat murung? (XIII: XXXVIII).
Ia bawakan tidak lewat telinga semata, mendekapmu sanggup menyimak
kelembutan, lelaguan di balik pebukitan, kaulah saksi hati pantai (XIII: XXXIX).
Perlambang mendaratkan deretan kalimah, esok bergerak
dari energi tersumbat atas bongkahan timbunan uap (XIII: XL).
Meluncurlah di waktu barisan kalam serta nama-nama
oleh hamparan molek semesta jiwa para kembara (XIII: XLI).
Pandang dan ciumi sungguh dada segar penuh nilai
lantas tiada perlu meragukan kembali (XIII: XLII).
Jika berpaling janganlah jauh, cukup senyum kan tahu
getar rambatan pribadimu mengalirkan serajutan benang mungil,
menyetujui mengolah ladang bertangan kelembutan (XIII: XLIII).
Suguhkan kembang api menghibur di malam-malam membujang,
keriangan bintang-gemintang berkedip menarik bertemu pandangan,
seteguh tubuh diguncang jiwa, tumpah air gelas di kemeja (XIII: XLIV).
Kau basah penuh percaya, mencumbui wengi sampai fajar mendatang,
bunga-bunga pupus di tangan musim berganti kebaharuan, tampak riuh-buih
berhimpit, terhempas memuntahkan kesegaran (XIII: XLV).
Berharap kalian lebih menanti datangnya masa tua,
terkurung ruang-waktu dalam tempaan usia (XIII: XLVI).
Batas rindu tepinya berlalu, bebatuan menjepit tiada bertalu (XIII: XLVII).
Ialah berlari membelakangi meninggalkan mereka,
menuju keyakinan asing nan sunyi senyap (XIII: XLVIII)
; melepaskan kebisingan tidak kenal ragu dinikmati,
sedang mereka menganggap mengada semata (XIII: XLIX).
Ia mengundang kemari demi kumpulkan garam di dada meriap ombak,
senyum lekukan pantai, tercurah melewati kerongkongan cakrawala (XIII: L).
Bawalah kendi-kendi kosongmu, ia isi dengan embun surgawi
lewat jari-jemari memunguti kekudusan (XIII: LI).
Arak-arakan anak sungai sederas asal muasal masa menyamudra
setajam debu ke sorot mata berkecipak mengiris, terputus dedahan
meramai daun-daun berserak digugurkan bayu pantai (XIII: LII).
Prahara ditangkal oleh lajuan merestui kisah malam
berhias lelampu di tengah alun-alun keheningan (XIII: LIII).
Rawatlah unggun agar seluruh kampung bermata penjaga
yang nanar atas asap mengepul di tempat muasal berita (XIII: LIV).
Kau melewati tapakan pulang, catatan silam tak sekadar kenangan,
membersihkan dahi berdebu, doa-doa merambati pendakian sampai (XIII: LV).
Sambut kesadaran hati mensucikan kemerdekaan cinta memberi jalan
pada keremangan fajar akan terbit (XIII: LVI).
Air laut berangin kencang, tertangkap tatanan malam di alunan gelombang,
menelan mentari seperti mencuri harta warisan (XIII: LVII).
Yang tercuri memercikkan api semangatmu, setiap kobarannya nyala abadi,
memaku kaki-kaki para penjegal yang terlena (XIII: LVIII).
Jiwa tenang akan ditambahkan lebih dari yang tercuri,
kemuliaannya memantulkan cahaya kedamaian hati (XIII: LIX).
Para pencuri diringkus prahara, ditelan banjir tiada faedah,
dan tercekam saling berurai, mengeluarkan pengertian (XIII: LX).
Bagi mengikuti terkena celaka, hari-hari naas menguntitnya, yang mencuri
ketenanganmu lebih terampas waktunya, yang terahasia di lebam jiwa (XIII: LXI).
Pemilik luhur leluhur, mengabdikan anak-anaknya mencari hikmah rasa,
menyempurnakan hasana cahaya mentari, menyinari bulan setia (XIII: LXII).
Yang terjaga tabah, diberi kecukupan kemurahan hati (XIII: LXIII).
Malam-malam celaka perampok, mata terkuras atas pemilik sah,
was-was pewaris musnah, selepas gelisah menggantung (XIII: LXIV).
Kesadaran jarum jam terjatuh di lantai bekukan laku,
inilah semesta bathin di alam penyadaran (XIII: LXV).
Ia bersanggup sebelum kata cukup terpahat, langkah menyinggahi kalbu
insan direstui sunyi dengungan hati, berisi bayu merebahkan diri (XIII: LXVI).
Jemari melukis mata embun pada rerumputan memberat,
dibelainya sungai lekuk lembah hijau musim sebrang (XIII: LXVII).
Penantian cahaya dipantulkan lempengan kaca,
bola-bola mata membisu saling menerima (XIII: LXVIII).
Wahai burung malam, ikutilah mengedari bumi memaknai biji, penjaga
memetik getar ombak, lembut menelusup menembusi lelap pagi (XIII: LXIX).
Kepada sentuhan halus, ketenangan membaringkan kekasih,
dan kendorkan tali-temali, guna langkah tidak kesemutan (XIII: LXX).
Menuruni kebijakan lajuan kapal, ke tiap pulau disinggahi mencari pebekalan
pengusir lelah membosan bermalas melaut, seriak ombak purbasangka (XIII: LXXI).
Kesadaran tertunduk malu keangkuhan pemuda, terkekang
hasrat membeletat, berhamburan cahaya berkilat-kilat (XIII: LXXII).
Anak gadis cemas beranjak dewasa, seperti kekupu di kuncup bebunga,
pesona bulu mata lentik memuara, harum tak sebatas samudra (XIII: LXXIII).
Ia mendaki lamunan akan tarian hangat kenalan, makin terang putaran
bumi mencerna warna, dan kalian mulai terjatuh sebab cinta (XIII: LXXIV).
Sungguh air liur membasahi lidah keluh ke ujung-ujung leluasa, pada
malam batang-batang kayu, mewujud goyangan dedaunan padu (XIII: LXXV)
; embun ketenangan jiwa
ini penggalian masa tidak berhenti memetik hikmah (XIII: LXXVI).
Menggebu di ruang kosong, sadar hari-hari tertambal keringat petani
membajak sawah sambil memandang temanten jingga senjakala (XIII: LXXVII).
Air sungai mengalir menuntun reranting yang patah, nuraninya berenang
menggeraikan denyutan kalbu bening, dan jikalau kepakan merawat sayap burung,
hasratnya memenuhi kebiruan langit bertangan gelisa pemahat (XIII: LXXVIII).
Meniup seruling menuturkan tembang malam, terik mentari di waktunya,
penerimaan yang lalu, tinggal merindu kedamaian (XIII: LXXIX).
Keindahan ragu yang sungguh jauh tanpa bekal, kosong di tempat penuh
lalu langit berseri, sedang bocah rajin melangkahkan kaki kembali (XIII: LXXX).
Bayu memasuki pintu, ia duduk menyendiri, datang pekikan semangat,
kicauan burung-burung bersahabat di belantara jiwamu
melihat dahan tersentuh kebimbangan mutlak (XIII: LXXXI).
Yang lunglai ditikam belati kepastian, membeku darah-waktu di tungku,
bersuling kehampaan persekutuan dicari, selepas menjelma bayu (XIII: LXXXII).
Sendu sepasang mata kembara, bertunggangan turangga sembrani,
derap langkah kaki dan sayapnya kencang melesat ke wana perburuan mentari
serupa busur panah ke tanah terjatuh atas restu takdir lelah (XIII: LXXXIII).
Wajah haru biru menerima pautan waktu, rintik menerobos gersang,
sesapu debu juga daun-daun bersegaran, setelah muka kemarau memanggang,
inilah hangat asmara mencerna ufuk timur raya (XIII: LXXXIV).
Anak-anak sungai menggelinjak ke bebatuan,
terpotong tanggul kaki-kaki mungilmu (XIII: LXXXV).
Selembut tanya harapan tersengal keputusasaan,
terlempar arus kesadaran yang berasal hempasan (XIII: LXXXVI).
Asap tebal berkawin malam, membangunkan udara menjilat tajam,
pijakan dulu terlupa, menjelma pesakitan meraja (XIII: LXXXVII)
; cakar siksaan di segenap relung jiwa, bayangan remang dibalik cahaya,
menembusi gelap menemukan bimbang (XIII: LXXXVIII).
Bias sinarmu di kertas dan pena penentu bertahta,
tinta kehormatan tiada berdosa menjumpai makna (XIII: LXXXIX).
Terjerembab pekat di ketiak senyap, hantu gentayangan menyapa
atas ratapan mataair di rundung setiai janji setiap berbicara (XIII: XC).
Rerumputan kering terambili burung-burung mengikat reranting,
bersiulan bayu menyeret awan isyarat mencipta sarang segera pulang (XIII: XCI)
; gemintang hadir menghiasi tajamnya ilalang, sekuntum kecupan pada
ubun-ubun dingin ditempa hujan deras bersusulan (XIII: XCII).
Terbangnya burung melipat waktu merakit sarang teduh,
sunyi rindu di segenap kalbu mengunjungi kecantikan danau (XIII: XCIII)
; sebening cermin tergoda kehangatan air, sedang udara unsur nyawamu
lekat daya kehendak, melebur ruang-waktu pada sekuntum teratai (XIII: XCIV).
Ada nyala lilin di atas batu di bawah malam,
setiap perciknya mencipta gigitan api (XIII: XCV)
; terimalah saat jatuh cinta, bahasa tubuh tersampaikan gerak,
menari-nari selembut padi bersinambung pagi, dan angin layang-layang
pada nalar benang, mengapungkan tulang kayu kulit kertas (XIII: XCVI).
Di ruang persidangan waktu, awal persetubuhan melewati tabuhan hening
bertalu-talu rupa senar gitar diganti benang pancing melukai jemari (XIII: XCVII)
; bertambah kuat di perbincangan serius, angin merambati kulit bebulu,
ketakutan tersembuhkan harapan, lantas hantu berlalu (XIII: XCVIII).
Dendam lebih menggali kedalaman sumber minyak
dan tambang emas peperangan atas balas budi (XIII: XCIX)
; diamnya menemani jemari melukis samudra bersayap ombak,
bersimpan itu degup jantungmu kepada genggaman dada-dada ikan,
candatawa datang-pergi berpintu melanjut diayun jalan pilu (XIII: C).
Kesaksian doa gelombang bersahut-sahutan merawat pantai,
sedang asap cendana menembusi lelapisan awan-gemawan (XIII: CI).
Menghentakan alunan telaga membuyarkan tanda di rautmu,
embun tergolek terminum sungguh, berkesudahan pagi hari (XIII: CII).
Hembusan bayu menerbangkan jerami beruraian keringat petani,
menumbuk pepadi di lumbung ruyong kemungkinan kembali (XIII: CIII).
Sebelum sadar buaian perang takkan berakhir, sejarum niat diperjuangkan,
menambal kain baju atas sobekan pedang, dan sodokan jaman tajam (XIII: CIV).
Marilah mengikuti tari-tarian hempasan gelombang samudra menggaram
menghilangkan bau bangkaimu, sedari berhadapan ombak ke pedalaman (XIII: CV)
; di antara persembahan ada kegusaran, hari-hari tertempuh
di masa nalarmu setelah lelap terbit, tiada gelisah bersarang (XIII: CVI).
Zaman dilampaui keikhlasan, tanpa tedeng aling memaknai kekolotan
dan sampailah menyelami kata-kata, hawamu memasuki diri gelombang (XIII: CVII).
Kau arungi awang-awang kelelawar terbang malam, tarikan kecemasan atas
refleksi sukma ketuaan, terwakili keengganan bayi menangis (XIII: CVIII).
Kalian kelabakan mencari lobang ke luar pintu-jendela, pekat wengi
tiada pembuka, panas penasaran dibangunkan jiwa-jiwa hempasan (XIII: CIX).
Lalu siapa melempar bayanganmu di tembok terawat cahaya? (XIII: CX).
Kepada hamparan rumput, ia merasakan hening bersalam angin, tersendak
sebelum usai tinta keroncongan, lebih dekat tulang, dari lahir-kematian (XIII: CXI).
—-
*) Pengelana dari Lamongan, Jawa Timur.