(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Mengembalikan Niat Suci” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper
Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=207
Jalanan pekabutan menidurkan daun-daun, burung terbang tertutup gelap,
isyarat cerecahnya mengikuti musim, di mana bebijian berkembang-biak (XIV: I).
Barisan mega putih di langit ungu tempaan tua,
semua di bumi terlelap oleh ayunan gelombang, dan ia di jarak terdekat (XIV: II).
Berguru kepada abad musim silam, setangkup rindu mekarkan kenangan,
sayap-sayap mentari waktu meninggalkan bayangan
bagai setepuk penunggang kuda segera terbang (XIV: III).
Tempat memanggil berharap ia bersinggah
lantas koakan gagak, secepat maut memberi kabar berita (XIV: IV).
Kala awan menajamkan angkasa, gerak nasib berputar di poros setia,
mulanya debu, gas, air dalam kebekuan renungan, hukum ditandakan (XIV: V).
Kupu-kupu dalam dadanya menjelma bunga,
menawanmu serupa sangkar tanpa pepintu (XIV: VI).
Putri raja menjadi pelayan sejak ia merentangkan dahaga
oleh tiupan angin kekasihnya yang sungguh berpengaruh (XIV: VII).
Lambung yang lapar mereguk sangsi meneguk keyakinan, lihatlah
kayu-kayu kering berguna unggun dalam tungku pematang air (XIV: VIII).
Penghuni bumi semakin rapuh, sepeluk telaga membasuh jiwamu ia impi
berkepompong senyawa pucuk daun manunggaling bayu semesta bathin (XIV: IX).
Sebelum bulu-bulu tumbuh menemui mata angin gantungan waktu,
ia merasaikan sakit ketidakadilan diri, rongga pernafasan kering kerontang,
gunung-gemunung tanpa pohon, sungai mengalir limbah fikiran (XIV: X).
Satu buah jatuh lainnya was-was, ini gambaran cinta kau rasakan
kematian datang manakala teringat gemuruh prahara asmara (XIV: XI).
Memasuki ragu keterbatasan angan menghembuskan ombakmu
di setiap pantai, walau punggung renungan tak sama menunggu (XIV: XII)
; kepakan sayapmu menembusi wewarna lentera,
menaiki lengkungan pelangi pada mega-mega (XIV: XIII).
Datang berkelenengan, lincah memahat setelah berperang (XIV: XIV).
Ikut nikmat terburuk dicukupkan, tinggal menghiasi malam berbintang,
gerbang kerajaan langit terbuka lebar, oleh siang terang-menerawang,
awan-gemawan menggelepar kabarkan musim pergantian (XIV: XV).
Kapal menghadap samudra seakan berucap;
aku kan menemuimu hingga pucuk dunia (XIV: XVI).
Marilah melambaikan tangan sebenang-benang layang terpanjang,
senyum akhir berjumpa hukum tangis pertama bertemu pula (XIV: XVII).
Kapal sebesar bukit membelah gelombang menyibak ombak,
rambutmu terurai bayu lautan, burung-burung camar melepaskan salam,
maka kembalilah kepada pantai kekasihmu sayang (XIV: XVIII).
Memandang tepian cukup hawatir mendung berpendar senja,
mentari mengajak kidungkan kisah digubah rentangan masa (XIV: XIX).
Senjakala di hadapan akan tenggelam ke dasar lautan
melepas kebijakan malam menaburkan senyuman (XIV: XX).
Magrib memasukkan kapal ke selat lepas, gulungan ombak mengganas,
mengoyak kangen merindu-rindu rupa di perbatasan kaweruh (XIV: XXI)
; setinggi lembing pecah di tubuh jiwa gemetar, mula sayang kejujuran
dan nasib setia pada diri sejati (XIV: XXII).
Bunga bulan tanpa hawatir tidak purnama,
saling menatap tiada sunyi curiga (XIV: XXIII).
Diam terbuai belumlah usai, dingin menelusup sepelan langgam;
nahkoda tentukan keselamatan, menuntun ilmu mencari jalan pulang (XIV: XXIV).
Fajar datang kapal masih berayun, kau was-was menanti dimulainya pagi
tampak wajah keperakan bersenandung ombak memecah hawa purba (XIV: XXV).
Langit siang mendung layar terhuyung, curiga degup langkah mega-mega,
bukankah dirinya masih setia, dan tuhan senantiasa menjaga jiwanya (XIV: XXVI).
Semilir bayu meluas ke mana muara angan berlalu, ia di kepulauan bersyair
ini balada kasih tiada pernah berjumpa, hilang terasa menggali nyata (XIV: XXVII)
; menguras lautan rasa melepaskan rantai ia malu,
mengaduk-aduk di dasar relung hatimu (XIV: XXVIII).
Dari balik awan ia mengintip, sungkan berbalas pantun
padahal ruang-waktu memberikanmu segunung senyum (XIV: XXIX).
Kertas tersimpan dalam botol, hanyut mengapung di laut terkuak pula,
hati diguyur gembira, dan pelamun dihunus keris berkelok setia (XIV: XXX).
Awan berteman mengarungi, waktu berjalan di langit kamarnya,
seharian tanpa nilon hujan, sebatas senja menyandarkan kisah (XIV: XXXI).
Waktu magrib di atas kapal, dua keping hari dipertaruhkan,
hamparan langit-lautan, ombak-awan, bintang berseri malam itu bertulis kelegaan,
secepat hitungan tubuh lelap, kala tidurmu di atas pebukitan (XIV: XXXII).
Berselimut kabut, kembara menuntun mimpi kepada tanah kelahiran baru,
pelabuhan mulai tampak disambut camar berlarian dunia kecilmu (XIV: XXXIII).
Siang terik memaksa keringat dewasa, anak bermain dalam rahim nurani,
ucapkan salam kepada leluhur yang hampir tanahnya tersentuh (XXXIV).
Menaiki tangga ke anjungan, terbayang wajah saudara-saudara,
kapal menyisiri puluhan sampan, selat berkelok terlewati (XIV: XXXV).
Terpampang tirai kalbu awan rindu dan segera
segala kangen bertemu hujan bagimu (XIV: XXXVI).
Berkuda melalui pepohonan karet, semak belukar di bibir jalan membukit,
sulur pandangan menyanyikan jiwa memasuki ketenangan badan (XIV: XXXVII).
Di gerbang kota kau berbisik sesayap awan merunduk mencurahkan hujan,
pebukitan kapur menceritakan rantaumu sedari balik kerudung (XIV: XXXVIII).
Kau tersenyum kecil mengambili bebunga harum terjatuh,
tiada ingin layu, larut dalam waktu membisu (XIV: XXXIX).
Sepenggal syair di negeri lain, tujuh pulau cantik tengahnya berdanau,
tempat bidadari bermandi sendawa, di jalur pelangi saat kembali, bagi yang setia
tak kurang ragu, manakala dewa-dewi merayu pribadi di kala kau pergi (XIV: XL).
Seperti surat yang lalu penyambung guratan ruh,
ini dentingan menggenta dari degupan dada terbakar tungku jaman (XIV: XLI).
Kidung berseratkan makna dari akar-akaran nyata,
kadang sebatang pohon hangus, tumbuh di antara mega (XIV: XLII).
Keterjagaan nyala api, sumbu lilin menarikan cahaya,
membumikan hening (XIV: XLIII).
Yang hilang kembalikan gumpalan wangi, kembang kumuda bermekaran,
lainnya gugur keemasan, ini putaran musim menyabdakan pergantian (XIV: XLIV).
Wengi menguasai siang, batasnya terselimuti kabut
dari mana muasal gelisa, sedari bersin pengantar persidangan usia (XIV: XLV).
Di antara malam tiada siang hadir,
bergumam memendam waktu penantian (XIV: XLVI).
Yang menyingkap jubah berbilang,
batu melayang saat kata perjalanan di jemari tangan (XIV: XLVII)
; menulis di lembaran hidupmu akan puncak gunung bersalju
lelehan bersungai, reranting kayu menyamudra rindu (XIV: XLVIII).
Bukankah gelombang tak pernah berhenti memanjatkan doa?
Kau pantas bidadari, hendak ke manakah di waktu serupa? (XIV: XLIX).
Reinkarnasi pengetahuan dalam taman impian, sedari putik-putik
endapan benang sutra tersulam, kalbumu mencari corak penentu (XIV: L).
Sejarah terulang, dada anak berdegup di jantung jaman,
menembangkan malam mengobarkan perjuangan (XIV: LI)
; nyanyian serangga dalam redupnya cahaya bulan,
menangis kesalahan, seutuh darah lelaki mempersembahkan (XIV: LII).
Coretan bergolak pada tarian membuncak,
segaris lapar agung meluruhkan hasrat (XIV: LIII).
Mendaki puncak kabut setipis keganjilan sekuntum kembang
di pinggir jurang ombak memukul batu, melebur berpasir (XIV: LIV).
Ia hentakkan perburuan busur panah,
melengking cakram tak mempat dingin penjara,
tubuh pengab terkulai dicabik burung bangkai, tapi
segenggaman tanah menguatkan tekad (XIV: LV).
Garis pemberhentian itu meringankan,
seperti tiupan lilin perginya lewat jendela ke ruang cakrawala
puasnya menikmati wengi, sesejuk telaga dipayungi pohon (XIV: LVI)
; akar-akar menjalar, ikan-ikan berenangan menghiasi batuan putih,
air bening memantulkan hati penanti kedamaian (XIV: LVII).
Berkali-kali sungsang itu tapakan menghimpit di gelap terpencil,
kau seekor burung mengapung membisu; bagaimana kau sebut hilang
padahal jauh masih setia? (XIV: LVIII).
Merawat kemolekan bayi membaca wajah renungan
kepada jantung hidupmu mempersembahkan (XIV: LIX).
Tak bisa bahagiakan lewat bisikan, baiknya hempaskan tubuh di ranjang
dan sembuh oleh tidur panjang (XIV: LX).
Begitu melupakan keringat berlangsung,
tenggelam dalam dahaga waktu (XIV: LXI).
Meriap ruh kesungguhan mencipta,
menguliti nasib berkepompong, dengan sederhana tujuan (XIV: LXII)
; malam membukakan cahayanya, menerima warna pelitamu,
awan berbondong seharum melati menempati
bermukimnya kisah-kisah perjodohan (XIV: LXIII).
Keheningan kenangan mengembalikan niat suci, anak-anak bermain
kala hijau pesawahan menggapai pegunungan, menilik lewat kaca kereta
sewaktu kebercahayaan menghuni rumah, ruh bergetaran (XIV: LXIV).
Kau tersadar petikan dawai kacau sehembusan taupan melabrak
pepintu-jendela, tubuh-tubuh kaku terlentang kepayahan (XIV: LXV).
Daun kering kemarau melanda, sukma berperluk isak tangis
penuh sesalan, menyentilkan bara jiwa (XIV: LXVI).
Oh penggelandang menjungkir-balik kebodohan,
kadang rengekan kecil membesar, penentu petapa purna
atau gagal oleh denyutan sungai asmara (XIV: LXVII).
Pastikan menyebut deretan nama kekasih, jagad seisinya kepadamu
akan langgeng dari kebinasaan (XIV: LXVIII).
Habiskan keraguanmu menyusuri jalan pulang,
membimbing iman laksana bara di genggaman (XIV: LXIX).
Ia menulis kehadiran tidak tampak memutiara waktu,
sehelai rambut tercerabut tiada kehendak berkuasa (XIV: LXX).
Kata-kata tidak lagi memuaskan mereka, kau tahu ruang kejujuran,
keheningan suci tiada bercak keangkuhan (XIV: LXXI).
Waktu tertinggal mengekalkan kebaikan,
tertulis hasrat suci mendekatkan diri (XIV: LXXII).
Sebelum sayap-sayap kaku, ujung-ujung tenggorokan hampa,
izinkan mengucap kalimah sakti, teguh menguliti nasib mengisi
demi membuka kilauan tabir penciptaan (XIV: LXXIII).
Di sini penanti menerima ucapan akhir,
kali terberi tiada takut ketentuan (XIV: LXXIV).
Kucuran keringat berdaya jelajah, lelangkah purnama di petang hari
bersambut rintik hujan ke kediaman, sabdanya sesempal iga (XIV: LXXV).
Merpati menghela nafas lalu melompat, runduk mentitili makna
digubah alunan gerimis membasahi pelataran rumah (XIV: LXXVI).
Teringat hamba sungai mengaliri pesawahan,
tanaman padi menyerahkan kuntum kesucian hati (XIV: LXXVII).
Berarak burung malam terbang dari timur, kepakan sayapnya melestarikan
gelap tanpa celah, lenyapnya penglihatan tertelan kabut lembah (XIV: LXXVIII).
Bukankah marmer langit siang menyilaukan pandang,
sedang dedahan mengusik mencari tahu getar kicauan (XIV: LXXIX).
Olehnya burung dalam sangkar siulannya sarat resah,
dipaksa mempercayai, lainnya bebas tanpa rantai kaki (XIV: LXXX).
Dunia embun di daunan pantai, berkilau mentari suburkan awan
pada petamanan tercipta tembang puja-puji kesemestaan (XIV: LXXXI).
Dalam pedusunan semut, dahaga keagungan bersatu serengkuh kasih,
dikecup danau hatinya sesejuk bersentuh kabut keindahan (XIV: LXXXII).
Burung kehausan menuruni tangga awan menuju pinggiran,
ringan melompati bebatuan anak sungai, tenggelamkan kepalanya
berteguk kecipak membasahi kesejukan jiwa lara (XIV: LXXXIII)
; kesegaran kembara setelah merentangkan dahaga,
ini budi pekerti setaburan benih pepadi (XIV: LXXXIV).
Dada berdegup bergetaran dalam palung kenangan,
lama pandangannya untuk dikisahkan (XIV: LXXXV)
; burung-burung musim semi di bara asmara menggugah terbenam,
sekuat memejamkan mata memanggil jiwa-jiwa sekecup berpisah,
ini gubahan manunggaling cinta digayuh sukma (XIV: LXXXVI).
Kepekatan memanas di ubun-ubun padat menaikkan suhu tubuh
menuju kutub, itulah sentuhan nafas-nafas atas bentuk (XIV: LXXXVII).
Udara bersalju mengganggu pemahat kata bersayap,
menembusi air menjelajahi wewarna bayangan cahaya,
menyelimuti wengi hingga fajar menampakkan bulu emasnya (XIV: LXXXVIII).
Diamnya tersimpan alam, tampak dirinya menghafalkan butiran renungan,
membahana ruh-ruh senyawa (XIV: LXXXIX).
Awan bersambut biru langit, kawanan bangau menanti ciuman gerimis,
sayapnya bersisir serbuk kilauan cahaya mentari (XIV: XC).
Ada meruh di kesunyian tanpa ucapan, bebiji besi ditimpa baja malam,
bayu purba menemani pesawahan padi menguning (XIV: XCI).
Ombak mencipta lenggokan layang perbatasan, siulannya anak
memberi kencang angin mengangkat pedut tanpa hitungan (XIV: XCII).
Inilah terwakili lelembaran, kala kau tidak faham permainan,
yang kantuk istirahlah, terbangun segairah bunga dipelihara (XIV: XCIII).
Di sepertiga malam, daun-daun membisu berpandangan jauh
menggeliat tubuh hangat atas rambatan cahaya mentari menyengat,
hasrat nalar gundah mencuat, cambukan petir hanguskan firasat (XIV: XCIV).
Gubahan kejernihan dentingan air di bingkai lukisan matamu
atau relief-relief di kedalaman gua-gua kesunyian mewaktu (XIV: XCV).
Kala gerbang langit terbuka, awan mengarungi lembah ciumi bunga,
matanya tak kalah gemerlap malam, terlewati lidah pahit pecinta (XIV: XCVI).
Inilah surat menguasai jiwa, bagaikan gemuruh ombak memecah masa,
terminum ramuan kembang bagi si sakit menyusuri pesisir utara (XIV: XCVII).
Kuasamu mencengkeram kalbu atas pusaran bayu mewujud percandian,
waktu berpatung paras bidadari, serupa sajak menggejala abadi (XIV: XCVIII).
Persemakmuran hatinya, gemerincing kesejukan sejarah mendapatimu
miliki cahaya, hukum arif ini mahar kasih sayang atom pencarian (XIV: XCIX).
Setelah terhafal, nafas-nafas membakar kertas mengisi penghuni rumah
serupa ikan hidup di dasar hatinya, penyebaran ini pada rakyat jelata (XIV: C).
Cinta buta merambah pada kerahasiaan dunia,
inilah rindu langit menemui bumi (XIV: CI).
Seumpama kangen malam di dada perawan, jaman nan padang njinglang,
karya agung merindu-rindu abadi, seumur memerdekakan cinta lautan (XIV: CII).
Inilah surat pengisi nyawa di dada insan bergetaran mengintip tirai kasih,
kala hikmah ditenggelamkan sesama (XIV: CIII)
; segala pengetahuan menguap ke langitan berawan,
lalu ruh malaikat menangkap bagi sandaran (XIV: CIV).
Hati bimbang gelombang menggoyang tubuh kapal ke pantai pengertian,
cinta kiblat di hatimu seyakin syair takkan runtuh (XIV: CV).
Ruh setia bergelegak, balada hidupmu bagai bebatu
menggelinding ajal menjemput terbang berkuda,
bersaksi awan memayungi perjalanan kembara (XIV: CVI).
Datang kepadamu keabadian, serupa betis sang ratu tersingkap lugu
dalam kerajaanmu, bukankah aktor terbaik mengikuti naskah? (XIV: CVII).
Nyanyian menembusi luar batas, anak turun purnama di jalan-jalan,
menguasai mimpi-mimpi buruk tidur panjang para penguasa (XIV: CVIII).
Dia tegakkan kesucian rumput patah, menyerahkan untukmu gersang
sejauh awan menggapai bukit, rintik hujan membangkitkan pandangan (XIV: CIX).
—-
*) Pengelana dari Lamongan, JaTim.