PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII

Pembangun Dunia Ganjil
(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Pembangun Dunia Ganjil” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper

Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=205

Keberanianmu menggaris palet dengan tegas,
jujur saja, waktu lembut semakin dalam
setebal kelam gurat menohok, mencipta angin membiru (XV: I).

Datang tiba-tiba bertambah penuh,
seakan cawan yoni setia menanti panas lingga (XV: II).

Ia sederhana memaknai ketakutan,
lalu bayang siapa mengusap bulukuduknya? (XV: III).

Kala langkah tak disapa, berdiri tak lagi hormat,
terpaksa kabur di tengah terik siang menyengat (XV: IV).

Ruang-ruang kosong dihuni jejaring sepi,
siapa tahu usia burung di balik kaca tebal? (XV: V).

Sedang ia asyik bertengger di dahan-dahan,
sesekali menyiasati gravitasi menyeimbangkan angan (XV: VI).

Terdengar lamat-lamat ribuan sepatu menderap,
tiada kepulan debu atau tanda matahari jatuh (XV: VII).

Semakin kencang bersuara serdadu, gemuruh mengeras
sekilas lenyap dalam telingamu terang menerawang (XV: VIII).

Kau singkirkan pembawa dunia ganjil,
padahal diselami kekurangan dirinya (XV: IX).

Cahaya melesat tiada pengikat, memetik makna selagi
berkesempatan, esok bakal tiba masa panen kesejahteraan (XV: X).

Rasakan artian terucap lewat berdiamnya diri dalam makom,
sebab mata bertemu saling bicara, surat saling berbalas (XV: XI).

Membentang bersulaman benang seirama, mendapati diri terperangah
terpesona jaman, hari ini terlewati, jika tak mengisi kedalaman sunyi (XV: XII).

Ketika matahari meninggalkan cahayanya,
derap degupan awan merapatkan barisan (XV: XIII).

Siang-malam menghapus tepian senja, melewati panggung ketakutan kalbu,
setubuh rerumputan kering merindu hujan mengurai nafas-nafas deras (XV: XIV).

Jika ada tersimpan, tersampaikan nyawa di musim kembang,
nyata ada seunting sajak ingin terlahir dari pembangun ganjil (XV: XV).

Memandang kentir, hidup bukan sekadar perubahan liar meliar,
bola-bolamata mengenyam kandungan kata cukup keluar (XV: XVI).

Ini petanda kejadian lepas serupa busur panah terbang melesat,
nafasnya hembusan pelita, terbang ke jantungmu tiada sia-sia (XV: XVII).

Jangan sampai tangkapanmu melesat, gemintang di cakrawala berjatuhan,
bulan-matahari berpancaran, kenapa kau laksana mendung bimbang? (XV: XVIII).

Siapa kabur mengisi hidupnya berlari, pintu-jendela dia masuki dengan tertatih,
tapi kenapa hilang perasaan, sampai bayangan enggan menyapa pagi (XV: XIX).

Dia berpaling, tidakkah cukup celak di sekitar matamu
memberi kepercayaan walau duka meraja di sana? (XV: XX).

Pandangmu lurus ke depan meninggalkan segala kenangan,
hisaplah fajar kelegaan, bayangan susut tenggelam,
kapan kau bercahaya saat waktu begitu nyata? (XV: XXI).

Menanti penuh lapar, belum cukup menarik bebijian ditaburkan,
karang berombak awan, sedang desah hujan menerpa rindu masa silam,
bersenyumlah pada hari-hari mengembalikan keceriahan (XV: XXII).

Menembusi jaman seakan nasib ombak membelah lautan,
merangkai lelintang berkedipan bulan bertemanan (XV: XXIII).

Menghampiri wajahmu di kegelapan menguasai sepi,
mengajak hening memberanikan diri membosan (XV: XXIV).

Sedang getar merawat keagungan semakin terjepit-menjerit,
setiapkali merapikan langkah tersendat tali kendali sukma (XV: XXV).

Ambillah rerumputan kering berguna sarangmu yang teduh,
berperekat liur dari muntahan bebiji sehabis dikunyah (XV: XXVI).

Semenjak singgah di hatimu, nyala abadi menerangi ciptaan
selaksa keteguhan lingga dalam upacara percintaan (XV: XXVII).

Ialah tungku mematangkan air sumur,
kau tangan niat, gerakan suci berpeluk mengabadi (XV: XXVIII).

Kau serupa semut mengusung gula-gula ke rumah
bagi pengertian memerdekakan dari kedekatan (XV: XXIX).

Perjuangan berlangsung demi anak-anak gelombang,
tiada putus menghempaskan perasaan hingga hilang kesiaan (XV: XXX).

Melukis hatimu lewat lambaian dan penantian tak jelas
seperti asap cerobong (XV: XXXI).

Kebaharuanmu melesat, meruh dalam dada mereka (XV: XXXII).

Di batas kota terasa hawa lain, sejauh bayangan mengendap kantukmu,
belaian bayu kasih melelapkan kekasih pada mimpi permaisuri (XV: XXXIII).

Sempurnakan dirimu mengepak sayap kekupu dalam ingatan selalu,
deras hujan pertama menyegarkan kenang mengikuti lamunan (XV: XXXIV)

; kecantikan cermin di ruang harum, lalu tubuh rebah
setelah jendela tertutup kabut selimut pecinta (XV: XXXV).

Di pendapa, getar sukma bergema atas restu langitan,
ia duduk pada singgahsana perhatian rasa bersatu (XV: XXXVI).

Kejadian ini terbesar, penunggang kuda terbang bersayap,
kibasan kabut kedewasaan menaiki gunung kejiwaan (XV: XXXVII).

Ini ruh agung menggeraikan seluruh daya keinginan, angin faham
perjalanan nalar menyetiai diri, nafas-nafas lekat pengalaman (XV: XXXVIII).

Merangkai usia tidak meletihkan pemberi hadiah,
itu pangeran di sisi sekuntum mawar tercinta (XV: XXXIX)

; terketuk pintu nuraninya menembangkan ayat-ayat lambaian senja, kala
beranjak malam ke pembaring ilalang, selamatkan rindu purnakan siang (XV: XL).

Kantuk merubah hasrat, mempertahankan malam sisa tenaga (XV: XLI).

Jagalah warna pelangi, agar tidak pudar hembusan angin sepoi (XV: XLII).

Pejamkan matamu berkesungguhan, menyempatkan sadar kantukmu
membaca dengan perasaan lapar (XV: XLIII).

Kau eja tubuh sendiri berulang mencari kepuasaan rendah (XV: XLIV).

Carilah dirimu pada kulit pohon hujan di terik mentari musim dahaga,
irama tropis memberi ketenangan lewat tidur lama-lama,
ini kembang lebih sekadar impian pencerita (XV: XLV).

Kuasailah panggung, bakar kepulauan dendam serta genggam alunannya,
bilamana tak berubah, suaranya memasuki lapisan langit pertama (XV: XLVI).

Segelas kohwa tak lagi menenangkan fikiran
ketika tarian api menjilati malam-malam di panggung rembulan (XV: XLVII).

Sebelum terkumpul tulang belulang,
ruh ditiup sedari kandungan tempaan langitan (XV: XLVIII).

Gairah pejaka menjebol kebekuan, tertatih memikul rindu mendaki,
menyeret rantai kaki, meminta tolong dikejar bayangan sendiri (XV: XLIX).

Ia taburkan bebijian cahaya di kepalamu, membimbing bagai anak sendiri,
yang tidak membaca lumpuh, ditemani tikar pesakitan hingga ajal menjelang
; jemari siapa yang menaruh butiran embun suci di kening tercinta? (XV: L).

Pepohon kering dilanda kemarau, kekupu mencecap madu kembang,
burung berayun di tangkai lentur, kicauannya gubahan mimpi sejati (XV: LI).

Kepakan sayapnya mengeja purnama,
merayakan perkawinan semesta atas restu ibunda pertiwi (XV: LII).

Kekal di mayapada, kau terpanggil datang benar jiwamu
terkumpul tenaga persetubuhan tersenyum berkecupan (XV: LIII).

Ditiup terjaga, kunjungannya menyuguhkan kekekalan (XV: LIV).

Jikalau di ambang maut teguhkan dirimu,
tidakkah bunga menawan di tepian jurang? (XV: LV).

Biji cabe jiwanya pedas, meski kering atas kekangan tirakat (XV: LVI).

Samudra menenggelamkan sampan diri punya rencana,
tubuh berpelukan debu, terdampar (XV: LVII).

Mengunjungi keharuman melewati ruang puja,
terimalah senyum menyapa kasih senantiasa (XV: LVIII).

Melepaskan rantai kaki, terbang cepat melebihi pendahulu,
hawa keikhlasan terawat, sejauh tak terbebani rindu terlalu (XV: LIX).

Jikalau ada mengikuti, ringan penderitaan mendengar kata-kata,
jadilah pengikut setia, jangan berhianat sebanding nyala apimu (XV: LX).

Terangnya kobaran perjuangan menjadi senyum memahami kejujuran,
gemintang di cakrawala membiru ruh yang akan melahirkanmu (XV: LXI).

Masa berjalan sederhana, tali-temali dilonggarkan,
jemari tiada bergairah memikat kertas, namun bacalah seterusnya (XV: LXII).

Guratan pena kepadamu mendorong kabut memburu bayu, perahu melaju
serupa lesatan busur panah ke sasaran, di depanmu ranting menodong (XV: LXIII).

Batu sebesar kerbau terjatuh dari bibir jurang, air sungai terpecahkan
pada titik kesadaran, mengeratkan tulang di balik daging pertemuan (XV: LXIV).

Lelangkah melewati keriuh-rendahan tebing sukmamu
menuju pebukitan barisan yang menguji kaki-kakimu (XV: LXV).

Di puncak bukit kiranya angin kaca menerpa jubah ketakutanmu dari
segala penjuru, mata-mata sedingin maut bersiap menjemputmu (XV: LXVI).

Yang berpuasa diam, jiwanya embun memanggil-manggil,
kelak mempersembahkan kelopak-kelopak kembang (XV: LXVII).

Wahai embun persetubuhan, letikkan matamu di kerajaan cahaya,
ia penebus kesetiaan berlaksa, mengunjungi kesunyian rasa (XV: LXVIII).

Siapa berhasrat meneguk niat membimbing cahaya rasa,
menggubah kidungan langit demi peribadatan,
tapi mereka enggan penasaran (XV: LXIX).

Bersulaman waktu mengisi keluh, tak perlu keterasingan di ruang tunggu,
jadikan terali besi pembebas kasih mematikan, racunnya berkeutamaan (XV: LXX).

Yang mati berkeadaan penasaran, serupa burung bangkai mencincang
membuka ruh menelusup urat nadi, mengalirkan darah kembali (XV: LXXI).

Dia bumi kau hujamkan tetangkai kembang, nafas angin mengeja langitan
para penyair tertikam sunyi, tangisan sesal mencengkeram uluh hati (XV: LXXII).

Ada jalan terduga, kematian sebab kesepakatan singkat, tetangkai patah,
duri menggores kulit, darah membeku memendam cahaya tabah (XV: LXXIII).

Ini getar jiwa mengarungi mimpi, belahan tenaga mengunjungi bengi,
bintang-gemintang tereja pandangan keteduhan yang sejati (XV: LXXIV).

Berjalan menuju lereng pebukitan cinta, kaki-kaki lincah
sebebas udara mengenal akrab warna dedaun bercahaya (XV: LXXV).

Yang sanggup membuka gerbang dihirupnya rindu pada selipan doa,
malam mengangkat kabut berharap butir embun utuh di tangan (XV: LXXVI).

Ia tiba-tiba datang menggedor pintu paling rahasia
pada rumah tua ditumbuhi sarang laba-laba (XV: LXXVII)

; sepenuh debu purba di keningmu tergaris sesalan, maka songsonglah
daging mengalirkan darah muda, demi ruang gejolak api jiwa (XV: LXXVIII).

Meniti ondak-ondakan gelombang ke tingkatan awan senjamu,
mendorong bentukan diri sealunan pebukitan melestari (XV: LXXIX).

Kapuk randu menuwai usia mengikuti angin bersinggah,
derajat ini kasih menambatkan tali-temali kuda pecinta (XV: LXXX).

Ayunan tangkai teratai memekarkan kelopaknya di rawa-rawa,
sedang lentera pejala ikan, menerangi sejauh lemparan (XV: LXXXI).

Embun berdenting sepetikan dawai dalam lelaguan damai,
mula hasrat, lalu pertemuan menggubah semangat (XV: LXXXII).

Panggilan penunggang kuda mendatangkan badai hujan deras menghalangi,
hanya kekasih tahu waktunya redah, merebahkan pandangan (XV: LXXXIII).

Asalnya dibalik gemawan mengendap di langit biru, iman tidak lepas
panasnya bara tungku, keikhlasan serupa anggur paling suci (XV: LXXXIV).

Ingatannya membumbung meninggalkan tahta mentari, batu hitam terbelah
atas cahaya keyakinan, inikah peperangan terbesar itu? (XV: LXXXV).

Pada bukit kapur, kabut turun menenggelamkan perasaan,
batasnya di tenggorokan (XV: LXXXVI).

Kenapa kalian dalam persekutuan sesat,
melukis sepekat arak-arakan burung gagak? (XV: LXXXVII).

Kilatan petir menderaskan gerimis memanggil kawanan bangau,
dan tiada lagi kebimbangan mencuat dari ubun-ubun (XV: LXXXVIII).

Ruh lama menggugat, nafas-nafas kesembuhan diapungkan (XV: LXXXIX).

Tangkaplah suara jejaring laba-laba, perdengarkan gemerisik hembusan
bayu kepadamu, sedang kekupu itu rengkuhan musim bunga tubuh (XV: XC).

Melewati pori-pori udara, kau dibimbing menerbangkan kuda sembrani
sejauh kakimu kuat mengapit, aromanya tak lepas tombak peperangan (XV: XCI).

Lengan cekatan mengayun semangat, dentuman genta menggendam
menuwai awan kerajaan angin, tempat muasal berita kemenjadian (XV: XCII).

Yang tak ingin cepat tua jadilah mengembara, menerjang kebajikan,
panahmu membidik apel, atau sebilah pisau mengupas kulitnya
yang cepat kering walau masa tak memaksa (XV: XCIII).
—-

*) Pengelana dari Lamongan, JaTim.

Leave a Reply

Bahasa »