Revolusi Nasional dan Sastra Indonesia

Max Lane*
Sumber, http://www.sinarharapan.co.id/

Bukan hanya dalam bidang ekonomi Orde Baru menjeremuskan Indonesia ke dalam situasi nation-surrendering dan bukan nation-building. Ini juga terjadi di dalam bidang kebudayaan. Adalah sebuah kenyataan bahwa di sekolah-sekolah negeri Indonesia, sastra dan kebudayaan Indonesia, yaitu sastra dan kebudayaan hasil proses revolusi nasional, banyak diabaikan. Karya-karya sastra yang menjadi bahan pelajaran biasanya berhenti sampai Chairil Anwar.

Sedikit sekali, bahkan hampir tidak ada khazanah sastra revolusi nasional dipelajari dari periode sesudah tahun 1949. Perkembangan dan pergulatan sastra selama kurun 1950-1965 hilang dari dunia pelajaran di sekolah maupun di kurikulum-kurikulum universitas. Yang sangat jelas ialah bahwa dalam spektrum perkembangan sastra dan budaya aliran Soekarnois dan alirian radikal kiri hilang sama sekali. Dan memang hilang ? bukan tetap dipelajari dan kemudian dikritisi melalui paradigma Orde Baru. Bukan. Hilang. Tidak diterbitkan, tidak dijual. Tidak dibaca.

Sitor Situmorang dan Pramoedya Ananta Toer, misalnya, hilang dari dunia bacaan selama Orde Baru ? dan banyak lagi.
Yang lebih mengagetkan lagi ialah bahwa tulisan-tulisan Soekarno sendiri, yang merupakan sastra politik yang sangat bernilai tidak dipelajari ? sampai sekarang. Sering baru-baru ini, menjelang 17 Agustus, saya bertanya pada mahasiswa atau mantan mahasiswa: tulisan mana dari Soekarno yang sudah Anda baca? Jawabannya dalam 99% kasus ialah: belum pernah membaca sebuah tulisan apa pun. Nasionalisme, Islam dan Marxisme ? Belum. Indonesia Menggugat ? Belum. Di perpustakaan sekolah tidak ada. Di perpustakaan universitas juga tidak ada. Memang dilarang, sehingga hilang.

Dengan larangan-larangan seperti ini, bukan hanya aliran kiri yang tertindas sampai hilang. Tetapi sejarah itu sendiri dihilangkan. Siapa yang masih membaca tulisan Bung Hatta, Mohammed Natsir dan lain-lain. Siapa yang bisa mengerti kedudukan pikiran Natsir, Hatta, Sutan Syahrir dan lain-lain, kalau pertarungan antar-ide juga tidak diikuti.

Dan dengan sejarah yang hilang, 17 Agustus juga hilang: pencapaian revolusi nasional dalam bidang sastra dan politik dimatikan.
Sebenarnya proses menghilangkan sebuah bagian dari warisan khazanah sastra revolusi nasional bukan saja berlaku untuk periode revolusi nasional dan nation-building 1950-1965. Apakah karya sastra Mas Marko atau Haji Misbach masuk dalam mata pelajaran sastra dan sejarah Indonesia, sastra revolusi nasional dari periode perlawanan terhadap kolonialisme.

Tetapi sangat sulit mematikan dinamika budaya sebuah masyarakat secara total. Orde Baru, yang memukul mundur revolusi nasional dengan penindasannya terhadap unsur ?merdeka? dalam Indonesia Merdeka, juga merangsang perlawanan. Banyak contohnya. Penyanyi-penyanyi pengamen yang mempertahankan kemampuan sindiran, begitu juga dalang-dalang pembangkang yang masih mau mempersembahkan lakon-lakon wayang Wisanggeni, misalnya. Atau pelawak-pelawak ludruk penyindir, dan seniman-seniman rakyat sejenisnya yang tak pernah bisa dibisukan.

Di dunia sastra sendiri ada cukup banyak penyair dan novelis yang menyumbang ke khazanah sastra Indonesia selama Orde Baru. Tetapi tidak banyak berperan mempertahankan dinamika revolusi nasional. Sebagian besar mengakomodasi diri dengan situasi atau menyelipkan sindirian dan kritiknya di dalam karyanya, sehingga tak terlalu terasa ada dinamika perlawanan demi kemerdekaan.

Situasi ini terus berlangsung sampai tahun 1990-an. Dalam tahun 1990-an perlawanan terhadap Orde Baru semakin meningkat dan mulai juga banyak seniman angkat suara: Wiji Thukul, penyair yang hilang dari muka bumi sangat mencurigakan bahwa dia adalah korban penindasan politik; Teater Koma, dan banyak lainnya, termasuk Harry Rusli dan pelawak-pelawak penyindir lain yang kaya akan nilai budayanya.

Dalam tahun 1970-an dan 1980-an dimana perlawanan belum bangkit terdapat dua nama yang menonjol: W.S. Rendra dan Pramoedya Ananta Toer. Mereka adalah dua orang seniman dari aliran dan perspektif politik yang berbeda, tetapi kedua-duanya berjasa besar dalam mempertahankan keberlangsungan semangat demokrasi dan kerakyatan revolusi nasional Indonesia.

W.S. Rendra mempelopori perlawanan budaya terhadap kediktatoran Orde Baru pada tahun 1970-an. Sandiwara-sandiwaranya, seperti Mastadon dan Kondor dan Kisah Perjuangan Suku Naga, merupakan manifesto budaya politik melawan kediktatoran dan kertergantungan pada kapitalisme Barat. Sajak-sajaknya di dalam Pamflet Penyair merupakan pamflet perlawanan yang tajam sekaligus indah dan penuh dengan jiwa solidaritas kerakyatan.

Ketika pulang dari kamp pembuangannya di Pulau Buru, karya-karya roman sejarah Pramoedya diterbitkan oleh penerbit dan editor Yusuf Isak dan almarhum Hasyim Rahman. Penerbitan buku-buku karya Pulau Buru itu sendiri merupakan tindakan membangun kembali kontinuitas semangat revolusi nasional sekaligus tindakan perlawanan dalam bidang kebudayaan. Tetapi bukan saja itu, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca memberi sumbangan besar pada pengertian masyarakat Indonesia akan asal-usal revolusi nasional Indonesia, pada zaman ketika istilah Indonesia itu sendiri belum ditemukan.

Di zaman kolonial, pihak penjajah kolonialis Belanda menolak membangun infrastruktur pendidikan dan kebudayaan yang bisa menyumbang pada proses awal nation-building. Kaum pergerakan perlawanan membangun sebuah gerakan: gerakan sekolah liar. Dimana-mana aktivis-aktivis anti-kolonial mendirikan sekolah di luar pengawasan negara kolonialis, dengan kurikulum sendiri, yang sesuai dengan kebutuhan revolusi nasional dengan tujuan mendirikan Indonesia.

Sekarang Indonesia sudah merdeka. Setiap tanggal 17 Agustus, semua rakyat Indonesia dan pencinta bangsa Indonesia lainnya akan memperingati kemenangan kemerdekaan itu. Sekarang gerakan sekolah liar tidak perlu. Sudah ada sistem sekolah nasional yang seharusnya bisa memperkuat proses penuntasan revolusi nasional Indonesia, proses penuntasan nation-building Indonesia. Ini berarti merombak kurikulum dan isi pengajaran sekolah Indonesia.

Jadi masih juga dibutuhkan sebuah gerakan budaya nasional baru. Tentu saja ada banyak orang dari berbagai sektor masyarakat yang akan punya ide tentang perombakan yang perlu diadakan. Sejarah Indonesia sendiri sudah mulai mengeluarkan kritik-kritiknya. Pasti kaum guru sendiri akan punya banyak ide.

Sebagai Indonesianis yang juga ingin sekali melihat warisan khazanah sastra Indonesia berkembang kembali, saya juga punya usul. Pertama, semua sastra perlawanan selama Orde Baru harus dimasukkan ke dalam bacaan wajib sekolah-sekolah menengah di Indonesia. Wiji Thukul, misalnya. Apalagi karya-karya sandiwara dan sajak Rendra, dramawan dan penyair Indonesia yang menonjol dalam bidangnya, yang seharusnya dibaca juga oleh setiap murid sekolah.

Mungkin yang paling kontroversial ialah usul untuk memasukkan karya sastra Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer ke dalam daftar bacaan wajib sekolah negeri. Buku ini pernah dilarang dan dituduh dan dituding segala rupa, sesuai dengan perbendaharaan kata propaganda hitam Orde Baru. Tetapi sebenarnya ini pun seharusnya tidak kontroversial. Justru aneh sekali bahwa karya Pramoedya tidak masuk kurikulum sekolah negeri. Anak-anak Indonesia di sekolah-sekolah tidak diberi kesempatan membaca karya Pramoedya adalah sama dengan jikalau anak-anak Amerika tidak diberi kesempatan membaca Steinbeck atau anak-anak di Inggris tidak diberi kesempatan mambaca Charles Dickens.

Pemerintah sudah memerintahkan Kementerian Pendidikan mempersiapkan kurikulum baru buat sekolah-sekolah. Apakah Dibawah Bendera Revolusi karya Soekarno; Pamflet Penyair, Rendra; Hanya ada satu kata: lawan, Wiji Thukul dan Bumi Manusia oleh Pramoedya masuk dalam bacaan wajib di zaman baru ini?
————————

*) Penulis adalah seorang Indonesianis pada Centre for Asia Pacific Social Transformation Studies, University of Wollongong, Australia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *