SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII

Siang Tubuh Malam Jiwanya
Judul: Siang Tubuh Malam Jiwanya
(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Siang Tubuh Malam Jiwanya” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper
Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=203

Setelah terhenti, dunia baru terlahir, wewarna bunga-bunga bermekaran
dicahayai langit, merangkum kelopak malam-siang silih berganti (XVI: I).

Di mana mencapai kutub menguasai kasih manunggal,
suratan takdir iramanya kata-kata bernada nasib, yang digubah atas
kidungan moyang, dari tirakat pujangga bertujuan mulia (XVI: II).

Ia kembala saat pelangi berpendaran merayu insan setia
diberi kemudahan segar, warna cahayanya atas mentari (XVI: III).

Ucapannya berasal rongga dada akan air merayap di tenggorokan sukma,
kemantapan buyung dipanggul di pinggul gadis, dan airnya bergoyangan
ketika melangkahkan kaki sedari sungai kemakmuran (XVI: IV).

Ia mengusung keajaiban, pencari bertemu tiada lupa,
jujur mengelupas kulit-kulit pepohonan rahasia rasa (XVI: V).

Para lelaki beradu rimba nasibnya, siapa sangka besi
sanggup terbang? Batu mengapung? Kayu bertenggelam? (XVI: VI).

Sudah menjadi kebiasaan, sekarang lupa sanak-kadang,
menuntut ilmu ke negeri jauh melalaikan pegangan (XVI: VII).

Niatan kencang diayun khilaf dari lahir menuju kematian,
sayang, yang didamba secuil kesenangan (XVI: VIII).

Pitutur ini penggalian diri bukan berasal guru bakal dilupa,
kesadaran bijak seiring matang bebiji merunduk mesra,
serupa ruh padi terkulai ikhlas berisikan nilai (XVI: IX).

Usah khawatir waktu tentunya memberi telempap, segala terlewati menjadi
pelajaran, jangan merugi sebelum menang dari ikhtiar tanpa sesalan (XVI: X).

Jangan terlalu risau mengenai hidup, sebab insan di hadapan semua sama
mendekati kemuliaan, padanan debu Adam berpisah sebelum berjumpa (XVI: XI).

Sesuap nasi liwet seteguk air terasa, tuhan memanjangkan umur kembara
dari ibunda menjangkau ruh tangisan doa, seharga pahit empedu kecewa (XVI: XII).

Sepotong roti di meja, pengemis datang padamu bermata cekung menatap,
getar tubuh menyunggi, hanya iman kuatkan jalan ke taman kerelaan (XVI: XIII).

Suci seimbang pundak bukit lestari di kaki-kaki langit,
tersebab tangisan bayi sanggup menunda bencana (XVI: XIV).

Derita menambah timbangan, berhamburan hawa menutupi cermin hatimu,
perlu kesadaran, tidak hilang pun kurang, selebihnya milikmu diketahui (XVI: XV).

Otak bernalar meremehkan sangatlah tercela dalam penciptaan, maka
rawatlah keindahan dengan melewati daya singgah penyesalan (XVI: XVI).

Pertemuan tiada terkira dijalankan,
seumpama pedagang berhitung ikhtiar sebelum selidiki peluang (XVI: XVII).

Embun meresapi dedaun berasal dentingan perhatian,
kecantikan bumi di antara jagad ayu (XVI: XVIII).

Merangkum impian serupa jaring laba-laba rapuh kesombongan (XVI: XIX).

Manusia mengumpulkan puing kesadaran pagi memaknai hayat
demi pergantian musim dedaun gugur menguncup sunyi (XVI: XX).

Cepat-lambat kehendak menyampaikan asal niat, tubuh sungai
terlentang memuara, malam-siang pertukaran warna busana (XVI: XXI).

Yang sepi tak selamanya tiada, gua menyembunyikan wewarna dan bunyi
dikubur waktu terawat sunyap, sedang kalian hanya menambah-tanya (XVI: XXII).

Perasaan jernih kebaikan patut ditular, dan pohon itu tersanjung oleh
buahnya, yang terjatuh mengikuti arus sungai pencarian (XVI: XXIII).

Ia tuangkan anggur kepastian, lautan berpenghuni perbendaharaan
dan pengetahuan itu, sepercik cahaya lintang pada gelombang (XVI: XXIV).

Yang buta membutuhkan tongkat, yang kehujanan perlu peneduh,
dalam permainan tiada patut mengeluh-mengadu berbenci diri (XVI: XXV).

Gejolak kadang tenang menyungai, bebas berlari sejauh cintamu
berbeban rindu bertalu, dan cemburumu setebal menggebu (XVI: XXVI).

Ia membuka pagar lebar-lebar kala kau menapaki ke petamanan,
pujian seampas manisan, menjemput hiburan berunjung (XVI: XXVII).

Kau cemooh penganutnya pengangguran, dan menikmati
badai persekutuan, merasa kesenanganmu terancam (XVI: XXVIII).

Ia tidak menyukai merayu lewat ancaman, kenapa musti ketakutan?
Tersebab bodoh, geram tidak sanggup mengelaknya (XVI: XXIX).

Insan terancam lagi dungu, tertawa bergandeng pekabutan,
karena hanya genggam kata-kata kosong belaka (XVI: XXX).

Para pengarang yang sanggup melawan birahinya,
meneguk mataair abadi tanpa seteru waktu (XVI: XXXI).

Bulir-bulir mutiara di antara bebatuan kerikil, siapa cemburu akan itu?
Yang berdialog sendiri memiliki kebaikan, menyelinapkan keyakinan dalam hati,
mengawasi kesadaran atas tipu daya persekutuan (XVI: XXXII).

Langit bertingkat bintang-gemintang kuasa tuhan, yang beredar
dicipta musuh peperangan, kehancuran batu berdebu (XVI: XXXIII).

Insan utama laksana embun dedaun, kasihnya penerimaan
sekaligus kesadaran penyangkalan tulang rusuk (XVI: XXXIV).

Adakah lebih menarik dari itu? Kemarahan menjatuhkan diri
ke dasar kehinaan, atas mimpinya melewati dusun terasing (XVI: XXXV).

Ini cermin langka kembara, esok terkuak pada siang melesat (XVI: XXXVI).

Kenapa dikuasai mimpi? Apa merasai tanpa pedulikan diri? (XVI: XXXVII).

Mencipta rahasia dicintai, akan tahu banyak tentang kekasih,
yang menjauh merasa pintar, sewaktu dekat kebodohannya terlihat (XVI: XXXVIII).

Keabadian tembang pujian terkandung dalam perut kesemestaan,
pengetahuanmu memahami gairah bimbang menempa (XVI: XXXIX).

Terkadang dilebihkan mempelajari keberanian berbuncang,
mengarungi keterikatan membeletat sangkar langitan (XVI: XL).

Lama merawat panjang rambutnya, menghidupkan ruh membangkitkan jiwa
ialah sang putra mahkota kegelisahan, berkekasih belumlah matang (XVI: XLI).

Jemari tangan menggapai kabut, mengumbar kesenangan,
dirinya bergentayangan pilu Merbabu, berlalu tanpa teman (XVI: XLII).

Telinga pendendam tersumbat kobaran api unggun tak peduli kepulan,
kelelawar menyerbu senjakala, mencicipi buah bulan sekarat (XVI: XLIII).

Siapa menari dalam pesta menghampiri matahari atas ilalang
pada pantai pengharapan serupa ombak ditumpahkan (XVI: XLIV).

Melangkah ragu keluar gapura, ucapkan salam perpisahan meski sesaat,
bintang-gemintang menghibur tiada cukup menemani kasih damai (XVI: XLV).

Saat tanggalkan satu-persatu keheningan, mata tiada sesal berulang menuruni
waktu luka dada, bumi-langit fajar nyalang terlunta mencari hikmah (XVI: XLVI).

Ke selatan lautan mendidih, ke utara gunung memuntahkan lahar,
ke barat ilalang terbakar halilintar, ke timur menuju jurang (XVI: XLVII).

Segerombol awan menghilangkan hari-hari kebosanan, telinga dihuni pekat,
terus ke mana kebekuan tinta sebelum lanjut bicara? (XVI: XLVIII).

Ketika temukan ruang lupa terlupa, air merangkak di tenggorokan siapa?
Mari menemani kekasih menuntun laku secepat kembalikan dirimu (XVI: XLIX).

Bukankah gulungan ombak tidak menguras lautan? Terimalah
kemalangan tenggelam, jikalau tubuh mati menjelma karang (XVI: L).

Ia merawat tapi kalian mengabaikan,
seolah tak pernah bernafas angin ketertinggalan (XVI: LI).

Sempatkan waktumu merenung di kedung, mata dipaksa,
telinga tuli keburukan, bacalah gelisahmu teramat ganjil (XVI: LII).

Sebongkah batu menggelinding pecah rompal berhamburan,
ada ruang di batas biru merentang keyakinan, tersiarkan wengi terjaga,
mengintai angin menyisir embun membasuh wajah pagi (XVI: LIII).

Yang memastikan tirakat tak berguna ragu kesendirian berbicara,
di masa tak mengenali serupa kemungkinan tiada terjadi (XVI: LIV).

Suwong? Hanya kejernihan hati berpandangan, menggaris tongkat
di pantai merasai butiran garam, kabut singkup senyawa senyumanmu
pada bulir-bulir pasir perasaan lautan (XVI: LV).

Terkantuk hilang sesaat, sukma tetesan air memahat batuan nisan,
tersandang pecinta lelap terbuai, kesunyian bukanlah tiada (XVI: LVI).

Teguklah air tawar mengusir kering dahaga
demi menguap tekanan malam paling cemas (XVI: LVII).

Mengajak cakrawala bincang, mula gelisah lalu kelegaan terasa,
segera tercurah kesetiaan suci dari debu keinginan purba (XVI: LVIII).

Kabut menjelajahi kerajaan langit, menakala tertidur
bermimpi dibangunkan, maka carilah dalam diri! (XVI: LIX).

Malam berbunga mewangi dan bayu berkabar kemasyhuran,
ia mematangkan waktu terus mengarus pengentasan (XVI: LX).

Daya letih meruh menyebarkan debu jiwa beterbangan,
lenyap sudah atas cahaya gapura terbuka lebar (XVI: LXI).

Siang tubuh malam jiwanya, persetubuhan bocah sembari tanah lempung
yang menggelinding sebesar hasrat menuntaskan langkah-langkah (XVI: LXII).

Dedaunan gugur ke pangkuan sungai mencipta ombak, dia mengikuti,
kau tak sabar menanti, olehnya kau sebut kesiaan padahal berisi (XVI: LXIII).

Tak urung kekupu berkecup di pipi sungai, kau fikiran paling dalam,
melayang berkendara bayu tiada kuasa hari-hari dibasahi pagi (XVI: LXIV).

Meronta api hidupmu menari di depan gua kesaksian bernyanyi,
menggiring pada upacara puja, kabut berawan menurunkan hujan (XVI: LXV).

Bacalah petir bersahut kilatan cahaya membelah kulit malam,
hanguskan bebunga getaran dingin-panas mencekam (XVI: LXVI)

; pujangga terlahir berselubung sekar meninggalkan tangkai,
nyanyian angin berdendang ombak melintasi ingatan (XVI: LXVII).

Hampir urat lehermu patah, dahan diterjang topan amarah,
akar-akaran tercerabut, pohon tumbang terkubur dendam (XVI: LXVIII)

; dayadinaya menarik langit ke belahan bumi, secepat terang menggelinding,
bersandar di bawah pohon buah mulia yang tangkainya terpelihara ( XVI: LXIX).

Kesetiaan kelopak kembang bersimpan makna, pada gilirannya sungai
letih merangkak ke tanah, kemarau meninggikan drajat mataair (XVI: LXX).

Tubuh cucuran keringat menebarkan garam, tak habis dikibas bayu lembah,
bukankah pohon jati dikokohkan musim kemarau? (XVI: LXXI).

Panas lahar getaran gersang, seluruh daya tersengat mentari
dan burung gagak di saat senjakala pulang ke sarang mega (XVI: LXXII).

Asap pekat menguasai pandangan, terhuyung derita busur panah,
luka cecerkan darah disapu belerang, tubuh tersungkur hilang kejadian
meninggalkan, maka kemendadakan kudu dikuasai (XVI: LXXIII).

Nasib tak terelak menggaris peta,
hantu berkelana bimbang putus asa (XVI: LXXIV).

Laksana para pemberani mendobrak pintu-pintu langit,
awan bertangga dan segenggam keyakinan dalam dada (XVI: LXXV).

Ternyata ada banyak hal selesai bercermin, setelah menyisir rambut
yang terurai panjang menemui kesabaran (XVI: LXXVI)

; tubuh meruang embun sedingin mematangkan diri (XVI: LXXVII).

Yang lelaku sekali ucap jemarinya menyungai
sebiji-biji jagung diserah petani (XVI: LXXVIII).

Ini gemuruh dada pemahat cemas di balik pisau meruncing,
pepintu daun jendela muda membuka rumput gembala (XVI: LXXIX).

Tiada pendapat terhenti kekasih, lengkungan pelangi
bergerak demi arus rindu perjuangan menemui juntrung (XVI: LXXX).

Hanya kayu penggalan pedang keheningan semata
melepaskan kefahaman, dan tubuh mengikuti awan gugur (XVI: LXXXI)

; daun-daun keemasan, dahan ke ruang sunyi menjelma unggun
menerangi mata kesaksian, sedang penjaga menumbuk lumbung padi
dari sisa-sisa pencarian malam (XVI: LXXXII).

Rukuklah sembahyang, sayap-sayap membentangi lautan
dalam galaksi gagasan do’a berlembing usia (XVI: LXXXIII).

Melesatnya penyadaran menyambar nurani kekasih,
pada tiap tungku asmara ada kantong nyawa (XVI: LXXXIV).

Kupaslah jagung dipersembahkan butiran puja,
ditebarkan di altar wangi tengah malam, berjanji melepaskan duka
usia tubuh berdebu, tiada lagi kulit lusuh menemui ajal (XVI: LXXXV).

Kegilaan mencari keutuhan waktu, setebasan samurai membabat hujan
memabukkan jiwa di panggung mencekam (XVI: LXXXVI).

Mimpi mendamaikan gerimis, kau lunglai di kanvas langit
dalam cahaya matahari berbingkai renungan (XVI: LXXXVII).

Pusaran gelisahmu pudar di puncak waktu, langit terlewati tujuh pintu
misteri, tirai kalbu tersapu bayu-hujan pagi, melepaskan putih salju turun ke wajah
menentramkan mentari dalam pelukan teluk pesonamu (XVI: LXXXVIII).

Sewaktu lahir mengisi keluh, warna-warna ditimbang, insan setahan karang
cadas, sedang ombak memberontak membentuk keyakinan (XVI: LXXXIX).

Kelopak melati menebarkan untaian makna memecah ketinggian hening
menuruni nasib, burung-burung ngelayap, sayapnya disedot rebana cinta (XVI: XC).

Kasihmu tunggang-langgang disabda badai, sejauh benang mengurai
kepergiamu, jangan lebihkan masa penangguhan, tidak disangka
dalam genggaman tangannya bersimpan logam mulia (XVI: XCI).

Seputih kejujuran kertas pada pantai para penyair, pengorbanannya
menyembul keluar, memberi lapar pagi bagi pejalan kaki berwajah batu (XVI: XCII).

Para peminta diberi pintu kabut, ketuklah bathinnya berhembusan bayu,
agar anggrek terkalungkan pada lehernya, menarik nafas pelahan (XVI: XCIII).

Kepada tapakan pulang, pepucuk cemara ditarik angin berulang,
lambung kembara mendentang, menempuh masa kelesuan (XVI: XCIV).

Meminum air terjun sakitnya berkeringat dendam,
sedari pendakian gunung masa kelam (XVI: XCV).

Waktu terselip di jemari, menyibak ilalang memeluk senjakala,
bunga renungan di ufuk penyadaran meneguk niatan (XVI: XCVI).

Di antara gemah gemerlap malam, kerlingan doa atas tarian memuncak,
berasal paletmu berlatih sketsa (XVI: XCVII).

Sebelum kuas di kanvas mengalirkan rindu, kau terpanggil mendapati
prahara cermin, andai racunmu menebarkan duka lain (XVI: XCVIII).

Dalam pedati penyesalan menuju akhir,
tertimpa putus-asa atas ketinggian penciptaan (XVI: XCIX).

Hawa pagi mengharap riuh pasar terjaga angin keprasahajaan,
mata merangsek beling, terpantul kangen embun dedaun (XVI: C).

Lentik jemari penari tebarkan pesona di lekuk kelembutan
kembang, yang bersimpan kilatan pedang pemikiran (XVI: CI).

Di tengah siang, warna hening langit berawan kembara,
seekor burung terbang ke arah timur bersayap malam (XVI: CII)

; kekasihnya menanti pekik panggilan,
kala terpetik kasih digayuh kalbu sayang (XVI: CIII).

Menggapai lembah, pesawahanmu mengantar bau pepadian,
harum kearifan ditarik berulang para pencari keutamaan (XVI: CIV).

Hasrat sambilalumu gelayutan di jendela bayu tamparan waktu,
kalbu diperoleh gemintang di malam-malam sahaja (XVI: CV).

Tertangkap alunan membalik manunggal,
mengelus kulit perasaan bergetaran ketakutan (XVI: CVI).

Wabah penyakit menghilang, sembuh jikalau
meminum empedu ialah para lelaki di dunianya (XVI: CVII).

Habis ocehan-umpatan tersebab mulutnya dikesalkan demam,
ia mempunya kisah meredam amarah sebening telaga jiwa (XVI: CVIII).

Cukupkan agar tak terbebani rugi dalam pertaubatan,
menyetujui lahir keterbatasan, merakit reranting jaman (XVI: CIX).

Senyum manis tertangkap bibir merekah, menghapus keraguanmu
melipat angan menemukan cahaya kepada reruntuhan malam (XVI: CX)

; mengisi usia kenangan, seumpama sungai mengaliri kerikil (XVI: CXI).

Memanggil ruh melepaskan semu diserah, menambah pedas matamu
diteruskan merompalkan dada, jantung terjal bunga karang pecah (XVI: CXII).

Ia kau pandang lelaki berlari,
manakala bulan di sampingmu memaknai bijian gemintang (XVI: CXIII).
—-

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *