Fahrudin Nasrulloh
Suara Merdeka, 15 Juli 2007
Salah satu keistimewaan ketika mengunjungi Yogya adalah menelisik toko-toko buku yang tersebar di sejumlah tempat. Ada T.B. Social Agency, T.B. Diskon Toga Mas, T.B. Tiga Serangkai, T.B. Gramedia dan komplek toko buku Taman Pintar yang bersebelahan dengan Taman Budaya dan benteng Vredeberg, dan lain-lain. Namun sekarang untuk mencari buku-buku lawas susah sudah, bahkan nyaris nggak ada. Tahun 1970-an hingga 1980-an, menurut berbagai sumber, masih banyak dijumpai buku-buku lawas yang bermutu.
Yang saya maksud dengan buku lawas (dalam arti spesifik bisa berati buku kuno, seperti naskah-naskah serat atau babad) adalah buku yang sudah tidak diterbitkan dalam jangka waktu lama oleh sejumlah penerbit tertentu. Karena itu, buku lawas dapat dikategorikan dalam empat jenis. Pertama, buku lawas umum (meliputi buku filsafat, sastra Indonesia dan Barat, psikologi, dan lain-lain). Buku lawas filsafat Barat seperti Meditation karya Rene Descartes, atau Suluk Awang-awung (antologi puisi) karya Kuntowijoyo, sudah hampir tidak ada. Saya pernah dapat satu karya Salman Rushdie, The Satanic Verses (Viking Penguin Inc., 1988). Semula si penjual mematok harga 250 ribu, tapi saya bisa membelinya dengan harga 50 ribu. Juga Tatanegara Majapahit (Yayasan Prapantja: Jakarta, 1962) karya Muhammad Yamin. Buku ini terdiri dari 7 jilid — yang konon seharga 300-an ribu — sudah sulit dilacak. Meski sebagian kecil buku-buku semacam ini mungkin terdapat di perpustakaan, semisal di perpustakaan Kolese Ignatius di Kota Baru yang, kabarnya, koleksi bukunya terbilang lengkap. Tapi jangan terlalu banyak berharap.
Kedua, buku lawas cerita silat dan komik. Buku cerita silat (cersil) semisal karya-karya S.H. Mintardja sudah sulit dicari. Ada sekitar belasan judul cersilnya. Kebanyakan dari karyanya pernah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, seperti Nagasasra Sabuk Inten. Karya ini sekarang telah diterbitkan oleh koran tersebut sebanyak 3 jilid (satu jilid seharga 100 ribu). Sementara karyanya yang lain masih terserak di banyak penggemarnya dahulu. Jika di Taman Pintar bisa ditemukan, ada sebagian yang terjilid rapi, tapi ada juga yang tercecer dalam bentuk serial. Dahulu, saya pernah bertemu di Taman Pintar, pada 2004, dengan Pak Muhlis; yang memiliki koleksi lengkap S.H. Mintardja. Saya pun membuktikan ke rumahnya, di Bantul. Lengkap memang. Mulai Nagasasra Sabuk Inten, Api di Bukit Menoreh hingga Misteri Kembang Kecubung. Saking gandrungnya, Pak Muhlis ludes membaca semua karya Mintardja itu. Bahkan dia nekat menjelajahi kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya untuk melengkapi koleksinya. Meski, ketika butuh uang, dia terkadang juga menjualnya sebagian. Dia pernah menawarkan kepada saya (boleh ke orang lain) untuk membeli seluruh karya S.H. Mintardja tersebut dengan harga 10 juta.
Welahdalah! Ini rumah apa kolong tikus? Seolah mata tiba-tiba bolong, saat saya melihat ruang tamu yang disesaki timbunan majalah, buku-buku dijejer bersap-sap, dan berkardus-kardus cersil sampai nyaris menyentuh genteng yang telah disisir dan dikelompokkan berdasar judul, jilid, dan serinya. “Seluruh karya Mintardja lengkap, Nak Udin. Jika sampeyan berminat, semua akan saya lepas 10 juta saja. Jangan lama-lama mikirnya!” Mendengar tawaran itu, saya cuma tertegun dan tersenyum kecut. Yang terlintas di benak: peristiwa apa saja dalam puluhan tahun hingga ia dapat mengumpulkan seluruh cersil Mintardja? Belum lagi cersil dari pengarang lain yang juga seabrek koleksinya. “Saya nggak berduit sebanyak itu, Pak. Tapi saya yakin, suatu hari, akan datang sang pembeli ke rumah ini,” pungkas saya.
Wow! Sementara cersil lain dari pengarang lain juga memenuhi koleksinya. Yang pasti, Di Taman Pintar sekarang jarang ada. Kalaupun ada, mahal sekali harganya. Ada pun buku komik lawas, makin jarang lagi, seperti karya-karya lama Ganes TH , Hans Jaladara, dan lain-lain.
Ketiga, buku lawas jenis keislaman. Satu sisi, buku jenis ini sudah banyak diterbitkan. Lebih-lebih oleh penerbit yang konsern pada tema-tema keislaman yang ragamnya, terkait dengan pertimbangan laku-jual di pasar, memang tak terhingga banyaknya. Seperti buku Durratun Nashihin, Riyadus Shalihin atau Bulughul Maram telah berkali-kali dicetak ulang oleh banyak penerbit. Dan memang laris manis. Tapi untuk mencari buku semisal Al-Atsarul Baqiyah Anil Qurunil Khaliyah karya Al-Biruni, saya pastikan tak ada di Yogya (baik di toko buku atau di perpustakaan UIN sekalipun). Atau karya-karya monumental dari Ibnu Haitam (Risalah Sina’at Syi’ir), Ibnu Arabi (Futuhul Makkiyah), Al-Baqli (Masrab Al-Arwah), As-Sulami (Tabaqatus Shufiyya), Al-Maki (Qut al-Qulub) dan lain-lain, jelas kelabakan untuk mencari mereka. Kecuali sejenis kitab tersebut, mungkin, dimiliki kiai-kiai yang gandrung baca kitab. Untuk mencari yang agak ringan saja; tentang madharat dan manfaat rokok dan kopi, karya Kiai Ihsan Jampes berjudul Irsyadul Ikhwan fi Syarhil Qahwa wa al-Dukhan, Anda musti memburunya ke Jampes, atau ke Lirboyo, atau ke T.B. Firdaus di Pare. Bukan di toko kitab kuning, di Yogya.
Keempat, buku lawas Jawa kuno. Menyusuri jenis buku ini sebenarnya mudah, tapi jangan harap bisa dibawa pulang. Anda cukup cari buku hasil suntingan T.E. Behrend berjuluk Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Museum Sonobudoyo (Djambatan, 1990, Jakarta). Buku ini ada di perpustakaan Sonobudoyo, Yogya. Atau di penerbit Djambatan. Di Taman Pintar- setahu saya, nggak ada. Buku katalog itu memuat 1350 naskah Jawa kuno yang mencakup tema sejarah, silsilah, hukum, ihwal wayang, sastra wayang, sastra Jawa kuno dan sastra Islam kejawen, piwulang, primbon, bahasa, musik, tari-tarian, perkerisan, adat-istiadat, dan lain-lain.
Pengalaman tak terlupakan saya ketika, pada Desember 2005, di toko buku loak, milik Mas Widodo (di komplek Lt. II pasar Bringharjo), saya pernah menemukan sebuah buku lawas berisi kumpulan cerita ringkas dari para sastrawan Indonesia tempo doeloe berjudul Maleise Bloemlezing: Uit Hedendaagse Schrijvers, bertarikh 1947, terbitan J.B. Wolters-Batavia dan Sevire-Den Haag, yang disusun oleh Dr. G.W.J. Drewes (harga: 30 ribu). Ada belasan cerita unik, dengan ejaan lama, dari beberapa sastrawan semisal, M. Kasim, S. Hardjosoemarto, A. Datuk Madjoindo, Hersevien M. Taulu, S. Takdir Alisjahbana, H.A.M.K. Amrullah, Habib Sutan Maharadja, Seoman H.S., Ardi Soma, A. Soetan Pamoentjak N.S., A. Moeis, Selasih, Hamidah, N. St. Iskandar, Toelis Soetan Sati, I. Gusti Njoman P. Tisno dan H.S.D. Moentoe.
Tentu jika bukan pencinta dan pemburu buku yang bandel, sangatlah kerepotan melacak buku-buku tersebut. Bagi mereka yang sudah lama menyusuri jagat pernak-pernik buku pastilah memiliki kepuasan tersendiri ketika mereka telah menemukan buku yang mereka inginkan. Kendati ada juga pemburu buku lawas yang tidak begitu getol membaca, tapi semata hanya ingin mengoleksi saja. Ya, apa pun alibinya, kita layak untuk menghargainya. Sebab, buku adalah jendela dunia, dan peradaban manusia, salah satunya, dibangun dari tradisi membaca. Karena, “Sebuah buku”, ujar Cervantes, “adalah halte sejarah; tetirah abadi segala ingatan dan pengetahuan, meski tanpanya, kehidupan akan tetap berjalan apa adanya.” Memang, sebuah buku bukan sekadar lembaran kertas dan rekatan lem. Melainkan di dalamnya menyimpan sebentang peradaban, di mana manusia hidup bersamanya, dengan harapan dan cita-cita.
***
Saya bermaksud ingin Menjual :
1. Komik Indonesia Lawas era 1968 – 1980 berjumlah
lebih dari 3.000 komik.
80% kondisi komik sama seperti komik baru dan 20%
bagus dan lumayan.
Kebanyakan komik cetakan pertama.
2. Situs http://www.indocomic.com
Jumlah anggota 1.800 orang
Saya juga menawarkan kepada orang asing. Tapi karena Komik Indonesia bernilai budaya dan sejarah,
sehingga banyak hal yang bisa dipelajari tentang Indonesia. Saya berharap pembelinya Warga Indonesia ( WNI ).
Peminat serius email ke setiadhip@gmail.com
Salam.
Setiadhi P