Dianing Widya Yudhistira
republika.co.id
Matahari mengeliat tepat di atas menara masjid. Kezia dan anjingnya berjingkat-jingkat di atas aspal jalan. Siang itu udara seperti berlomba-lomba menaikkan suhunya dengan suhu aspal yang sesekali terlihat asap di bagian tengahnya. Dari kejauhan aspal itu menciptakan cahaya kebiruan.
Kezia, perempuan berkulit coklat dengan gigi berderet rapi. Wajahnya biasa saja. Tapi, coba lihat matanya yang bening, mengabarkan bahwa hidup mesti disikapi dengan kebeningan hati. Alisnya yang lebat melindungi sepasang mata beningnya. Tepat di atas alis matanya, ada bekas luka yang sulit dihilangkan.
Kezia pernah terjatuh saat hendak menyeberang jalan. Kondisi jalan yang licin membuatnya tergelincir tepat di tengah jalan. Dahi sebelah kanan terbentur dinding trotoar. Di klinik seorang dokter, Kezia mendapat hadiah kecil berupa tujuh jahitan di dahinya. Itu ditambah nasehat sang dokter agar ia lebih agar berhati-hati, juga omelan sang nenek. Kezia tertawa kecil. Ia suka bila orang-orang mencemaskannya.
Ada satu kelebihan Kezia dengan perempuan lainnya yakni postur tubuhnya. Tinggi badannya tak seperti perempuan Asia lainnya. Tubuh gadis berusia 25 tahun itu menjulang mencapai angka 170 centi meter. Sebenarnya, ia pernah ditawari menjadi model. Tapi, Ia lebih senang memotret. Selesai kuliah, ia pun menekuni hobinya itu secara penuh. Ia lebih suka berpetualang dari satu kota ke kota lain memburu cahaya senja.
Ia suka memotret apa saja saat matahari hendak lingsir. Ia suka memotret anak-anak jalanan, rumah-rumah kardus, gubuk reot, pengemis, pejalan kaki, sopir angkutan kota, petani, dan sebagainya. Semuanya ia carikan momentum sore: saat matahari pelan-pelan masuk ke perut langit dan cahaya merah menghiasi di sekitarnya.
Kezia juga memotret rumah-rumah ibadah. Ia melakukan itu dengan ringan saja. Tapi, ia tidak pernah bisa memotret masjid. Tangannya selalu bergetar ketika hendak memotret. Ia selalu merasa tidak menemukan masjid yang pas untuk dipotret. Ia memang kerap menemukan masjid, dari yang kecil sampai yang mentereng, tapi ia rasakan semua gersang. Tidak berjiwa. Kadang terpuruk sepi.
Belum lama ini, ia menemukan sebuah masjid yang luas dan megah. Sang anjing yang dinamakan Buddy, terkagum-kagum melihatnya. Buddy, anjing terlatih yang menemani perjalanannya, memberi isyarat kepada Kezia agar mengarahkan kameranya ke masjid itu. Tapi Kezia menggelang.
“Tidak, Buddy. Masjid ini belum pas untuk diabadikan biarpun ribuan cahaya memancar di setiap sudut-sudutnya.”
Seketiga raut wajah anjing itu berubah muram. Ia seolah ingin memperlihatkan kekecewaanya pada sang tuan. Kezia tidak mempedulikan. Ia kemudian justru melangkah meninggalkan masjid itu. Buddy tidak mungkin untuk bertahan di sana, terpaksa mengikuti langkah Kezia.
Siang makin panas. Sepatu coklat milik Kezia tak mampu menahan panas aspal. Ia meringis diantara deru motor, klakson mobil, decit rem truk saat lampu lalu lintas berwarna merah. Terlebih anjingnya, kakinya yang telanjang membuat kulitnya mengelupas. Mulutnya meringis menahan panas. Tapi mereka terus berjalan.
Beberapa ratus meter kemudian, tiba-tiba anjing itu menggonggong tiga kali, lalu berlari sekuat tenaga. Kezia heran: apa yang terjadi pada Buddy. Ia berusaha mengejar, tapi kalah cepat. Kezia pun tertinggal jauh. Bahkan, ia sempat berhenti dengan nafasnya yang ngos-ngosan. Beberapa puluh meter di depan, ia melihat anjing itu berhenti. Ia berbalik arah kepada Kezia sambil menggonggong beberapa kali.
“Sebuah masjid,” gumamnya seperti berbisik begitu sampai di depan anjing itu. Sang anjing berdiri di pintu gerbang menghadap ke masjid. Kezia berteriak keras melarang ketika Buddy hendak membuka pintu pagar dengan mulutnya. Buddy menoleh ke arahnya. Kezia menggeleng dengan bola mata membulat penuh.
Anjing itu tak perduli. Ia terus berusaha membuka pelan-pelan pintu pagar masjid dengan kaki kanannya. Lalu menoleh ke Kezia dengan wajah memelas, seolah berharap Kezia membolehkan ia masuk ke masjid. Tapi Kezia melotot. Ia tahu itu sebagai bentuk larangan. Ia sadar diri kakinya tidak boleh menginjak tangga masjid.
Anjing itu begitu takjub melihat masjid itu. Kezia tak habis pikir. Tak ada yang istimewa dengan masjid itu. Kubah itu, beberapa tiang yang terpancang dalam masjid, tangga teras, tempat mengambil air wudhu, sama dengan masjid-masjid yang lain. Sekali lagi, biasa-biasa saja. Kezia memperhatikan anjingnya yang wajahnya memancarkan ketakjuban. Ia menggeleng-geleng kepala, heran dengan sikap anjingnya.
“Ayo kita jalan lagi, Buddy.”
Anjing itu tidak beranjak.
“Buddy,” teriak Kezia. Anjingnya tak menghiraukannya, malah tampak kian santai dan betah di situ. Kezia memandangi lagi masjid itu. Terdengar gonggongan anjingnya dua kali. Ia menatap anjingnya. Anjingnya menggonggong lagi dua Kali. Kezia memandang lagi ke masjid. Ia dengar lagi gonggongan anjingnya. Ia putuskan untuk masuk ke masjid.
Semilir angin menyejukkan pori-porinya tatkala ia memasuki halaman masjid. Tetapi mengapa sepi? Seperti tak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Ketika ia melangkah hendak memanjakan kakinya dengan air, kran itu kering. Setetespun tak mengeluarkan air.
Kezia duduk-duduk di teras masjid. Ia tak berani masuk karena kakinya masih berdebu. Ia sandarkan kepalanya ke salah satu tiang masjid. Tas rangsel warna ungu berisi kamera ia taruh di sebelah kanan kakinya. Semilir angin pelan-pelan membuatnya lupa dengan anjingnya.
***
Di luar, setiap orang selalu bertanya, anjing siapa yang tertidur di depan pintu pagar? Begitu pula di dalam, perempuan manakah yang tertidur menyandar tiang masjid? Setiap hari yang melihat dan bertanya terus bertambah. Kabar perempuan dan anjing yang tertidur itu tersiar dari mulut ke mulut.
Masjid itu memang telah lama tak dipakai untuk shalat. Bukan karena orang-orang di sekeliling masjid malas shalat berjamaah, melainkan karena setiap dua gang terdapat mushala. Orang-orang lebih suka ke mushala terdekat ketimbang ke masjid. Lebih dekat.
Berbeda dengan sekarang. Ketika datang untuk melihat anjing dan seorang perempuan yang tertidur di sana, mereka menjadi tidak enak hati jika tidak shalat di masjid itu. Lama kelamaan masjid yang berdiri menghadap tanah kosong bekas bioskop yang terbakar itu kembali ramai.
Tapi orang-orang tidak berusaha membangunkan Kezia maupun anjing kesayangannya. Mereka pun telah tertidur berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan. Wajah Kezia tak lagi letih, tetapi segar dan tenang. Ia baru terjaga setahun kemudian ketika anjingnya yang terjaga duluan menggonggong hebat.
Napas Kezia memburu kencang. Ia berlari menuju anjingnya. Mulutnya berkali-kali memanggil nama anjingnya sambil memeluknya. Wajahnya pucat ketika suhu anjing itu meninggi.
“Buddy, Buddy bangun sayang.”
Anjing itu menggigil, padahal siang itu sangat panas. Matanya yang seperti enggan membuka sesekali menatap Kezia, lalu mengalihkan pandangannya ke masjid. Kezia bisa menangkap apa yang diinginkan oleh anjing itu: agar dirinya memotret masjid. Anjing itu seolah ingin mengatakan masjid itu kini mengalirkan kedamaian dan ketentraman. Lihatlah orang-orang yang kembali berbondong-bondong datang untuk beribadah di sana.
“Buddy, Buddy, ayo bangun. Berdiri sayang. Aku janji akan memotret masjid ini, aku janji.”
Kezia berlari ke teras masjid hendak mengambil kameranya. Tetapi hatinya kecut. Tas rangsel warna ungu berisi kamera itu telah raib. Kezia lemas. Ia tidak bisa mengikuti keinginan anjingnya.
Dengan mata yang tak bercahaya, Kezia menoleh ke anjingnya. Ia hanya melihat wajah muram. Ia tak bisa membayangkan kecewanya anjing itu. Ia tidak tahu bagaimana harus menyampaikan permohonan maafnya. Senja pelan-pelan turun diikuti mendung yang menggantung. Cahaya kemerah-merahan di sekitar matahari yang siap masuk ke palung langit seperti lenyap tak berbekas.
***