Estetika Realisme-Primitif, Testimoni, dan Pengutuhan Kualitas Hidup

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

“Mencintai seseorang sama artinya
rela menjadi tua di sampingnya.” (Albert Camus)

TAMPAKNYA dialog yang diucapkan tokoh rekaan dalam Caligula itu, kini boleh dilontarkan siapa saja. Tak musti sahih bila dituturkan penganut kaum absurdis. Terlebih kian sulit di zaman sekarang mencari orang yang paham akan karya-karya berat Caligula, Sampar (Camus), The Waiting for Godot, Endgame (Beckett), Zarathustra (Nietzsche) dan sejenisnya.

Diakui, mereka adalah sederet para “nabi” senjakala mondernitas, dengan kitab-kitabnya yang mengkritik puncak-puncak nalar yang diboncengi cemburu, ambisi, serakah, dan berbuah sikap metafisik atau sikap jiwa yang nampaknya samar tetapi jelas, jauh tetapi dekat. Suatu sikap yang dalam pandangan mereka sebetulnya sama sekali sia-sia, tapi perlu meski tak harus berarti penting. Bahkan hingga paling tersia (pesimis maupun optimis).

Bagi mereka yang penting adalah hidup “indah” menyongsong kematian.
Pendeknya, setiap orang harus menjadi “nabi” baru dengan kitab baru. Tersebutlah atas nama “nabi” dan “kitab” yang memaksa konsepsi tulisan ini pada akhirnya, mensebangunkan absurditas dalam gaya hidup untuk “menghibur diri dan bermain dalam tingkat keseriusan ludic (bukan main-main),” dalam kurungan hukum mitos sisiphus mendorong batu besar ke atas bukit sebelum akhirnya menggelinding lagi ke bawah lembah. Atau sang Dajjal yang menggergaji besi api neraka, tapi suara adzan mengutuhkannya lagi dari gigitan gigi gergaji.

Adanya kepercayaan pada suatu tragedi besar manusia—sadar bahwa dirinya sia-sia. Maka kesadaran menggerakkan eksistensinya, sebergairah jabang bayi sejak saat kali pertama menyusuri bukit payudara ibu. Bukan muskil, atas nama kepuasan pribadi juga telah menjangkiti dan hingga pada diri seorang ”nabi” seperti Nietzsche, sehingga dengan itu ia telah kembali ke sikap filosof yang agonistic (penuh penderitaan) dan arkhais (purba), dengan mengembalikan filsafat ke alam aslinya dalam kebudayaan yang primitif.

Bahwa sebaliknya, kegairahan hidup itu bisa terjadi pada siapa saja. Pada para “nabi” hebat di bumi ini ketika melawan atau setidaknya menundukkan, mengerti duduk perkaranya, berhadapan setiap yang terang-terangan mengamputasi bagian “tubuh” dan jiwa seseorang untuk menemukan keutuhannya, kebebasannya, kegairahannya. Pendeknya kegairahan dalam diri yang tak pernah berhenti, terlepas apakah mereka kemudian disebut penganut atas dasar spirit neo-absurdis atau bukan.

Tokoh Ivan Ivanovich Nyukin, ciptaan Anton Pavlovich Chekhov(29 Januari 1860 – 15 Juli 1904) dalam On the Harmful Effects of Tobacco amat layak mengucapkan dialog menggelikan dari Caligula itu: rela menjadi tua di samping kekasihnya. Meski kemunculannya terpaut lebih setengah abad mendahului Albert Camus.

Anton Chekov, yang disebut-sebut bapak cerpen adalah satu dari sekian sastrawan realis Rusia yang kehidupannya tidak menyenangkan. Banyak dugaan sebagian besar karyanya adalah pengalaman kepahitan hidupnya. Anton Chekov adalah seorang penulis besar Rusia yang terkenal terutama karena cerpen-cerpen dan dramanya. Banyak dari cerpennya dianggap sebagai apotheosis (kaya) dalam bentuk, sementara dramanya, meski hanya sedikit—dan hanya empat yang dianggap besar—mempunyai dampak yang besar dalam literatur dan pertunjukan drama.

Dikisahkan, Ivan Ivanovich Nyukin seorang suami bercambang panjang tapi dipingit. Bininya punya sekolah musik partikelir dan indekos buat anak perempuan. Ivan Ivanovich perokok berat, beristri seorang pekerja atas nama sosial dan amal. Dia pria yang selalu merasa tertekan oleh istrinya, suatu ketika diminta ceramah tentang ” Bahaya Racun Tembakau” di sidang komunitas ilmiah. Tugas itu bukanlah soal bagi kerja Ivan. Banyak persoalan justru milik Ivan Ivanovic. Diantaranya, ia perokok berat dan telanjur tahu bahaya asap rokok. Lalu bawah sadarnya kuat mendesak untuk mengisahkan kebenciannya pada istri dan keluarganya. Lebih dari itu Ivan terlanjur mengaku ada yang meracuni jiwanya, seperti halnya rokok meracuni hidupnya. Dia mau bebas tapi tidak bisa. Dia hanya jadi tokoh penganjur yang jujur, tapi tidak pada dirinya sendiri.

Demikianlah, tampaknya menjadi penganjur adalah kepribadian paling mutakhir manusia masa kini untuk selamat meski hal itu bukanlah hidup yang sebenar-benarnya bagi dia. Hidup yang serba palsu (kalau semuanya palsu, untuk apa tetap berlalu?).

Estetika Realisme-Primitif
INI “sesuatu” gagasan teater di sekitar monolog ketika teater adalah peristiwa sederhana, tapi kata-kata membuatnya tersiksa—memenjara jiwa dan tubuh aktor dalam realitasnya. Ketika percaya kata bisa membebaskan tubuh dan jiwa, maka sebetulnya hal itu suatu kesia-siaan. Lalu dimana spirit teater dalam hal ini? Mungkin terletak pada usaha menyoal kata-kata keseharian—semacam realisme—dan bertahan pada derita tubuh meski nyleneh, purba.

Sesuatu, barangkali lebih tepat sebagai semacam ide, konsep tentang sebuah proses yang sebetulnya tengah menuju pengutuhannya—termasuk berkat seseorang dan konsep tentang teater atau drama—suatu upaya tanpa titik untuk menyakini kebenaran mencipta bahasa-bahasa teater itu sendiri. Lebih tepatnya, sesuatu kesanggupan, kerelaan untuk menyerahkan diri pada proses berteater dan terbuka pada konsep keindahan, pencarian kebenaran melalui gagasan estetik maupun artistik dalam ruang dan waktu demi meringankan beban tugas kemanusiaan: tugas yang sebetulnya sama diberikan kepada setiap insan, teaterawan, intelektual, budayawan, maupun teknokrat-birokrat.

Muasal menjadi sesuatu adalah ketika seseorang memiliki gagasan estetik dan artistik tentang teater. Tanpa itu, seseorang hanyalah orang biasa meski punya tubuh yang luar biasa, apalagi yang hanya merasa sendiri—pemimpin tunggal, penggagas utama, maupun pemimpin spiritual. Dalam bahasa dramawan Rusia Stanilavsky, sesuatu yang dimaksud adalah ketika teater digagas dalam sifatnya yang ilusif dengan menyikapi kehidupan ilusif secara tulus dan jujur. Lalu Tommy F Awuy meminjam kata yang sama untuk menegaskan bahwa wilayah konsepsi itu pada: seharusnya teater mengelak, menolak atau mentransendensia realitas untuk menciptakan ilusi-ilusi yang tinggi.

Menjadi “sesuatu” selebihnya, berjalan seperti sediakala, ia seorang ilmuwan, intelektual dan manusia yang bertanggungjawab demi keilmuannya dan demi meringankan beban kemanusiaan. Semacam peneguhan sikap metafisis dan jiwa seseorang untuk menyampaikan kegairahan hidup bahwa di tubuhnya terhampar ruang dan waktu yang terdesak untuk dihadirkan dalam suasana masa kini—dunia baru pertunjukkan teater dalam konsepsi yang sama sekali baru, di luar stereotif hidup sehari-hari.

Yang disebut belakangan ini adalah pondasi dari akar kesadaran makluk tinggal di semesta ini untuk sejenak tinggal dalam ruang waktu tertentu melepaskan diri dari kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa Johan Huizinga, homo ludens, makluk bermain pada tubuh binatang dan manusia yang dalam masa kini cukup terwakili pada diri anak-anak dan sebagian orang yang mengalami gangguan jiwa. Yaitu, bermain dalam suasana keseriusan yang menghibur, ada tegangan-tegangan tubuh dan jiwa yang keluar dari stereotif keseharian, dan bahkan keluar dari stereotif nalar manusia. Bermain berarti menjajagi segala kemungkinan estetik dan artistik dalam teater, terbuka terhadap segala ruang bagi paradigma-paradigma paling mutakhir, konsepsi-konsepsi paling avant-garde, wilayah-wilayah garapan paling actual, juga bentuk-bentuk paling tidak mungkin. Asalkan, persyaratan kebebasan, bukan kehidupan biasa, dan tertutup sejak mula hingga berakhirnya, tak bisa ditawar. Suasana penuh keriangan, sonder peduli apakah sifatnya sakral atau hiburan meski tetap disertai semangat luhur.

Atas dasar keperluan konsepsi ini, catatan Afrizal Malna, penting pula untuk direnungkan selaku paradigma mutakhir kegairahan berteater. Yakni, tentang kehadiran Buttoh, yang menginspirasi banyak pertunjukkan di negeri ini. Sejak dari Sardono W Kusumo, Teater Mandiri (Putu Wijaya), Teater Sae, juga Teater Garasi, Teater Payung Hitam yang percaya dan menyakini ada ruang dan waktu dalam tubuh, bukan cuma meyakini ruang dan waktu yang diciptakan di luar oleh gerak. Tentu saja, menyadari proses pengutuhan berarti musti terbuka pada hal-hal estetik dan artistik, untuk selanjutnya menjajagi kemungkinan bentuk baru berteater sonder menyadari pelbagai kendala kemiskinan—fasilitas, dana, pekerja teater dan lainnya—inilah kreativitas sesuatu tempat bermain keluar masuknya ide-ide dan keluar masuknya jiwa dalam tubuh-tubuh teater yang berisi tanpa menganiaya, memperkosanya.

Menjadi “sesuatu”, bermain drama (monolog, monoplay) tidak berarti bermain teater sendiri. Di luar dirinya lebih banyak tubuh-tubuh dan benda yang memiliki ruang waktu dan sejarah sendiri pula. Menjadi “sesuatu” yang bergaul dengan banyak riwayat di luar diri dan tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang, Sesuatu yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia. Mungkin juga terhadap semacam molekul, partikel, atau gelombang abstrak yang bertukar tempat, silih berganti wujud, tarik-menarik tanpa henti. Semua itu diberi hak untuk merondai pikiran, memutar balik pandangan tentang pikiran dalam semesta. Semesta telah dirangkumnya dalam satu gerak pikiran besar. Menjadi “sesuatu” berarti tak mempersulit diri “yang lain” menghadirkan perasaan, intuisi, imajinasi, jiwa, kesadaran bahkan ruh—hal yang sangat manusiawi sekaligus mempribadi. Sekalipun, ia menemukan ruh, kesadaran, jiwa, imajinasi intuisi dan perasaan setiap kata sebagaimana ia temukan dirinya dalam kata dalam naskah-naskah drama. Sesuatu telah menggerakkan untuk saling menjaga, sepanjang tidak mengurangi kebebasannya untuk mengaktualisasi diri ke dalam sebentuk peristiwa teater.

Ketika membaca kembali sastra Racun Tembakau melalui terjemah Jim Adhi Limas, sastra ini berusaha menyingkap problem kejiwaan manusia modern. Yakni manusia yang menggugat dimana batas-batasnya dari pelbagai konflik kejiwaan—antara lelaki dan perempuan, masalah pribadi dan keilmuan, kepribadian dan hilangnya kepribadian, keluarga dan masyarakat, juga masalah ingatan akan masa lalu dan hari depan. Masalah merokok bisa jadi adalah pemantik. Namun, bukan mustahil justru menjadi ruang yang luang, bagi seorang yang sangat peka, memiliki masalah kejiwaan yang akut dan komplek seperti terjadi pada tokoh Ivan Ivanovich Nyukin.

Maka, ada estetika yang unik bisa dikembangkan di situ, yakni “estetika mempersulit diri” dari setiap soal sederhana perjalanan hidupnya. Semacam sentimentalia, meski bukan berarti percuma. Barangkali, alam bawah sadarlah, ruang yang luang untuk mengembangkan estetika paling sulit ini. Yakni samudera jiwa yang selama ini abai karena serbuan nalar-nalar yang sangat cerdas. Trauma pun tak pelak jadi puncak pencapaian alam bawah sadar yang penting diziarahi. Sedang peluang lain ada pada mitos, agama, dan kepercayaan tokoh dalam menjalani kesulitan hidupnya.

Estetika “mempersulit diri” lebih mengarah pada upaya mengeksplorasi trauma jiwa sampai batas ujung terjauh mungkin. Sebagai metoda pencarian kemungkinan-kemungkinan berbahasa hingga puncak keindahan sonder menafikan sisi kemanusian, baik terhadap masyarakat, keluarga—istri dan anak-anak, juga sudah barangtentu agama. Di sinilah, dalam membaca kembali “Racun Tembakau” di era yang sama sekali lebih mungkin ketimbang masa sastra itu ditulis Chekov. Ruang maya situs, dan kecanggihan teknologi modern memungkinkan menggali informasi sosial, ekonomi, kesehatan dan agama lebih dalam lagi. Kendati, membaca sastra “Racun Tembakau” tetap dalam kerangka sastra yang mengedepankan kemanusiaan yang universal, sekalipun dengan semangat Realisme-Sosialisme.

Bukan sesuatu yang muskil, tokoh Ivan Ivanovich saat sekarang adalah seorang penulis cerita, pengkotbah, pengrajin esei, peneliti, wartawan, profesi lainnya, atau orang biasa lainnya yang juga perokok yang ”dipaksa” berceramah perihal bahaya rokok. Namun demikian, melalui pengkajian yang intensif, siapa menyangka bahwa bahaya laten yang kuat diidap dalam tokoh Ivan Ivanovich Nyukin dari teater ”Racun Tembakau” Anton Cekov, adalah: memiliki ingatan. Memiliki ingatan menjadi sebuah hukuman seumur hidup. Kerinduan satu-satunya hanyalah pada kemampuan untuk tidak mengingat. Merindukan kepala, pikiran, perasaan, emosi yang bersih dari segala noda bernama ingatan. Bersih seperti kertas putih yang dihapus dari catatan harian, angka-angka dan daftar utang piutang. Ingatanlah yang telah membawa manusia melompat-lompat, menyeret-nyeret pada jurang masa lalu, masa kini dan masa depan. Ingatanlah yang menyebabkannya muter-muter ke sana kemari yang disindir dalam bahasa Einstein secara lebih santun, “Tidak ada kebodohan paling konyol selain mengulang-ulang kesalahan yang serupa.” Atau berputar balik, banting setir kemari ke sana, tapi ujungnya tetap karena punya ingatan.

Ingatanlah yang menyebabkan tersiksa, kesulitan hidup sepanjang masa. Padahal kerinduannya hanyalah pada saat diri tidak tahu berapa umur, siapa nama anak-anak istri, dan apa yang bakal diperbuat esok hari. Membayangkan bila tak memiliki ingatan adalah mendapatkan kenyataan betapa jernih hidup sehari-hari. Tak perlu lagi mengisahkan bagaimana ada saling hisap dalam kehidupan sehari-hari, rumah tangga, negara dan sebagainya apalagi yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya.

Membayangkan bila tanpa ingatan, maka hanyalah perlu ruang (tanpa waktu) untuk bermain sesuka ria, bermain drama sekehendak hati, karena bagi yang tanpa ingatan setiap waktu adalah masa kini. Masa kini. Hanya masa kini! Kehidupan dalam teater juga tak bakal serumit dan sesulit pertunjukan malam ini. Tetapi kenyataan harus berkehendak lain. Malam ini peristiwa teater tidak sebegitu enteng. Kenyataannya, masih perlu menggagas ”estetika mempersulit diri” dalam bermain drama biar katanya lebih berbobot. Padahal itu jelas-jelas saling menyiksa, menganiaya. Pertanyaannya, mengapa penonton ternyata juga senang bila saling menyiksa? Lalu kenapa juga saling senang merasa menyiksa diri, meski itu berarti mengidap penyakit senang menyiksa diri alias mashokis?

Testimoni Kelisanan Menuju Pengutuhan
ADALAH sesuatu yang dalam bahasa absurditas sangat sulit diselami, dimengerti, dimaknai, apalagi disemangati karena kesia-siaan hidup itu: pilihannya hanya ada dua “bunuh diri“ atau “dibunuh.“ Atau barangkali bukan diantara keduanya? Sudah barang tentu karena jawabnya ada pada cinta—pada hidup.

Bahwa menjadi manusia adalah saat menggelorakan suatu upaya menjaga diri, memahami diri agar tak kehilangan hak miliknya. Semacam cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan, apalagi kehilangan. Cinta yang tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang. Cinta yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya. Tapi juga cinta yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.

Saat itulah tak sulit untuk merondai pikiran dengan menempatkan dirinya pada tirai puisi. Tidak terlalu susah membiarkan otaknya memutar balik pandangan tentang pikiran dalam semesta. Semesta telah dirangkumnya dalam satu gerak pikiran besar. Tidak bersusah payah berkat kata dalam puisi, yang menghadirkan perasaan, intuisi, imajinasi, jiwa, kesadaran bahkan ruh—hal yang sangat manusiawi sekaligus mempribadi. Sebaliknya ia telah menemukan ruh, kesadaran, jiwa, imajinasi intuisi dan perasaan setiap kata sebagaimana ia temukan dirinya dalam kata.

Ruang luang teater ada di antara itu. Kata sudah demikian kejam menjadi pembunuh berdarah dingin yang menghabisi manusia, seluruh semesta, membantai sesama kata dan bahkan membunuh dirinya. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana. Kecuali bagi siapa saja yang bersih dan jujur. Pendek kata sebagai pribadi, sebagai ilmuwan dan sebagai manusia, harus menemukan dan melahirkan kebersihan dan kejujuran kata guna memperlakukan semulia roh dasarnya. Jadi satu-satunya amanah mulia adalah menghidupkan kata, sama halnya kreasi Tuhan meniupkan ruh hidup manusia di semesta ini.

Cintalah yang membuat diri betah dan terhibur di tempat ini, dunia ini, pertunjukan ini. Semacam “kecintaan” pada diri. Cinta pula yang menyebabkan saling perlu sedikit kompromi dengan ingatan, penderitaan, kekonyolan. Bercanda pada masa lalu, masa kini dan masa depan dengan cara berputar-putar saja tanpa harus memikirkannya. Perlu bercengkerama dengan nama-nama baru, kosa kata baru, yang telah hidup di pikiran, hati, perasaan dan emosi. Bercengkerama tanpa perlu memikirkan itu semua bila tak ingin lebih tersiksa lagi dengan ingatan seperti ini. Kedengarannya memang susah. Kelihatannya seperti sulit. Memang, sungguh susah atau susah sungguh.

Bermula dengan sebuah pengakuan yang sederhana, bahwa Ivan Ivanovich Nyukin sebagai lelaki yang hanya ingin mendapat hidup yang bersih, cinta yang tidak dihisap. Kalaupun menghisap itu karena dia membutuhkan kenikmatan. Sebagai lelaki, itu mengaku punya kehormatan untuk mendapatkan hidup yang bersih, tidak terus-terus dihisap, dan mengumpulkan penyakit yang berumah pada tubuh.

Realisme, sebagai pilihan kepanjangan gagasan artistik memungkinkan mengembangkan pilihan bentuk testimoni. Bentuk pengakuan yang syarat dengan wilayah kelisanan. Testimoni berasal dari kosakata Inggris testimony, dari Johm M Echols berarti kesaksian. Baik dalam bidang hukum maupun politik yang paling sering menggunakan istilah ini pun, punya pemaknaan yang sama. Sementara dalam perluasan maknanya testimoni penting untuk menjernihkan pikiran, hati, dan emosi sebagai semacam jalan pencerahan atau pengakuan dosa dan lain-lain. Sebangun dengan pernyataan Carl Gustav Jung, yang mengungkapkan bahwa setiap benda padat memiliki sisi-bayangnya sendiri.
Mengingkari bayangannya sendiri berarti kehilangan kepadatan.

Dalam pertunjukan ini tanpa menafikan watak dasarnya (sebagaimana tabiat seni pada umumnya) yang sedapat mungkin mencurahkan segala daya upaya di luar dirinya, imajinasi, persepsi, intuisi, interpretasi terbuka sebagai penanda yang mengundang pemaknaan multi tafsir. Demikian pula dengan kelisanan, dan sudah barangtentu kelisanan dengan kehadiran tubuh absentia. Bukan kabar burung, isu, atau gosip atau apalagi semacam katabelece. Melainkan kelisanan yang penuh daya juang, menyakinkan, membebaskan, mencerahkan, jikapun perlu melayangkan bujuk rayu, bahkan membingungkan membelit-mengakar.

Bagi monolog, itu semua bukanlah soal karena tak ada dialog dalam testimoni, tak ada dialog dalam pengertian yang inter subjektif dalam genggaman kuasa monolog. Yang ada hanyalah dialog subjek dengan objek, aku dan kamu. ”Aku Mengaku Maka Aku Ada” atau ”Aku Bersaksi Maka Aku Ada.” Jika pun ada dialog maka sudah barang tentu itu adalah dialog dalam diri, menggugat, menyoal, mengamini, mempertanyakan keberadaan diri. Tidak menjadi soal apakah pengakuan-pengakuan itu patah terbantah atau mujur mulus sepanjang tidak lepas dari kontrol ruang waktu yang tersedia ”masa kini” di atas panggung teater. Ketegangan hubungan subjek objek, tersebut diselamatkan oleh aturan bernama kesepakatan akan paham bermain. Juga sudah barang tentu dalam ketentuan-ketentuan Bermain Drama. Dalam definisi Johan Huizinga, ruang luang untuk bermain dalam diri tubuh keaktoran, dan penikmat dipertemukan dengan waktu dan ruang pertunjukan teater. Permainan adalah suatu perbuatan atau kegiatan sukarela yang dilakukan dalam batas-batas ruang dan waktu tertentu yang sudah ditetapkan, menurut aturan yang telah diterima tapi mengikat sepenuhnya dengan tujuan dalam dirinya sendiri, disertai oleh perasaan tegang dan gembira, dan kesadaran ” lain daripada kehidupan sehari-hari.”

Sebagaimana halnya testimoni, juga pertunjukan teater, kehadiran dan pertemuan adalah sesuatu yang mutlak meski bukan untuk sepakat menyetujui atau menolak. Sudah barang tentu kesepakatan antara tubuh-tubuh teater itu dengan tubuh-tubuh di luarnya bukan pada bobot permainannya, isi bermainannya apalagi isi pikirannya, tetapi pada kesepakatan aturan bermainnya. Bahwa mari sepakat untuk bermain. Bermain drama. Bukan kampanye partai politik, bukan ajakan menganut paham tertentu, apalagi kotbah moral agamis. Boleh dikata, sepakat untuk sejenak tidak menjadi manusia modern. Sejenak untuk menjadi manusia primitif, atau lebih tepatnya makluk primitif karena bentuk-bentuk permainan paling suci ada pada spirit hidup makluk primitif, sudah barangtentu termasuk di dalamnya binatang. Barangkali di sinilah, konsep bermain mengalami kebimbangan atas tuduhan sebagai penganut romantisisme yang kerdil dengan berbangga pada masa silam tanpa peradaban.

Benarkah? Guna menepis tudingan tersebut, diakui konsep bermain memiliki tenaga jawab yang ampuh karena ilmu pengetahuan telah bisa membuktikan bahwa puncak-puncak pencapain makluk primitif justru menginspirasi pengetahuan-pengetahuan termasuk seni bahkan mempengaruhi kemajuan peradaban. Bermain menjadi semacam agama baru dengan nabi baru pula—tanpa nama alias anonim. Meski sinyalnya bisa ditangkap ketika aspek bermain menghindari pemaknaan yang keras atas nalar dan pikiran manusia—salah satunya. Bukankah nalar pula yang selama ini menjebak diri menjadi penyembah berhala?

Bermain teater menjadi semacam mengundang tenaga gaib kendati bermula dari pencapaian-pencapaian artistik dalam hal ini realitas dialog kelisanan yang menggantikan mantra para shaman. Kiranya hal ini bukan suatu kemunduran apalagi kelemahan. Sebaliknya, hal ini adalah tantangan baru teater dalam konsep bermain. Artinya, dialog musti harus dimainkan. Bermain dalam dialog. Atau memainkan dialog yang sebetulnya pencapaiannya telah dilampaui teater-teater tradisional kita juga teater modern kita. Lantas apa yang baru? Bermain sungguh perlu banyak eksperimentasi. Sudah barangtentu dengan mempertimbangkan banyak pola bermain. Pelbagai bentuk yang ditawarkan dengan terbuka banyak kemungkinan atas dasar karakteristik bermain: Tidak percaya sepenuhnya pada logika kata dan bahasa dengan menggugat; menyoal bahkan menjungkirbalikkan semisal pada aspek-aspek dramaturgi tragic comedy; lalu, serentetan kata dalam kalimat hanyalah pelor yang ditembakkan beruntun, tanpa makna tapi teror dari bunyinyalah yang mengejutkan; Juga memperlakukan kata bukanlah pada maknanya, tapi pada kehadirannya yang sedang show of force bermain drama alias acting saja—

separti halnya aktor yang hadir di ruang waktu peristiwa drama. Bahkan mungkin juga mereka hanyalah sederetan huruf-huruf yang sabar menunggu untuk dihidupkan saja dari kehendak teater bermain ini. Pendeknya mereka seperti sebagian besar makluk bermain yang telah sadar butuh tenaga gaib demi untuk tujuan mengampu pada kekuasaaan yang lebih tinggi. []

—-
*) Penulis adalah pengarang, sutradara dan pimpinan Komunitas Teater Keluarga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *