Maman S. Mahayana *
Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial-politik-kultural. Novel Salah Asuhan (1928) karya Abdoel Moeis, juga kelahirannya tak dapat dilepaskan dari faktor-faktor tersebut. Itulah sebabnya, usaha mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di balik teks Salah Asuhan, penting artinya untuk menangkap amanat pengarangnya yang juga berkaitan erat dengan situasi sosial dan semangat zamannya.
Novel Salah Asuhan ditulis awal tahun 1927 ketika Abdoel Moeis sudah meninggalkan kegiatan politiknya dalam Sarekat Islam (1912-1924), dan menjadi petani di Garut sejak tahun 1924. Waktu itu (sejak 19 Januari 1924), Abdoel Moeis dikenai larangan mengunjungi semua daerah di luar Jawa dan Madura sebagai akibat terjadinya peristiwa Toli-Toli di Sulawesi Tengah (Juni 1919), pemogokan pegawai pegadaian di Jawa (11 Februari 1922), dan keterlibatannya dalam membantu masyarakat Minangkabau dalam memperjuangkan hak-hak tanahnya yang juga berkaitan dengan masalah belasting (pajak).
Pada Februari 1928, naskah Salah Asuhan dikirimkan ke Balai Pustaka. Sebelumnya novel itu pernah dimuat di harian De Express sebagai cerita bersambung. Balai Pustaka yang menerima naskah itu, tidak segera menerbitkannya, bahkan bermaksud menolaknya. Menurut kriteria Balai Pustaka, Salah Asuhan menampilkan tokoh wanita Belanda (Corrie) yang justru dapat menimbulkan citra buruk bangsa Belanda (Barat) secara keseluruhan.
***
Menurut Dr Drewes, Hoofdambtenaar Balai Pustaka waktu itu, Salah Asuhan termasuk karangan yang ditulis secara lancar dan memikat, tetapi karena adanya unsur-unsur “negatif” yang digambarkan pada diri tokoh wanita Belanda itulah yang membuat Balai Pustaka merasa perlu mempertimbangkan kembali penerbitannya.
Selanjutnya, Dr Drewes, menyatakan bahwa bagi Balai Pustaka akan sulit mempertahankan diri terhadap kemungkinan kritik tentang penerbitan karangan itu. Volkslectuur seharusnya memperhatikan batas-batas dalam penerbitannya. “Saya kira kepada Volkelectuur saya tidak dapat menyarankan untuk diterbitkan,” demikian Drewes yang dikutip Sjafii St. Batuah dalam esai Di Balik Tirai Salah Asuhan, Pustaka dan Budaya, 22/V/ November-Desember 1964.
Pertimbangan K. St. Pamuntjak, salah seorang redaktur Balai Pustaka kala itu antara lain begini: Saya kira tak akan melebih-lebihkan kalau saya katakan bahwa oleh Volkslectuur belum ada diterbitkan suatu roman pribumi yang dapat dibandingkan dengan karangan ini. Dari mula sampai akhir perhatian pembaca terikat olehnya. “Ia mempunyai nilai didikan besar bagi orang pribumi yang menganggap diri mereka orang-orang Eropa hanya karena dapat bicara Hollands dan adalah suatu pedoman bagi orang-orang tua pribumi dalam memberikan didikan kepada anak-anak mereka.” Tanggapan Pamuntjak ini berbeda dengan salah seorang pegawai Belanda waktu itu: “Seluruh pokok karangan dan penggarapannya tak simpatik. Ini bukanlah karangan yang baik untuk Volkslectuur.”
Setelah Abdoel Moeis diminta untuk mengadakan perubahan pada peranan yang dimainkan tokoh Hanafi dan Corrie, akhirnya Salah Asuhan dapat juga diterbitkan. Dalam hal ini, St Batuah menyatakan: “Dalam naskah asli Corrie adalah wanita ‘royal’ yang disamping menjadi istri Hanafi, juga ‘main’ dengan laki-laki lain. Hanafi tidak sanggup lagi, karena itu mereka bercerai. Corrie terjerumus dalam percabulan: Ia menjual dirinya untuk membayar utang kepada seorang Arab, dan jadi langganan kapten kapal, akhirnya jadi pelacur umum. Ia mati ditembak salah seorang ‘kekasih’-nya yang cemburuan. Beda sekali dengan Corrie versi Balai Pustaka yang dibidadarikan. Pembeberan Abdoel Moeis yang menelanjangi kehidupan ‘donker Batavia’, juga dihilangkan!”
Sebuah resensi buku berjudul Abdoel Moeis: Salah Asuhan (Indonesia, 1954 : 662 -5) menyatakan hal yang sama, bahwa naskah asli roman itu telah banyak diubah dan diolah Balai Pustaka. “Hingga di mana unsur-unsur autobiografis terdapat di dalam Salah Asuhan masih belum diketahui, tapi tidak mustahil, bahkan sangat boleh jadi terdapat unsur tersebut. Tentu dengan paduan seperlunya antara Dichtung und Wahrheit.”
Demikianlah, dilihat dari segi orisinalitas Salah Asuhan sudah mengalami perubahan yang masalahnya erat kaitannya dengan kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahan. Di samping itu, kita sesungguhnya masih dapat melihat sikap seorang bumiputera terhadap masalah sosial politik yang terjadi pada zamannya. Untuk mengungkapkan masalah tersebut, tidak bisa lain, kita terpaksa mengandalkan sumber-sumber sejarah yang tersedia.
***
Secara tematis Salah Asuhan mempertegas tema novel-novel sebelumnya, Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya; tema tidak lagi terkukung pada masalah adat, melainkan pada hubungan Timur (Hanafi) dan Barat (Corrie). Dalam kaitannya dengan masalah itu, Salah Asuhan dapat dipandang sebagai kritik Abdoel Moeis atas kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda dan orang (-orang) yang membelanda. Gambaran Hanafi yang menjadi “Malin Kundang” adalah sikap keprihatinannya pada golongan terpelajar kita waktu itu yang tak sedikit justru melupakan bangsanya sendiri. pembicaraan Corrie dengan ayahnya, Du Bussee, tampak jelas hendak mengangkat ketidakadilan yang berlaku di tanah jajahan. Jika lelaki Eropa (: Belanda) dapat begitu gampang memelihara istri-istri simpanan (nyai-nyai), lalu mengapa pula ada semacam larangan bagi lelaki bumiputera yang hendak mengawini wanita Eropa?
Alasan yang dikemukakan Du Bussee yang mengutip kata-kata Rudyard Kipling, “Timur tinggal Timur, Barat tinggal Barat, dan tidaklah keduanya menjadi satu” (hlm 27) sesungguhnya merupakan pembenaran pada ketidakadilan rezim penjajah. Kipling dikenal sebagai penyair imperialisme. Menurutnya, imperialisme bagaikan agama; ia merupakan “kekuatan pembudaya” (civilizing force). Salah satu kewajiban imperialisme adalah membawa misi “membudayakan orang-orang pribumi”. Dengan kata lain, ia harus bertindak sebagai “mesias”, sebagaimana yang menjadi misi sistem pendidikan kolonial di tanah jajahan.
Tindakan Hanafi yang memandang rendah bangsanya sendiri, juga merupakan “pantulan” pandangan Belanda terhadap bumiputera. Demikian pula perlakuan tak adil yang dialami Hanafi dalam usahanya memperoleh pengakuan haknya sederajat dengan bangsa Eropa, merupakan satu ironi bahwa seorang bumiputera dinegerinya sendiri, justru harus bersusah payah mengurusi soal haknya sebagai manusia. Ini menunjukkan ketidakadilan bangsa penjajah yang merasa lebih berbudaya dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, namun malah mencampakkan hak manusia bangsa lain.
Masalah ketidakadilan bangsa Belanda itu, terutama dalam memandang rendah bangsa Timur, tampak pula dalam peristiwa di dalam hal yang ditumpahi Hanafi. “Seorang penumpang sedang membaca sehelai surat kabar Belanda yang terbit di Betawi, yang sudah masyuhur bencinya kepada Bumiputera. Surat kabar itu memperkatakan hal pertunangan seorang studen bangsa Indonesia (Moeis tidak menyebut bangsa Bumiputera; MSM) di Nederland dengan seorang nona, yang sama-sama menuntut ilmu di sekolah tinggi dengan dia. Bukan sedikit nista dan maki dituliskan oleh surat kabar itu terhadap kepada kaum Bumiputera yang terpelajar terhadap kepada ethischepolitiek?”
Begitulah, dalam banyak hal, Salah Asuhan condong mengangkat persoalan ketidakadilan bangsa penjajah. Hanafi laksana simbol seorang bumiputera yang lupa akan kewajibannya terhadap bangsanya sendiri. dalam hal ini, sumber sejarah menyebutkan bahwa studen bangsa Indonesia di Nederland yang bertunangan dengan seorang nona, tidak lain adalah Dr Abdoel Rivai. Dokter pertama yang mendapat beasiswa ke Belanda itu memperistri gadis Belanda. Ia kemudian tinggal di sana.
***
Sikap Abdoel Moeis kiranya makin jelas jika kita perhatikan novel Abdoel Moeis lainnya, katanya, Robert Anak Surapati (1953). Tokoh Robert hasil perkawinan Surapati (Timur) dan Suzane Moor (Barat/Belanda), dihadapan dua dunia. Ia berkeras untuk diakui sebagai bangsa Belanda, tapi bangsa Belanda sendiri menolaknya. Sementara, ayahnya, Surapati, secara ksatria menawarkan pilihan; memilih bangsa ayahnya (Indonesia) atau bangsa ibunya (Belanda). Secara naif akhirnya Robert memilih menjadi bangsa Belanda dan bertempur dengan pasukan ayahnya sendiri. Robert akhirnya mati, dan bangsa Belanda baru mengakui kebelandaanya justru setelah Robert tewas. Inikah sikap bangsa yang konon hendak mengadabkan bangsa lain? Sebuah sikap diskriminatif yang sering justru dipertahankan bangsa Barat.
Jelas kiranya bahwa kasus Hanafi-Corrie lebih merupakan sebuah binkai untuk menutupi kecamannya terhadap bangsa penjajah. Bangsa Timur memang memerlukan pendidikan Barat, tetapi tidak berarti bahwa semuanya harus dibaratkan. Itulah sebabnya, tokoh Syafei (bandingkan dengan tokoh Robert) merasa perlu untuk menyatakan janjinya: “Sepulangnya dari negeri Belanda kelak, akan kembali ke kampung meluku sawah?”
Itulah yang tampaknya menjadi sikap Abdoel Moeis dalam memandang persoalan Timur-Barat. Dunia Barat tetap dipandang penting dalam hubungannya dengan dunia pen-didikan waktu itu. Akan tetapi, kemajuan yang telah diperoleh dari dunia Barat, hendaknya jangan sampai melupakan tradisi dan akar budaya tanah tumpah darah sendiri. Malahan, lewat kemajuan yang telah dicapai di dunia Barat itulah, keadaan dunia pendidikan bangsa Timur (Indonesia) justru harus lebih ditingkatkan. Persoalan itulah yang sesungguhnya menjadi amanat novel Salah Asuhan.
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
Wah, terimakasih infonya. saya cucunya abdoel moeis yang kelimpungan mencari jejak kakeknya. Sebenarnya saya ingin mencari buku-bunya yang tercecer juga, seperti soerapati dan don kisot, duh, dimana mencarinya ya ? anda ada info ?
terimakasih sebelumnya.
Buku-buku Abdoel Moeis masih lengkap tersedia di Balai Pustaka. Anda boleh datang ke sana dan meminta buku-buku karya AM. Silakan!
terimakasih ya.