Abdul Malik
Kebudayaan Melayu merupakan salah satu kebudayaan yang relatif tua. Persebaran dan pengaruhnya meliputi wilayah di antara Pulau-Pulau Madagaskar di sebelah barat sampai dengan Pulau Pas di sebelah timur, dan dari Formosa di sebelah utara sampai dengan Selandia Baru di sebelah selatan. Oleh sebab itu, kedudukan kebudayaan Melayu di Indonesia ini menjadi sangat penting dan menjadi salah satu kebudayaan utama yang memberikan kontribusinya dalam pengembangan kebudayaan nasional Indonesia.
Puncak kejayaan kebudayaan Melayu, seperti yang diberitakan oleh Yi Jing (I-tsing), bermula dari kegemilangan dan kecemerlangan Melayu Jambi-Sriwijaya (abad ke-7?12) yang dikenal sebagai kebudayaan Melayu-Budha. Masa Jambi-Sriwijaya itu dikenal sebagai Melayu tua.
Setelah kegemilangan Sriwijaya meredup, kejayaannya dilanjutkan oleh kerajaan-kerajaan Melayu yang berdiri di sepanjang Selat Melaka. Wilayahnya meliputi Pulau Sumatera, Kepulauan, dan Semenanjung Malaysia. Di antara kerajaan-kerajaan itu ialah Bintan-Tumasik, Kerajaan Melaka, Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang, dan Kerajaan Riau-Lingga. Begitulah kerajaan-kerajaan Melayu itu berkembang dan masyhur antara abad ke-12 sampai dengan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang mengangkat harkat, martabat, dan marwah Melayu dalam naungan tamadun Melayu-Islam (sejak Melaka).
Pada masa kekuasaan kerajaan-kerajaan Melayu itu tamadun Melayu berkembang pesat. Hal itu dimungkinkan karena pelaksanaan pemerintahan atau penadbiran negeri diintegrasikan dan disebatikan dengan nilai-nilai Melayu dalam Kanun Kerajaan. Tak heranlah bila implementasi tamadun Melayu dilakukan dalam semua aktivitas kehidupan masyarakat di Tanah Melayu.
Invasi kekuatan asing, politik kolonialismenya (Portugis, Inggris, dan Belanda), tak dapat tiada menjejas keberadaan tamadun Melayu. Nilai-nilai budaya Melayu lama-kelamaan mulai berkurang perannya menuntun perilaku hidup masyarakat. Akibatnya, orang Melayu banyak yang kehilangan hubungan produk dan nilai-nilai budaya Melayu itu sendiri, kalau tak dapat dikatakan kehilangan jatidiri sama sekali.
Alam Indonesia merdeka ternyata belum membawa pencerahan kultural di kawasan ini. Orde Lama dan lebih-lebih Orde Baru yang otoriter dan sentralistis, kebudayaan Melayu tak dapat melanjutkan kecemerlangan masa lalunya. Pembinaan dan pembangunan kebudayaan?kalaupun dapat disebut begitu?dipusatkan di Jakarta tak memberi peluang luas bagi kebudayaan Melayu. Malah, ada kesan, eksistensi kebudayaan Melayu lebih baik pada zaman penjajahan Belanda dibandingkan pada masa rezim Orde Baru. Pasalnya, walaupun tak sepenting zaman keemasan kerajaan-kerajaan Melayu, pada masa penjajahan Belanda, hukum adat (hak ulayat, misalnya) masih diakui. Sebaliknya, oleh Orde Baru hak-hak adat seperti itu dicuaikan sama sekali.
Politik pemerintahan yang otoriter, sentralistis, hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi tak hanya menyebabkan terjadinya tragedi degradasi ekologis dan ekonomis, juga degradasi kultural di tengah-tengah masyarakat. Generasi muda Melayu kehilangan hubungan batin dengan budaya nenek-moyangnya, padahal masyarakat dunia diakui sebagai salah satu kebudayaan penting. Sebagai akibatnya, generasi Melayu sekarang kurang mampu mengapresiasi nilai-nilai budayanya sendiri sehingga tak dapat mengimplementasikannya dalam aktivitas kehidupannya sehari-hari.
Dari nukilan sejarah serbaringkas di atas, dapatlah dipahami sisa keberadaan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau masih dijunjung tinggi pendukungnya setakat ini lebih banyak kontribusi dari kerajaan-kerajaan Melayu masa lampau. Di era otonomi ini, pembinaan dan pengembangan budaya Melayu itu harus dilakukan intensif lagi dalam mewujudkan masyarakat madani.
Sebagai bagian bangsa Indonesia, saat ini masyarakat Kepulauan Riau sedang terlibat konteks pembangunan persaingan industri global. Membawa serta budaya secara bersamaan. Budaya Melayu akan berhadapan dengan budaya asing, yang memang semakin dirasakan saat ini. Karenanya, perlu diupayakan peningkatan peran budaya Melayu di masyarakat Kepulauan Riau kini dan ke depan, agar penetrasi budaya asing yang negatif dapat dicegah.
Era otonomi daerah ini memungkinkan daerah-daerah, termasuk Kepulauan Riau, menegakkan supremasi kebudayaannya, budaya Melayu. Perlu dilakukan bukan demi kepentingan kebudayaan Melayu itu sendiri, tetapi sangat diperlukan masyarakat menuntun kelanjutan perjalanan hidupnya. Pasalnya, hanya berpedoman pada nilai-nilai budaya Melayu (sumber utamanya Islam) dibancuh serasi dengan nilai-nilai budaya luar yang positif, barulah pembangunan Kepulauan Riau dilakukan secara benar, baik, dan canggih sehingga memenuhi keperluan zahir dan batin masyarakatnya. Jika tidak, pembangunan tak akan pernah menyentuh keperluan masyarakat paling hakiki sehingga hasilnya hanyalah semu.
Kebudayaan anugerah Allah. Kepulauan Riau ditakdirkan menjadi wadah kebudayaan Melayu. Itulah sebabnya, Tuhan menempatkan orang Melayu penduduk asal kawasan ini. Sistem nilai utama seyogianya dianut di sini tak ada lain: sistem nilai Melayu. Jika dipaksakan dengan sistem nilai lain, kita menunggu detik-detik kemusnahan. Generasi Melayu hendaklah mengambil berat masalah ini.
Untuk mencapai matlamat itu, semua komponen Kepulauan Riau harus memiliki komitmen dan menjalankan fungsinya masing-masing. Eksekutif jujur dan ikhlas mengupayakan pengembangan kebudayaan Melayu kebijakan pembangunan yang dilaksanakan. Bahkan, nilai-nilai budaya itu harus tercermin di semua karya pembangunan dilaksanakan. Legislatif menggesa dan mendukung program kebudayaan Ilmuwan, budayawan, dan praktisi seni-budaya mengadakan pengkajian, melakukan kegiatan, dan menghasilkan karya seni-budaya dalam upaya pencerahan dan pencerdasan masyarakat. Organisasi kemasyarakatan, kepemudaan bernaung di bawah payung panji Melayu berusaha keras memajukan masyarakatnya secara arif dan bertamadun. Alhasil, rakyat melibatkan diri secara aktif di semua program pembangunan cinta dan damai. Barulah masyarakat merasakan mereka memang hidup di bumi Melayu, yang mereka adalah ahli waris sahnya. ***