Sastra Pun Berdiaspora

Ilham Khoiri, Budi Suwarna
kompas.com

Lama sudah sastra menempati ruang sakral milik kalangan elite sastrawan yang menulis bak empu menempa keris. Ketika teknologi informasi kian canggih dan medan sosial makin terbuka, kini dunia penulisan mencair dan mengalami “booming”. Semua orang seperti keranjingan menulis, komunitas sastra bermunculan, buku-buku terbit, dan internet diramaikan puisi atau cerpen.

Jika rajin menjelajahi ruang-ruang internet, tentu Anda bisa segera menangkap, betapa bergairahnya kegiatan sastra di dunia maya. Jika kita ketik kata sastra, cerpen, atau puisi dalam mesin pencari Google, serta-merta bermunculan banyak nama komunitas sastra online. Ketika menelisik ke dalam, kelompok-kelompok itu menawarkan ruang bagi semua orang untuk nimbrung dengan mengirim atau ngobrol seputar karya sastra.

Komunitas Bunga Matahari, misalnya, memasang motto “Semua orang bisa berpuisi”. Di situ, memang siapa pun bisa terlibat dan membuat macam-macam puisi dari yang serius, guyonan, sampai yang garing. Semua orang bisa bermain-main dengan kata. Bahkan, ngobrol di milis pun kerap dilakukan dengan puisi.

“Kami bermain-main dan bersenang-senang dengan puisi,” begitu kata Yoshi Febrianto (32), pegiat Bunga Matahari. Peminat komunitas yang didirikan tahun 2000 itu membeludak. “Kini, milis kami anggotanya sekitar 1.700-an,” kata Gratiafusti Chananya Rompas (28), pendiri Bunga Matahari.

Aroma sastra tercium dalam komunikasi lewat telepon genggam. Saat perayaan Lebaran, Natal, atau tahun baru, kita kerap menerima banyak pesan pendek (SMS) yang dikemas bak puisi atau pantun. Apa pun kadar sastranya, kemasan itu mencerminkan, makin banyak orang memilih menuangkan sapaan dalam jalinan kata-kata indah.

Dalam dunia nyata, gairah itu ditandai dengan hadirnya banyak komunitas yang tenggelam dalam kegiatan penulisan yang diikuti banyak orang. Salah satunya, Forum Lingkar Pena (FLP). Komunitas yang didirikan tahun 1997 oleh Helvy Tiana Rosa itu kini punya cabang di 125 kota di Indonesia dan mancanegara dengan anggota sekitar 7.000 orang.

“Anggota kami mencakup semua kalangan, mulai dari mahasiswa, ibu rumah tangga, buruh, anak jalanan, sampai pembantu rumah tangga,” kata CEO Lingkar Pena Publishing House Rahmadiyanti.

Tanpa komunitas resmi, para pelajar juga makin menggemari sastra. Ambil contoh saja para siswa di SMA III Depok, Jawa Barat, yang senang berkumpul sambil mendiskusikan puisi, cerpen, atau novel yang mereka tulis sendiri. “Novel biasa difotokopi untuk dibaca teman-teman,” kata Syifa Fauziah (18), siswa kelas XII, yang menulis tiga novel dan 60 cerpen.

Gejala yang memukau tentu saja meroketnya novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang mencetak rekor penjualan sekitar satu juta kopi. Belakangan, muncul novel Rahasia Meede karya ES Ito yang terjual sampai 15.000 kopi dalam waktu singkat. Melihat sambutan pasar begitu gempita, muncul banyak penerbit sastra baru, sebagian penerbit lama juga turut serta.

Penerbit Hikmah yang dulu dikenal memproduksi buku-buku keislaman, misalnya, sekarang melirik novel. Dua tahun terakhir, penerbit Grup Mizan ini mengeluarkan 55 novel, termasuk Rahasia Meede. “Kontribusi novel pada omzet kami mencapai 45 persen, menggeser buku-buku agama yang tinggal 25 persen,” kata General Manager Hikmah M Deden Ridwan.

Teknologi komunikasi

Menyimak fenomena itu, tak berlebihan jika booming dunia kepenulisan sekarang ini disebut diaspora sastra. Artinya, kegiatan membaca dan menulis sastra telah menyebar dan menyelusup ke semua kalangan di wilayah-wilayah yang tak terduga. Apa yang mendorong semua itu?

Medan sosial yang semakin terbuka akibat globalisasi jelas memicu demokratisasi itu. Teknologi informasi menawarkan berbagai jalur komunikasi yang kian mudah, cepat, dan massal. Sastra digelontorkan lewat situs di Blogspot, Multiply, WordPress, Friendster, atau Facebook.

Menurut Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison Jamal D Rahman, meski banyak dikeluhkan, pendidikan turut mendorong tumbuhnya kelas menengah terpelajar kota. Pada saat media cetak, internet, dan toko buku memberi ruang bagi perkembangan dunia kepenulisan, sastra tumbuh menjadi gaya hidup masyarakat urban.

“Sastra mengalami perluasan pembaca dan penulis sejak tahun 2000-an. Ini fenomena luar biasa di tengah banyak sisi menyedihkan di negeri ini,” katanya.

Membumi

Lebih dari perluasan, fenomena ini turut menurunkan sastra dari menara gading dan membumikanya untuk semua orang.

Menulis dan membaca sastra tak lagi jadi kegiatan eksklusif yang digeluti kaum intelektual atau sastrawan saja. Agaknya mantra penyair Chairil Anwar, “yang bukan penyair tak ambil bagian” sudah tak berlaku lagi karena kini justru saatnya semua orang boleh nimbrung dalam dunia sastra.

Fenomena ini sepertinya juga melanda belahan dunia lain. Pengarang Amerika Serikat, Stephenie Meyer, meroket begitu saja lewat novel Twilight (2005). Karya pertamanya ini langsung meledak di seluruh dunia dan difilmkan. Sebelumnya, jejak Stephenie di dunia sastra boleh dikata tidak ada.

Penulis asal Inggris, JK Rowling, juga muncul dan serta-merta terkenal di seluruh dunia tahun 2000 lewat novel seri Harry Potter. Padahal, dulunya, dia “hanya” janda dengan seorang anak perempuan yang hidup serba susah. Dari niat menulis novel untuk keluar dari kesulitan hidup, ternyata Rowling kemudian berhasil dan kaya raya.

Kembali ke Tanah Air, apa muara booming gairah penulisan sekarang ini?

Bagi Helvy Tiana Rosa, dalam jangka panjang kegairahan itu bisa meningkatkan kualitas baca-tulis di masyarakat. Jika kita percaya tulisan sebagai ekspresi seni dan intelektualitas bisa turut menghaluskan akal-budi, gairah ini bisa menjelma jadi gerakan budaya yang bakal meningkatkan kualitas kemanusiaan dan peradaban.

“Semoga saja, gairah penulisan ini akan mengangkat harkat dan martabat bangsa yang terus dirundung berbagai masalah,” katanya.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *