Marhalim Zaini
riaupos.com
Di sebuah pagi, hari Minggu itu, ketika saya tengah sibuk bersiap hendak berangkat “melatih” anak-anak Sekolah Dasar (SD) menulis puisi di Taman Budaya Pekanbaru, sejumlah sms masuk ke ponsel saya.
Dugaan saya, paling SMS kawan-kawan penulis yang di luar Riau, yang biasanya memang kerap memberi kabar tulisan siapa saja yang dimuat di berbagai media nasional (karena di Pekanbaru, media-media [luar] tersebut sulit diakses. Dan kalaupun bisa, tunggulah sehabis Zuhur). Meski dugaan saya itu tak terlampau meleset, namun sebagian besar sms tersebut berkabar tentang yang lain. Salah satu bunyi sms itu, yang saya anggap cukup mewakili, adalah begini: “Baca laporan akhir tahun Kompas tentang sastra yang ditulis Linda Christanty hari ini” Gawat. Dengan pengamatan musimannya atas satu-dua karya yang melintas di ufuk mainstream (baik nama maupun media), ia berani menyimpulkan hanya ada 4 nama yang “bersinar” tahun 2008 (kata lain “berkilau seperti kristal ala Saman”) Alahmak. Rusak!?
Ya, rusak. Kian parahlah rusaknya itu, ketika tulisan Linda Christanty yang berjudul “Pembunuhan Sultan dan Sisir George Bush dalam Sastra Kita” tersebut (Kompas, 7 Desember 2008) seolah jadi representasi dari pembacaan atas perkembangan sastra (Indonesia) di tahun 2008. Tentu, banyak kawan yang tak sedap hati, bahkan naik darah membacanya. Terlebih karena 4 nama yang disebut itu (dan tak perlulah kiranya saya sebut lagi di sini) seolah kembali hendak menggiring wacana ke (apa yang diistilahkan oleh kawan saya itu dalam sms di atas) “ufuk mainstream” (yang mengklaim diri) sebagai “pemegang dominasi” estetika sastra Indonesia. Saya, sebenarnya bukanlah orang yang terlampau peduli dengan tarik-menarik dominasi semacam ini. Sebab, bagi saya, menulis adalah soal sikap, pun soal keberpihakan. Jadi silahkan saja mau berpihak pada apa, dan siapa. Pun, saya juga tetap mengapresiasi dengan baik misalnya pemikiran-pergerakan sebagian penulis dengan cara “memaki-hamun” dalam media sastra yang mereka beri nama Boemipoetra. Meski tetap terus membaca dengan baik karya-karya yang terus lahir dari berbagai “maenstream” (kalau memang harus ada yang disebut begitu) yang saling berseberangan itu. Namun, sebagai orang yang hidup dan merasa ikut menghidupi “dunia sastra” kita, maka soal-soal semacam ini mau tak mau jadi salah satu tema yang mesti juga didiskusikan. Artinya, dalam kasus ini, bagi saya pembacaan Linda menjadi sepihak, tak komprehensif, sporadis, yang sekaligus menunjukkan bahwa dia bukan pengamat yang rajin meneroka ke celah-celah yang lain, yang lebih jauh, sehingga tak terkesan menyempit ke dalam lingkungannya sendiri saja. Akan tetapi, baiklah, bahwa agaknya setiap kelompok (entah apapun namanya), memang ada baiknya punya juru bicara sendiri. Sehingga segera kita dapatkan pembanding dan penyanding, sekaligus “perlawanan” yang produktif.
Nah, apa yang hendak saya tandaskan sebenarnya adalah bahwa membuat sebuah catatan dan dipublikasikan ke media, akan mengundang berbagai resiko. Apalagi catatan tentang pergerakan dan perkembangan dunia seni kita yang demikian rumit dan kompleks. Namun begitu, tidak kemudian membuat kita menutup diri untuk membaca sebuah catatan (seburuk apapun), sebab ia pasti menawarkan wacana dari perspektif yang lain. Sama halnya misalnya, ketika kawan-kawan penulis (di) Riau yang muncul di tahun 1990-an dan 2000-an tersenyum-senyum pahit alias masam-masam-kecut membaca “catatan” yang ditulis oleh Fakhrunnas MA Jabbar di Kompas (14 September 2008) dengan judul “Tradisi Intelektual dan Kegairahan Penerbitan Buku.” Fakhrunnas seolah sengaja memotong/memutus pembacaannya atas peta kegairahan kepenulisan/intelektual (di) Riau hanya sampai era 1980-an. Di era selanjutnya tahun 1990-2000-an, seolah tak ada nama-nama lahir di sana, selain nama drh Chaidir dan Isjoni (dua nama yang sesungguhnya tak lagi dapat tergolong penulis/intelektual yang lahir di era reformasi). Dengan “menutup mata” atas perkembangan/kegairahan kepenulisan Riau terkini, maka Fakhrunnas justru seolah menegaskan tentang ketidakberhasilan estafet regenerasi penulis/intelektual Riau sebelumnya. Maka, kesimpulan pembaca pada saat itu, bahwa tradisi kepenulisan Riau terkini kian miskin, kian menuju ke jurang kehancuran. Dan Riau kini cuma dihuni oleh (kejayaan) romantisme masa lampau. Terus terang, tentu bukan semata soal sebut-menyebut nama, tapi obyektivitas catatan atas sebuah pembacaan mestinya lebih dikedepankan, sehingga justru tidak “memiskinkan” wacana yang dilontarkannya sendiri dalam tulisan tersebut. Apa boleh buat, rupanya, Riau memang belum memiliki “juru bicara” yang representatif, bukan?
Tapi baiklah, ini lagi-lagi soal perspektif. Maka dalam “catatan sastra Riau 2008” ini, saya pun tentunya akan menggunakan perspektif saya sendiri, dengan ruang-jarak keterjangkauan pembacaan saya sendiri, dengan tetap berpegang pada nilai obyektivitas. Bahwa boleh dikata pergerakan dan pertumbuhan sastra Riau di sepanjang tahun 2008 masih tetap bergairah. Meski kadar gairah itu, boleh jadi mengalami peningkatan di satu sisi, dan bisa jadi juga mengalami stagnasi di sisi yang lain.
Buku Sastra: Wajah Lama, Wajah Baru
Gairah yang paling tampak saya kira dapat dilihat dari buku-buku sastra yang terbit di sepanjang tahun 2008. Dalam pantauan saya, ada belasan buku sastra yang lahir dari sejumlah penulis (lama dan baru). Di antaranya adalah buku-buku yang diterbitkan oleh Yayasan Sagang, Pipa Air Mata (Kumpulan Cerpen Pilihan Riau Pos), Tamsil Syair Api (Kumpulan Puisi Pilihan Riau Pos), Perjalanan Kelekatu (Kumpulan Puisi Rida K Liamsi), Dunia Melayu Dalam Novel Bulang Cahaya dan Kumpulan Sajak Tempuling karya Rida K Liamsi (esai/ulasan sastra UU Hamidy). Kemudian BKKI dan UIR Press menerbitkan buku Getah Damar (Kumpulan Cerpen Ellyzan Katan), Balada Orang-orang Senja (Kumpulan Puisi Sobirin Zaini), dan Menuju Ruang Kosong Menjemput Firman (Kumpulan Puisi Taufik Effendi Aria). Gurindam Press lewat sayembara menulis novel Ganti Award tahun 2008 menerbitkan buku 4 novel pemenang: Megalomania karya Marhalim Zaini, Mandiangin karya Hary B Kori’un, Air Mata Bulan karya Olyrinson, dan MAI (Intan-Kaca) karya Sudarno Mahyudin. Selain itu, ada buku kumpulan puisi Rumah Hujan karya Budy Utamy, dan kumpulan puisi Fakhrunnas MA Jabbar berjudul Tanah Airku Melayu. Ada juga novel Lawa karya Saidul Tombang, dan DKR menerbitkan buku kumpulan tulisan untuk Sutardji Calzoum Bahri berjudul …Dan, Menghidu Pucuk Mawar Hujan. Terkahir “kalau pun ini patut masuk dalam catatan ini” adalah sebuah buku kumpulan puisi dwibahasa (Indonesia-Portugal), Antalogia De Poeticas, yang berisi puisi-puisi dari penyair tiga negara, yakni Indonesia (52 Penyair), Portugal (50 Penyair), dan Malaysia (16 Penyair), yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Tujuh nama penyair Riau yang masuk dalam antologi ini adalah Raja Ali Haji, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Taufik Ikram Jamil, Fakhrunnas MA Jabbar, Asrizal Nur, dan Marhalim Zaini.
Dari belasan buku sastra yang hadir di tahun 2008 ini, 4 buku tunggal adalah karya pertama yang lahir dari penulis yang tergolong (usia) muda: Lawa (Saidul Tombang), Rumah Hujan (Budy Utamy), Balada Orang-orang Senja (Sobirin Zaini), dan Getah Damar (Ellyzan Katan). Hemat saya, ini menjadi menarik, karena selain Saidul Tombang, tiga nama setelahnya adalah penulis-penulis (angkatan) baru yang tiga sampai lima tahun terakhir cukup aktif mengisi media sastra (terutama) di Riau. Kita tentu menyambut hangat buku-buku ini, terlebih soal bagaimana peluang dan kesempatan yang kian terbuka bagi penulis muda untuk menerbitkan karya-karya mereka. Namun, harapan kita berikutnya adalah bahwa lahirnya buku ini bukanlah kelahiran yang prematur. Kalau pun prematur, ia tetap harus melampaui proses kepenulisan yang terus dirawat dengan baik, sehingga kelahiran buku-buku berikutnya adalah proses panjang menuju kematangan karya. Meski, perlu kita catat, bahwa dari sisi kelahiran buku-buku ini, gairah sastra Riau terasa meningkat.
Sementara selebihnya, kita masih membaca karya-karya dari penulis-penulis lama, yang hampir pula tiap tahun menghiasi konstelasi sastra Riau. Singkaplah buku-buku yang diterbitkan Yayasan Sagang misalnya, maka kita akan segera bertemu dengan nama-nama lama, dari sejumlah tingkat generasi. Lalu novel-novel yang diterbitkan Gurindam Press masih juga diisi oleh para pemenang bertahan Ganti Award. Tiga nama lama lain, yang nampaknya ikut terus memperkuat eksistensinya adalah Rida K Liamsi, Taufik Effedi Aria, Fakhrunnas MA Jabbar, dan Sudarno Mahyudin. Dari empat nama tersebut, Taufik Effendi Aria adalah gairah baru dari semangat lama, yang mengusung sajak-sajak profetiknya. Ia telah lama lahir sebagai penyair, tapi baru di tahun 2008 ini kita dapat menikmati buku kumpulan puisinya. Menurut saya, ini adalah juga kegairahan baru dunia sastra kita, yang ikut menopang, beriringan lahir, saling melengkapi, mengisi ruang kosong, antara yang baru dan yang lama, karya-karya baru, atau juga karya-karya lama, sebab sebuah karya yang unggul adalah karya yang tak lapuk dimakan usia waktu. Ia terus bertahan dalam gelombang zaman macam apa pun. Maka teruslah berkejaran. Saling mengambil tempat, untuk tetap tercatat dalam sejarah literasi kita.
Penulis Perempuan Riau
Tommy F Awuy tercengang-cengang (atau mungkin lebih tepatnya tersengeh-sengeh, kata orang Bengkalis) ketika ia “diserang” bertubi-tubi oleh peserta forum seminar “Revitalisasi Budaya Melayu” di Tanjung Pinang, tanggal 15-17 Desember 2008 lalu. Kenapa? Karena makalahnya yang berjudul “Perempuan, Menulislah” itu akhirnya malah menggiring Tommy (secara lisan) untuk mengungkapkan di depan forum sebuah “fakta” tentang adanya seorang “penulis perempuan Melayu” bernama Khatijah Terong yang demikian “terbuka” menuliskan tentang dunia perempuan, yang dalam konteks ini, oleh Tommy seolah diidentikkan dengan dunia seksualitas. Maka dengan semangat “keterbukaan” itu, tercuatlah kata atau frasa nama kelamin laki-laki dan perempuan dari mulut Tommy. Kata atau frasa itu menurut Tommy memang benar-benar ada dalam teks yang ditulis oleh pengarang perempuan (?) bernama Khatijah Terong itu. Seketika itu, tentu forum merespon dengan riuh, dengan berbagai ekspresi. Ada yang menerimanya sebagai kelakar biasa saja, ada yang mencoba arif, ada yang meragukan fakta itu, dan ada pula yang merespon reaktif dengan sangat serius sehingga sampai mengatakan tak terima helat yang “terhormat” ini dicemari oleh kata-kata “cabul” yang semacam itu.
Hemat saya, sebenarnya ada beberapa hal yang menarik kita bongkar dalam mencermati fenomena ini, terutama terkait dengan dunia kepenulisan perempuan kita. Pertama, sesungguhnya Tommy hendak lebih tegas mengatakan pembelaannya terhadap perempuan dalam konteks yang lebih luas dan universal, sebagaiman telah tertera dengan cukup sederhana dalam makalahnya. Tommy menggesa, memotivasi, dan menggelar berbagai kenyataan problematika dunia perempuan kita, tak hanya di Riau. Namun, sayangnya, ia menggiring tema tersebut dalam konteks feminisme yang terfokus pada perlawanan terhadap diskriminasi nilai dan norma-norma patriarki dengan contoh-contoh karya yang cukup “radikal.” Dan sayangnya lagi, dalam presentasinya, ia terpancing untuk (mungkin agar suasana jadi cair karena sesi seminarnya digelar pada siang hari, saat mata mulai mengantuk) masuk ke dalam wilayah “ruang pribadi” perempuan, yang larinya ke wacana seksualitas. Padahal hemat saya, mestinya ada satu wilayah di balik “fakta” tersebut yang juga dapat ditelisik sebagai wacana yang lebih bersifat “ideologis”. Misalnya, kenapa kira-kira seorang Khatijah Terong itu (ini kalau memang benar ia adalah seorang perempuan) menulis dengan “gaya begitu” Adakah nilai-nilai perlawanan yang ia usung di sana? Kalau ada, perlawanan semacam apakah? Apakah hanya sebatas keberanian “membuka” atau menyebut kelamin sendiri lalu ia dikatakan sebagai pejuang feminisme? Kalau tidak, bagaimanakah konsep feminisme sebenarnya? Agaknya kalau Tommy bisa sampai membahas ke tahap ini, barangkali “kekacauan” tak akan terjadi, tapi justru sebuah “pencerahan” baru bagi paradigma nilai dan norma dunia Melayu kita.
Kedua, jika fakta ini memang benar, maka ini adalah sebuah ruang lain bagi kita untuk melihat sejarah (kebudayaan) Melayu dari berbagai sisi. Tak bersikap reaktif dan kemudian dengan bergegas membuang begitu saja yang dianggap negatif bahkan berupaya menghapusnya dalam peta sejarah. Dalam hal ini saya sepakat dengan Tommy, bahwa kita harus tahu dan belajar banyak dari sejarah, dengan mengungkap sisi terang dan juga sisi gelapnya sekaligus. Ketiga, tentang fakta bahwa penulis perempuan Riau memang sangat sedikit jumlahnya adalah satu hal yang memprihatinkan. Yang mencuat selama ini memanglah penulis laki-laki. Hanya Aisyah Sulaiman yang kerap disebut dalam berbagai pembicaraan tentang sastra (Melayu) Riau. Keprihatinan ini jugalah saya kira yang membuat Tommy menulis judul makalahnya agak provokatif. Lalu bagaimana dengan penulis perempuan kita mutakhir?
Ihwal tema ini, sebetulnya saya adalah salah seorang yang cukup risau, dan sempat menulisnya dalam sejumlah esai lepas. Tentu tidak dalam konteks memperlebar klaim – yang kemudian terjebak dalam – konfrontasi antara “kelelakian dan keperempuanan” dalam sastra. Tapi bahwa penting membangkitkan tradisi tulis juga pada semua orang di Riau ini, termasuk perempuan. Kalau kita mau melihat perkembangannya maka kita dapat segera berkesimpulan bahwa penulis perempuan kita memang jauh “kalah” dengan penulis lelaki (paling tidak secara kuantitatif). Dalam catatan saya lima tahun terakhir, nama-nama yang muncul sangatlah sporadis, tenggelam-timbul, dan belum secara kokoh megambil posisi yang strategis. Nama-nama yang sempat saya sebut dalam catatan di tahun-tahun sebelum ini, dan bahkan telah nampak potensi kepenulisannya, tiba-tiba menghilang. Kini, di tahun 2008, saya mendapati ada beberapa nama penulis perempuan yang dapat disebut: Budy Utamy, Dien Zhurindah, Murparsaulian, Alvi Puspita, dan Wetry Febrina.
Dua nama yang saya sebut terakhir, boleh dikata adalah pendatang baru. Meski untuk Wetry Febrina, sepengetahuan saya telah menerbitkan novel (yang bergaya populer), dan sempat laris di pasaran. Akhir-akhir ini, ia mulai menulis puisi, cerpen, juga esai, yang beberapa dari karya itu dapat kita nikmati di harian Riau Pos Ahad. Saya kira, ini potensi segar yang mesti kita “kawal” terus pergerakannya. Alvi Puspita, dari sajak-sajak terakhirnya, tampak telah mulai mampu keluar dari “kegelapan” dan “labirin” kata-kata dalam puisi. Metafora-metafora yang dibangun mulai jernih. Meski tentu, perlu terus berproses untuk menggapai solilokuinya sendiri, bahasanya sendiri, jiwa dari bahasanya sendiri. Untuk Budy Utamy dan Dien Zhurindah, kita terus menunggu karya-karya mereka, dengan capaian-capaian yang terus beranjak, dan tak gampang jenuh dengan waktu, serta terus memperluas jangakauan publisitas karya. Murparsaulian, yang kini jauh di negeri orang, gelisahmu itu adalah energi. Menjelma jadi apakah energimu itu nanti? Mari, kita ikuti terus pergerakan para perempuan penulis ini, apakah kelak mereka juga akan tersandung oleh soal-soal domestik, pun soal-soal lain, sehingga memilih untuk berhenti menjadi penulis?
Kritikus Sastra Riau
Kelahiran karya sastra, dan bergairahnya penerbitan buku-buku sastra, tak bisa serta merta membuat kehidupan sastra kita menjadi sehat. Sebab diakui bahwa karya sastra memang dibangun dari struktur yang kompleks, berisi pemikiran-pemikiran yang rumit, maka untuk memahaminya hingga sampai pada tingkat penafsiran semua aspek karya sastra, tentu peran kritikus sastra menjadi sangat penting. Sebab, “kritik sastra merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaiannya” (Wellek:1978). Jika peran kritikus sastra tak dapat secara maksimal mengambil posisinya, maka yang terjadi adalah kian minimnya apresiasi orang terhadap karya sastra yang terus diproduksi oleh para sastrawan. Miskinnya kritikus sastra, sesungguhnya sudah menjadi problem yang klasik bagi dunia sastra (di) Indonesia, termasuk Riau. Sehingga, karya-karya sastra yang lahir kerap tak mendapat respon yang produktif dari pembaca. Bahkan, parahnya, kini justru seolah peran kritikus sastra ini diambil alih oleh media dengan segala aspek pasarnya. Jika sudah begini, pertimbangannya bukanlah aspek estetis, akan tetapi aspek kapitalistik. Maka mencuatlah karya-karya yang populer, yang kerap dianggap sebagai representasi dari hasil karya sastra sezamannya.
Di Riau, hemat saya, peran kritikus sastra sudah cukup lama juga dimainkan oleh UU Hamidy. Beberapa tulisan lepas dari penulis lain pun yang mengulas karya sastra, memang sempat ditemukan terserak di berbagai bunga rampai, akan tetapi masih kurang intensif. Sehingga lebih banyak karya sastra yang “lepas” begitu saja, tanpa ada pengamatan yang tajam dan komprehensif oleh seorang kritikus. Terakhir, apa yang dilakukan oleh UU Hamidy dengan mengulas secara lengkap novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi adalah kerja yang patut diapresiasi. Meski nampaknya tentu tak bisa juga kemudian terlalu membebankan segala tugas kritik sastra kepada UU Hamidy untuk karya-karya dari penulis yang lain. Sebab ia pun telah banyak berbuat, untuk menjadi “juru bicara” bagi perkembangan sastra Riau terdahulu. Dan kini, siapakah kiranya yang harus mengambil peran itu?
Beberapa tahun terakhir, terutama di tahun 2008, saya kira kita juga turut membaca berbagai ulasan sastra yang ditulis oleh sejumlah sastrawan. Saya sebut sastrawan, karena mereka ini adalah para penulis kreatif yang oleh berbagai sebab tertentu, menulis ulasan/kritik sastra. Dalam studi sastra, Rahmat Djoko Pradopo (1995) sempat menggolongkan fenomena ini menjadi “Kritik Sastra Akademik” dan “Kritik Sastra Sastrawan.” Kadang memang akan jadi polemik tersendiri bagi diri sang penulis kreatif ketika harus menulis kritik, sebab dia harus mampu benar-benar mengambil jarak yang tepat dengan teks yang diulas, dan teks sastra yang ia tulis sendiri. Akan tetapi, saya kira, untuk tetap menggairahkan kehidupan sastra, tak ada salahnya hal ini tetap terus dilakukan. Maka sastrawan macam Musa Ismail misalnya, nampak sedang memainkan peran tersebut, dengan mengulas khusus karya-karya sastra yang lahir dari penulis Riau. Lalu ada nama Joni Lis Effendi, yang juga turut meramaikan pembacaan atas karya sastra. Ada Hary B Kori’un dengan sejumlah pengantarnya di sejumlah buku antologi sastra. Gde Agung Lontar, juga sempat kita nikamati ulasannya. Dan saya sendiri, dengan berbagai jurus otodidak, ikut meracik-racik berbagai buku sastra yang terbit di Riau. Agaknya, kritik sastra yang lahir pun kemudian dapatlah digolongkan ke dalam “Kritik Sastra Sastrawan.”
Akan tetapi, sudah cukupkah itu? Di manakah para akademisi sastra kita, yang bertindak melakukan “Kritik Sastra Akademik?” Mari kita tunggu bersama, sambil menunggu terompet tahun baru 2009 memekakkan telinga di jalan-jalan…
***
*) Sastrawan, tinggal di Pekanbaru.