Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Gerakan mahasiswa yang kemudian bergelombang menjadi badai besar reformasi, makin menegaskan kita, betapa gejolak kaum muda dan idealisme mahasiswa kerap menjadi motor penggerak yang dapat melibas dan menumbangkan kekuasaan manusia sekuat?kokoh apa pun. Moncong senjata, intimidasi, tekanan, dan serangkaian teror menjadi tidak berarti sama sekali bagi perjuangan anak-anak muda itu. Maka berbagai cara apa pun yang digunakan untuk membekap?bungkam semangat dan idealisme para pemuda itu menjadi sia-sia belaka manakala mereka ?para pemuda itu?tetap menyandarkan perjuangannya pada kesucian nawaetu dan idealisme. Itulah harga manusia yang paling mahal: kesucian niat dan idealisme! Itulah ruh perjuangan mereka; idealisme yang menjadi landasan, cita-cita, harapan yang kemudian menyebar dalam totalitas semangat gerakan mahasiswa 1998.
Bagaimana mungkin pemerintah Orde Baru yang otoriter dengan dukungan penuh ABRI dan Golkar sebagai mesin politiknya, dapat ditumbangkan oleh anak-anak muda itu, oleh lautan mahasiswa yang cuma mengandalkan senjata teriakan yang menggelorakan semangat dan idealisme. Pemerintah Orde Baru yang telah menjelma begitu kokoh dengan kekuasaannya yang menjalar dari presiden sampai RT/RW, tiba-tiba rubuh oleh gelombang mahasiswa mahadahsyat yang menggelinding terus tanpa siapa pun dapat menahannya. Presiden Soeharto dengan singgasananya yang tak tersentuh oleh apa pun, yang menjelma menjadi the untouchable, akhirnya doyong, goyah, ambruk dan lengser kaprabon.
Tetapi bagaimanakah sesungguhnya lika-liku perjuangan mereka? Romantisismenya, keluh-kesahnya, kedegilannya? Bukankah para mahasiswa itu juga manusia yang tidak dapat melepaskan diri dari perasaan takut, cemas, stress, gemas, cinta, bahkan bermacam-macam tuntutan real, berbagai kepentingan yang tidak jarang malah menggerogoti idealisme mereka, menyulap cita-cita suci mereka menjadi kepentingan?tujuan pribadi, menjual idealisme untuk mendapatkan uang, jabatan, kekuasaan. Menukar harga diri dengan urusan perut.
Begitulah, gerakan reformasi sesungguhnya masih menyimpan begitu banyak kisah yang tak terucapkan, peristiwa yang tak terberitakan, dan pergumulan yang terpendam. Kisah-kisah itu, hingga kini masih tersimpan dalam batin mereka yang terpinggirkan oleh kerakusan politik kekuasaan. Mereka punya kisah lain tentang gerakan itu, tetapi suaranya tenggelam oleh hingar-bingar tokoh-tokoh yang berteriak lantang mengaku diri sebagai pahlawan, tokoh reformis, dan heroisme yang diciptakannya sendiri. Pahlawan kesiangan muncul di mana-mana membenamkan kisah-kisah yang tak terucapkan dari para pelaku sejarah itu, dari para saksi mata yang ikut besimbah darah.
***
Novel Matahari Merah Bulan Mei karya Ali Akbar ini coba mengungkap kisah-kisah yang tak terucapkan itu. Ia mengolah fakta menjadi fiksi. Oleh karena itu, berbagai peristiwa faktual seputar gerakan mahasiswa yang bermuara pada Orde Reformasi itu berkelindan dengan imajinasi yang lalu menjelma sebuah kisah fiksional. Kesan yang segera muncul pada novel ini adalah catatan terpendam gerakan mahasiswa tahun 1998 itu. Maka, kita akan berjumpa dengan nama-nama pelaku sejarah dengan peristiwa-peristiwa yang telah menjadi catatan sejarah.
Sampai di situ, latar sejarah dalam teks novel ini membantu kita untuk coba mencantelkannya dengan konteksnya, dengan peristiwa yang terjadi di luar teks. Di situlah tempatnya novel ini; ia tidak memanipulasi sejarah, tetapi menafsir dan memaknainya berdasarkan pandangan seorang individu. Ia menjadi kisah individual dalam sebuah kisah besar gerakan reformasi. Ia menjadi catatan pelengkap yang tak tersentuh oleh sejarah. Ia lebih merupakan catatan terpendam yang ketika kita coba menerjemahkannya kembali, terpaksalah kita berurusan dengan fakta-fakta. Di situlah novel (: sastra) dapat leluasa memanfaatkan?mempermainkan fakta untuk membangun estetika fiksional.
Dengan kisahan yang disampaikan tokoh aku?Andreans?memang terasa benar kedekatan si pencerita dengan hampir semua tokohnya. Dan itulah yang menjadikan si pencerita leluasa memasuki berbagai peristiwa, dan sekaligus bebas pula menentukan sikap: ikut terlibat di dalamnya atau sekadar sebagai penonton yang berada dalam lingkaran peristiwa itu. Jadi, si pencerita tidak mengungkapkan berita yang ia sendiri tak terlibat di sana, melainkan semacam pantulan berbagai peristiwa yang di dalamnya si pencerita telah menjadi bagian dari peristiwa itu sendiri.
Dengan cara demikian, peristiwa seputar gerakan reformasi itu menjadi sekadar lanskap besar yang digerakkan oleh individu-individu?tokoh-tokohnya yang bisa faktual bisa juga fiksional. Di sinilah imajinasi yang menciptakan fiksionalisasi memainkan peranan penting. Bagaimanapun juga, novel ini bukalah laporan fuktual tetang sisi lain gerakan reformasi. Ia sebuah catatan terpendam atas segala peristiwa itu menurut pemaknaan seorang individu. Oleh karena itu, penghadiran tokoh Andreans sebagai pencerita yang terlibat (pencerita akuan sertaan), cenderung akan gagal menawarkan atau memancarkan estetikanya, ketika peristiwa faktual itu sama sekali tak mengalami pengolahan imajinatif. Maka, kehadiran tokoh Mei, penting artinya tidak sekadar sebagai pembangun romantisisme, melainkan juga sebagai bagian untuk menciptakan koflik dan mengulur-ulur tegangan.
Di belakang itu, penghadiran tokoh Mei ternyata juga penting artinya dalam kaitannya dengan ideologi yang hendak ditawarkannya. Sebuah pesan ideologis yang menjadikan gerakan reformasi dan tragedi yang menimpa masyarakat etnik, tetap menyimpan begitu banyak catatan terpendam. Bukankah sampai sekarang serangkaian kasus pembakaran, pemerkosaan, dan penganiayaan kelompok etnis tertentu (Tionghoa) yang terjadi pada kerusuhan massal bulan Mei itu, tetap masih terkubur sebagai misteri yang misterius? Ali Akbar coba mengingatkan kembali catatan yang terpendam itu. Dengan demikian, penghadiran tokoh Mei, tragedi yang menimpanya, dan kematian tokoh itu yang dipilih narator, sesungguhnya berfungsi sebagai pintu masuk untuk coba mengingat?mengungkap kembali begitu banyak catatan yang terpendam atas kerusuhan massal itu.
***
Sudah sekian lama gerakan mahasiswa yang kemudian mencapai muara reformasi, berlalu beku, meski di permukaan hingar-bingar politik menenggelamkan cita-cita awal. Munculnya begitu banyak petualang politik, terjadinya perlombaan korupsi di lembaga-lembaga negara, makin semaraknya ungkapan repot-nasi sebagai ekspresi ledekan pada melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, lahirnya generasi baru antre minyak, dan makin terjepitnya nasib rakyat kecil, menunjukkan bahwa sesungguhnya telah terjadi penyelewengan cita-cita awal gerakan reformasi. Novel ini sekadar kisah perjuangan mahasiswa yang coba mengungkapkan begitu banyak sisi lain yang belum terucapkan. Masih terlalu banyak catatan terpendam. Novel ini seperti hendak menegaskan, sebuah kenyataan sejarah kini terbentang sangat jelas: reformasi belum selesai!
Bojonggede, 27 April 2008