Morina Octavia*
Bila membaca sejarah Aceh disepanjang abadnya, kita akan menemukan banyak penulis-penulis Aceh yang lahir pada zamannya, fenomena ini membuktikan hidupnya karya sastra dikalangan pengguna bahasa bersangkutan, sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah, suka duka dan cita-cita mereka.
Salah seorang sastrawan Aceh yang kita kenal adalah Muhammad Ali Hasjim (lahir 28 Maret 1914), dengan nama populernya Ali Hasjmy. Beliau mulai menulis sekitar zaman Poedjangga Baroe. Julukan yang diberikan kepadanya adalah ?Buku Sejarah Berjalan?, terjelma dalam penunaian tugasnya sebagai ulama, pejuang revolusi, Gubernur dan Rektor perguruan tinggi. Dalam hal ini, tidak ada padanan Ali Hasjmy dijajaran penyair Indonesia.
Budaya menulis, sejalan dengan perkembangan pengajaran dan pemikiran keagamaan telah tercatat lama di Aceh. Dalam sejarah, terdapat sejumlah cendekiawan yang mengarang atas penugasan Sultan, karena perhatiannya yang istimewa terhadap penulisan buku terutama mengenai masalah keagamaan dan juga memberikan kesempatan pada karya kreatif terutama puisi.
Alam Aceh seluruhnya puisi, hal itu pernah dikemukakan oleh wartawan Mesir Al-Hilal, karena orang Aceh dalam berbagai peristiwa penting berbicara dalam bahasa puisi berbentuk hikayat, sehingga dapat disebut bahwa sastra Aceh adalah karya sastra ciptaan pengarang atau penyair yang berhubungan langsung dengan situasi dan kondisi masyarakat sehari-hari. Melalui hikayat kita dapat mengetahui aspek-aspek kehidupan manusia, yaitu berbagai permasalahan yang timbul antara manusia dengan Penciptanya (vertikal), antara manusia dengan lingkungan dan alam semesta (horizontal).
Hikayat adalah salah satu jenis sastra Melayu Aceh yang sangat terkenal. bahkan hikayat merupakan puncak dari keindahan dan keagungannya. Menurut Dr. Hoesein Djajadiningrat, hikayat mempunyai dua makna, yaitu cerita sejarah dan sebuah bentuk dari kesusasteraan Melayu Aceh. Hikayat yang merupakan cerita sejarah, berbentuk ?prosa? dan ditulis dalam bahasa Melayu Pasai yang dalam perjalanan sejarah kemudian terkenal dengan bahasa Melayu Riau atau tulesan Jawou (tulisan Jawi). Kebanyakan karya-karya tersebut yang merupakan khazanah perpustakaan Aceh, telah musnah dalam masa peperangan selama puluhan tahun antara kerajaan Aceh Darussalam dengan kolonialis Belanda. Yang tersisa dari keganasan perang tersebut, banyak pula telah diangkut ke negeri Belanda.
Karya sastra lama Aceh sebelum pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Aceh sampai pada tahun 1924, belum pernah ditulis dalam bentuk prosa (haba), akan tetapi selalu ditulis dalam bentuk puisi (narit mupakhok) yaitu kata atau ucapan bersanjak seperti pantun, nasib, kisah, dan hikayat, sedangkan karya sastra keagamaan yang berbentuk puisi disebut ?nalam?(nazam).
Kalau melihat kepada kandungan isinya, secara garis besar hikayat dapat dibagi kepada: hikayat agama, sejarah, safari, peristiwa, jihad, dan cerita (novel). Adapun yang menjadi ciri khas hikayat-hikayat Aceh, antara lain: dimulai dengan Basmallah, kemudian tokoh-tokoh utama yang bermain dalam hikayat adalah manusia yang taat kepada Allah, berakhlak mulia, berwatak pahlawan, berhati budiman dan berpendidikan agama yang sempurna, selain menguasai berbagai kitab agama, mereka juga menguasai ilmu hikmat, ilmu mantera dan ilmu politik.
Syair-syair karya sastrawan perang dimasa Nabi seperti karya Hasan bin Tsabit, Ka?ab bin Malik dan Abdullah Rawahah telah mempengaruhi sejumlah ulama sastrawan Melayu Aceh, sehingga muncullah kesusasteraan epos (hikayat jihad) yang telah menggemparkan dunia penjajah seperti Hikayat Prang Peuringgi, suatu karya sastra perang yang bertujuan membangkitkan semangat jihad rakyat Aceh untuk melawan Portugis. Kedua, Hikayat Prang Kompeuni, buah karya seorang ulama pahlawan yang bernama Abdul Karim, yang lebih dikenal dengan sebutan Do Karim. Di sini beliau berhasil melukiskan Perang Aceh yang heroik pada abad XIX. Dan Hikayat Prang Sabi karya penyair Teungku Chik Pantee Kulu, dalam membakar semangat perang sabil Rakyat Aceh bertempur melawan kolonialis Belanda, yang menurut penilaian para ahli sejarah Hikayat Prang Sabi ini kalau tidak melebihi, sekurang-kurangnya menyamai Ilias dan Odyssea, karya sastra epos yang diciptakan pujangga Homerus dizaman ?Epis Era? Yunani sekitar tahun 900-700 SM.
Dari uraian-uraian di atas jelaslah, bahwa ajaran Islam telah menjadi darah daging bagi rakyat Aceh dan mempengaruhi segala segi kehidupan dan penghidupannya, dengan kata lain, kesusasteraan Melayu Aceh pada hakikatnya adalah kesusasteraan Islam, atau setidak-tidaknya kesusasteraan yang berjiwa dan bersemangat Islam.
Secara tradisional, masyarakat Aceh sangat menggemari hikayat yang selalu diciptakan dalam bentuk puisi. Reputasi seorang penyair dalam masyarakat ialah pada kemampuannya menyampaikan hikayat secara lisan dengan kemerduan suara dan kelihaian mengolah irama. Para ulama yang menjadi panutan masyarakat, menyadari keadaan tersebut dan mengarahkan untuk kepentingan dakwah, baik untuk menanamkan ajaran agama secara sederhana kepada anak-anak maupun untuk lingkungan yang lebih luas. Untuk sekedar contoh penulis turunkan disini satu petikan puisi dalam bentuk terjemahan yaitu Ratib dalam ikatan Sanjak.
?La Ilaha Illallah, Tuhan yang sah wujud Esa,
Arti Wujud ada Zat Tuhan, sarwa alam jadi dalil-Nya,
La Ilaha Illallah, Tuhan yang sah Qadim Esa
Arti Qadim awal Tuhan, tak berhingga tak bermasa?
Para ibu di rumah sering memetik lagu ratib tersebut sebagai lagu nina bobo. Secara tidak langsung, ikatan puisi yang dinyanyikan oleh ibu ini melekat ke dalam ingatan si anak, dan menjadikan ia akrab dengan bentuk-bentuk puisi yang ada dalam tradisi sastra Aceh.
Kini adakah syair-syair demikian yang mampu membentuk sikap dan pola pikir jernih dan kritis? Syair-syair yang kerap disebut sebagai sastra kontekstual yang berbicara atas nama zamannya dan kondisi masyarakat sambil tak lupa membawa misi religius dan turut membentuk kepribadian generasi baru, bukan syair-syair melankolis yang mengeksplotisir kecengengan dan romantisme individual?
*)Staf SOSMAS BEMA IAIN AR-RANIRY.