Sastra Perang Ternyata Sudah Ada Sejak Dulu

Susianna
suarakarya-online.com

Sastra yang bersandar pada tema perang menjadi bahasan utama sejak jaman dulu. Umpamanya cerita Mahabharata atau Ramayana dari India, Samkok dari China, serta karya Shakespeare hingga Albert Camus. Di Indonesia sejak Mpu Panuluh sampai Pramoedya Ananta Toer, yang menjadikan perang sebagai sumber utama inspirasi. Perang dan sastra agaknya telah menjadi semacam perkawinan abadi, yang antara lain melanggengkan jalan kebudayaan, melanggengkan kehidupan manusia.

Maka tak heran sastra berkaitan dengan perang dan genre satra perang teryata juga digemari pembaca. Paling tidak bisa disimak dari hasil studi pustaka di seputar karya-karya sastra yang bersangkutan dengan perang. Di samping itu hasil dari kuestioner yang disebarkan di kalangan pembaca sastra. Tercatat 95 persen yang berpendapat ada kaitan sastra dengan perang dan 70 persen berpendapat perlu gentre sastra perang.

Hasil survey tersebut dipresentasikan Damhuri Muhamad dari Bale Sastra Kecapi sebelum memasuki Diskusi Sastra dan Perang di Bentara Budaya, Jakarta Selatan. Rabu pekan lalu. Tampil sebagai pembicara mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef (80) sebagai budayawan, sastrawan Arswendo Astmowiloto dan sejarahwan Asvi Warman Adam.

Dipandu Radhar Panca Dahana, Doed Joesoef berpendapat, sejak jaman dulu sudah ada satra perang dalam cerita pewayangan. Ketika masa kanak-kanak, Daoed bukan mengenal cerita perang melalui wayang, tetapi melalui hikayat yang dalam komunitas Aceh disebut Perang Sabil melawan kompeni.

Berbicara perang, menurut Daoed Joesoef ada sisi negatif dan positif. Dari sisi negatif menimbulkan penderitaan terutama di kalangaan wanita dan anak-anak serta trauma yang berkepanjangan seperti yang pernah ia hadapi. Dari sisi positif perang merupakan sumber pengetahuan, pembentukan karaker dan tatanan dunia baru. Namun perang harus tetap diwaspadai.

Dalam kaitan dengan sastra Daoed menilai kekuatan sastra bukan karena ia memapar realitas dengan tepat, tapi karena ia telah menggambarkan dunia yang tidak riil atau abstrak begitu rupa hingga kelihatannya seperti riil, padahal realitas itu sendiri tidak mirip dengan gambaran tersebut.

Sumber Sejarah

Mengambil topik Perang Yang Tak Pernah Selesai, Asvi Warman mengutip pengantar Mochtar Lubis dalam novelnya Maut dan Cinta. Antara lain sastra yang baik selalu merupakan sebuah cermin masyarakat. Sastra memang bukan tulisan sejarah dan juga tidak dapat dijadikan sumber penulisan sejarah. Sastrawan yang baik akan dapat menampilkan pengalaman manusia dalam situasi dan kondisi yang berlaku dalam masyarakatnya.

Walaupun tidak ikut secara langsung dalam operasi tahun 1947, Mochtar Lubis di dalam buku Maut dan Cinta secara hidup menggambarkan perjuangan sekelompok pemuda menembus blokade Belanda. Mereka menukar komoditi di Sumatera dengan senjata dari semenanjung Melayu dan Thailand untuk digunakan pasukan republiken.

Meskipun ada pendapat sastra bukan tulisan sejarah, namun menurut Asvi kurang tepat bila dikatakan sastra tidak dapat dijadikan sumber sejarah. Sebagai contoh novel Maut dan Cinta dapat dijadikan rujukan untuk memahami perjuangan mempertahankan kemerdekaan tahun 1947 melalui barter barang ke negara tetangga.

Asvi mengutip pandangan sejarahwan dan sastrawan Kuntowidjopjo, sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang dengan kata lain kebenaran bersifat subyektif. Pengarang memiliki kebebasan penuh. Ia hanya dituntut agar taat asas dengan dunia yang dibangunnya sendiri. Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedangkan sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya.

Berbeda pendapat Arswendo Atmowiloto, barangkali karya sejarah yang jujur. Sedemikian jujurnya sehingga ia tidak berpretensi sebagai karya sejarah. Ia bisa didekati sebagai karya sejarah atau catatan sejarah, atau mengambil bahan sejarah sebagai data atau fakta. Namun unsur subyektivitas untuk pengarang yang kreatif dengan imajinasinya lebih berperanan.

Realitas dalam karya sastra juga karya seni pada umumnya adalah realitas yang diciptakan. Ia bisa setia dan menggambarkan realitas keseharian, tapi memberikan makna yang berbeda. Atau bahkan kisah yang berbeda. Sebagai contoh baris puisi Chairil Anwar ….. gerimis mempercepat kelam. Atau juga bait puisi Rendra ..langit biru bagai kain tetoron. Demikian juga puisi Sapardi Djoko Damono apa yang dikatakan kayu kepada api sebelum jadi abu.

Mengacu pada topik Sastra (Sepi) Perang, menurut Arswendo untuk tema perang sekalipun atau sejarah, atau biografi, tak terhindarkan adanya “warna tetoron” atau “percakapan kayu”. Bahkan di sinilah letak keunggulan karya sastra atau berbeda.

Sebagai contoh data dan fakta dari peristiwa yang sama pun bisa jauh berbeda seperti komik karya Abdulsalam yang terbit di tahun 50-an bertajuk “6 Jam di Yogya”, di mana sama sekali tidak menyinggung pasukan janur kuning yang menjadi pasukan istimewa dalam membebasnkan Yogya pada film Pasukan Janur Kuning atau Serangan Fajar.

Asvi menambahkan hingga sekarang masih ada penerbitan novel sejarah seperti Gajah Mada sebanyak lima jilid ditulis Langit Kresna Hariadi, novel Pangeran Diponegoro oleh Remy Silado yang direncanakan empat jilid, tetapi baru terbit jilid pertama yaitu Menggagas Ratu Adil. Selain itu novel September ditulis Noorca M Massardi yang berangkat dari Peristiwa G30 September 1965. Tentunya melalui riset perpustakaan menceritakan siapa dalang di balik peritiwa keji itu.

“Orang yang tahu tentang peristiwa itu pasti bisa menebak. Karena penulis menuliskan semua nama – nama sebenarnya, tetapi dibalik-balik,” ujar peneliti LIPI itu.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *