SUARA

Yetti A. KA
jawapos.com

Suara itu terus menggeram, setiap pagi, sepanjang siang, serupa bulu ulat menancap di sekujur tubuh; menempel di kulit, rambut, mata, telinga, jempol kaki, hidung, atau bibir, dan dia masih bisa berkata, ”Itu hanya suara ayam. Kenapa kau begitu risau.”

”Suara itu mulai mengerikan.” Aku sedikit tegang.

”Suara itu tidak akan menggigitmu.” Dia berdiri di depan cermin, memberi minyak dan menyisir rambut.

”Aku tidak tahan.”

”Please…” Dia mendekat padaku. Mengelus kepalaku lembut, ”Kita coba beberapa hari lagi, kalau kau tidak juga betah, kita cari rumah lain.”

Aku hampir menangis. Entah karena kelewat emosional atau terharu atau terlalu bingung dengan perasaanku yang kacau sejak kami menempati rumah baru ini.

Ada banyak alasan, memang, kenapa aku begitu kecewa ketika suamiku bilang bahwa dia sudah menemukan rumah yang pas untukku (suamiku sering bilang begitu karena dia seorang pelaut, pulang setahun sekali, dan rumah hampir tidak berarti apa-apa baginya). Rumah itu, katanya, rumah yang sederhana, bercat putih, lantai keramik, dapurnya cukup layak, salah satu kamar tidur dilengkapi kamar mandi, di belakang rumah masih ada lahan kosong yang bisa dimanfaatkan untuk bertanam sayuran organik, semacam bayam atau sawi. Terlebih lagi, dia menjelaskan, di sana masih banyak pohon-pohon besar dan tanah bersemak yang membuat udara terasa alami. Anak-anak bermain lepas, kadang berlari tanpa sandal di atas rerumputan, mirip suasana kampung. Bukankah kau ingin ganti suasana. Bertahun-tahun tinggal di perumahan padat jelas membosankan, apalagi kau tidak suka gaya hidup ibu-ibu yang suka arisan, bersaing membeli perabotan, saling iri, bergosip yang tidak-tidak. Pokoknya kau pasti suka rumah itu. Sangat cocok untuk seseorang yang kepingin menyepi, menemukan pagi jernih, sebab kau bilang sendirian di tengah hiruk pikuk kehidupan orang lain hanya akan membuatmu semakin terasing.

Berhari-hari aku membayang-bayangkan bentuk rumah baru itu. Aku sangat antusias ingin melihatnya sendiri sebelum kami benar-benar pindah. Tapi, kata dia, tidak enak bolak-balik ke sana, orang lama masih akan menghuni beberapa hari lagi sebelum mereka pindah pula ke rumah kontrakan baru. Nanti dikira kita tidak sabar, bujuknya. Aku maklum. Apa salahnya sekali-sekali urusan hidupku kuserahkan sepenuhnya pada dia. Sejak kami kenal pertama kali di musim liburan hingga memutuskan menikah di musim liburan berikutnya, kukira belum banyak yang telah ia lakukan untukku, paling-paling uang bulanan di mana sisanya bisa kutabung sedikit. Hitung-hitung biarlah ia memberiku semacam kejutan pengganti kado ulang tahun perkawinan yang belum pernah sekalipun dia lakukan. Dia memang tidak terlalu romantis, ditambah lagi kesempatan yang tidak pernah datang tepat waktu. Itulah risiko memilih seorang pelaut, dia sering menyentilku rada nakal. Aku memanyunkan bibirku, lalu kami tertawa kecil, agak miris.

Dan rumah inilah yang telah ia pilihkan untukku. Rumah mungil dan cantik, memang, kecuali beberapa hal yang benar-benar mengejutkanku. Betapa tidak, ternyata di belakang rumah itu, tepatnya di samping dapur, terdapat satu kuburan tua. Sampai kapan pun mungkin aku tidak tahu itu kuburan siapa. Aku sengaja tidak mendekati kuburan itu, membaca nama dan tanggal lahir dan kematian yang tertera di batu nisan. Aku juga tidak mungkin bertanya pada pemilik rumah yang tinggal di tengah kota, kira-kira sepuluh kilo jaraknya. Aku lebih suka pura-pura tidak tahu. Seolah-olah tidak ada kuburan di samping dapurku, yang juga artinya aku urung bertanam sayuran organik seperti yang sudah kuangankan jauh hari.

”Tidak beriman namanya kalau kau takut kuburan,” seloroh suamiku untuk menutupi kesalahannya yang tidak memeriksa lebih seksama halaman belakang sebagaimana yang kupesankan berkali-kali sebelum dia memberikan uang kontrakan untuk dua tahun ke muka pada pemiliknya.

Aku tidak menanggapi. Tanpa aku terangkan dia sudah tahu aku paling tidak suka segala sesuatu yang menyangkut kematian; kuntum-kuntum bunga, obituari, prosesi, dan berbagai seremoni kematian. Semua itu dapat saja membuatku kedinginan secara mendadak atau sakit kepala berhari-hari.

Malam harinya aku tidak tidur. Aku sibuk memikirkan apa aku bisa bertahan di rumah ini seorang diri saat dia kembali lepas ke laut selebu, pulang pada asin dan angin. Mungkin aku bisa mengajak seorang kerabat, hiburku. Akan kucoba membicarakannya dengan keluargaku, secepatnya, sebelum suamiku dapat panggilan, memulai kontrak baru bersama kapal asing bulan depan. Menjelang pagi aku dapat sedikit lega meski belum bisa tersenyum.

”Sudah hampir pagi, kau benar-benar tidak ingin tidur?”

Aku melirik dia yang setengah terjaga dan masih terlihat sangat mengantuk, kukatakan, ”Tidak.”

Dia kembali tertidur dan pagi mengubit kulitku yang terasa kering. Aku mengerang karena ngilu serta merta menyerang tulang kakiku. Udaranya benar-benar sangat dingin, itu artinya sepanjang hari nanti cuaca akan panas. Aku tahu tentang itu dari dia. Dia paham sekali soal tanda-tanda alam. Dia mengajariku.

Lalu, aku tidak akan pernah lupa, pada pagi itulah keributan kecil berlanjut antara kami saat aku mendengar sesuara yang begitu rapat, beruntun, bergelombang. Lama-lama suara itu seolah menjelma bola-bola raksasa dan berebut masuk ke telingaku. Aku bangkit. Tidak tahan. Aku ke dapur. Kutinggalkan dia yang masih ditutup selimut. Kubuka jendela kecil di sudut dapur –satu-satunya jendela yang menghadap ke Timur– dan betapa terhenyak kala kudapati ratusan atau ribuan ayam terkurung dalam sejumlah kandang bambu. Kepala ayam-ayam itu menjulur keluar di antara bilah-bilah bambu yang menyokelat. Aku menjerit, berlari ke kamar, kupukul dia bertubi-tubi, dan dia membiarkan saja hingga aku kelelahan dan puas dan jatuh di atas kasur.

”Apa kau benar-benar tidak tahu di balik dinding rumah ini ada peternakan ayam,” tanyaku lemah.

Dia diam. Dan kupikir dia tidak tahu sama sekali soal itu.

”Kau benar-benar ceroboh,” tudingku sengit.

Semenjak berbagai kasus flu burung disiarkan di TV, aku berusaha setengah mati menghindari unggas. Kupikir semua orang juga begitu. Diserang fobia. Siapa sih yang bisa tahan jika berhari-hari disodori berita sedemikian menyeramkan, kematian yang dapat mengarah pada siapa saja secara tidak terduga. Karena itu aku benci sekali pada ayam atau unggas lainnya. Lantas bagaimana bisa aku menghadapi kenyataan bahwa aku akan hidup berdekatan dengan ratusan atau ribuan ayam berbulu kemerahan itu untuk dua tahun ke depan.

”Aku betul-betul ngeri,” kataku tawar.

Dia tetap tidak bicara apa-apa kecuali matanya yang seakan-akan bicara: kau mulai berubah. Serba keterlalulan. Pagi-pagi sudah bikin keributan dan itu membuat perasaan siapa pun bisa berantakan. Itu hanya ayam. Di kampung-kampung semua orang juga memelihara ayam. Aku tahu bukan itu sesungguhnya yang merisaukanmu. Kau tengah ketakutan dan tidak pernah menemukan alasan yang tepat.

Kau benar, kataku gemetar. Aku memunggungi dia dan semakin tahu kalau dia tidak akan pernah ada untukku, baik saat berada di sampingku atau berada sangat jauh dariku.
***

Suara itu terus menggeram, setiap pagi, sepanjang siang, serupa bulu ulat menancap di sekujur tubuh; menempel di kulit, rambut, mata, telinga, jempol kaki, hidung, atau bibir, dan aku coba meyakinkan diri: itu cuma suara ayam. Ia tidak akan melukaimu. Jangan takut.

Jika tidak juga berhasil, biasanya aku mengalihkan perhatian dengan membongkar koran-koran lama. Atau membuka album foto perkawinan bertema biru laut. Tapi suara itu tetap saja mengusikku. Membuatku memikirkan yang tidak-tidak. Ditambah lagi jika aku tidak sengaja melongok ke kaca jendela samping yang tembus pandang ke halaman belakang, ke sebuah kuburan tua. Tubuhku langsung keringatan seperti habis berlari.

Setelah gagal membujuk sepupuku untuk tinggal di rumah ini, sebenarnya aku sudah berencana mencari rumah lain. Namun betapa tidak mudah menemukan rumah yang ideal, memenuhi harapan sebuah rumah yang benar-benar kuidamkan. Kalau masih ada kurang di sana-sini, untuk apa buru-buru pindah. Toh tetap saja akan mengganjal nantinya. Biarlah aku bertahan beberapa waktu lagi, sekurangnya satu tahun, sampai dia pulang.

Hanya saja, beberapa hari lalu, bukankah dia mengisyaratkan tidak pulang tahun depan. Katanya, dia tengah berada di Singapura dan kemungkinan besar saat habis kontrak dia akan berada di Jakarta saja, ke tempat adik perempuannya. Bahkan dia menyarankan agar pindah saja dari rumah ini tanpa menunggu dia bila aku benar-benar tidak suka. Aku ingin bertanya: Apa maksudnya begitu, rencana yang tidak masuk akal dan mengada-ada. Kau pasti berbohong atau menyimpan sesuatu dariku. Tidak jadi. Aku justru berdesah, ”Oh” dan telepon ditutup. Setelah itu aku mulai membayangkan musim libur nanti dia pulang ke rumah perempuan lain, melengkapi berbagai rumor asmara seorang pelaut. Besok-besoknya dia tidak lagi meneleponku. Saat kuhubungi hp-nya tidak aktif.

Akhirnya aku memang harus berjuang sendirian melawan kebencianku pada suara ayam-ayam itu, juga kuburan tua di samping dapurku, tanpa dukungan dari dia walau sekadar lewat telepon. Terutama pada pagi hari yang sangat sepi di mana daun-daun rambutan kadang melayang di atap rumah dan kengerian menyusup aneh ke dalam tubuhku. Berkali-kali aku muntah. Kulitku kelihatan pucat. Aku jatuh sakit meski dokter bilang aku baik-baik saja dan menyarankan agar aku lebih sering menikmati matahari pagi di luar rumah, bertemu orang lain atau teman lama. Pada kunjungan yang kedua dokter itu menyarankan supaya aku cepat-cepat punya momongan untuk mengatasi kesepian. Aku bilang suamiku bisa jadi pulang ke rumah perempuan lain mulai tahun depan. Dokter itu tertawa dan menganggapku sedang melucu (bisa jadi karena dia lelaki). Kuceritakan soal ketakutanku pada suara ayam dan kuburan di samping dapurku. Dia curiga aku depresi dan memintaku untuk menemui seorang psikolog.

Aku mengabaikan saran dokter itu.
Aku merasa tidak sakit jiwa.
***

Kemudian lelaki muda itu datang padaku. Seorang mahasiswa tingkat pertama yang berniat indekos. Aku membukakan pintu rumah dan memberikan kamar belakang untuknya tanpa harus membayar sedikit pun. Kami langsung akrab. Usia kami berjarak belasan tahun. Dia manis dan menyenangkan, sedangkan aku, katanya, mirip paras ibunya.

Kehadiran lelaki muda itu membuatku lebih tenang. Pagi hari ketika suara ayam menggeram dan aku mulai tidak nyaman, dia datang kepadaku, memberikan kehangatan kedua tangannya. Menurutnya tidak apa-apa jika aku tetap membenci suara ayam-ayam itu atau kuburan di samping dapurku. Biarkan saja semua mengalir dalam diriku. Semua kengerian itu, semua keanehan yang belakangan makin sering menggoda pikiranku. Kenapa harus dilawan seolah-olah semua itu suatu kesalahan.

Aku suka cara dia menanggapiku. Sederhana dan tidak menyudutkan. Jika saja dia lelaki dewasa dan aku tidak mirip ibunya, mungkin pula aku sudah bermimpi suatu saat akan menumpangkan kepalaku ke bahunya setelah suamiku tidak juga memberikan tanda-tanda bakal pulang padaku tahun ini. Tapi mana bisa aku memanfaatkan keluguannya itu untuk menyeretnya ke dalam affair berbahaya.

Aku tahu aku tidak punya peluang.

Meski begitu ada banyak kecurigaan yang mengarah pada kami. Berkali-kali kukatakan pada tetangga kalau aku mirip sekali dengan ibu lelaki muda itu. Mana mau mereka percaya. Kukatakan pula aku sengaja mengajak lelaki muda itu tinggal bersamaku karena dia seorang mahasiswa yang kadang tidak punya banyak uang dan kebetulan aku takut sendirian. Selama ini aku kesepian dan itu membuatku sedikit kacau. Kutambahkan juga tentang suara ayam dan kuburan tua di samping dapurku. Tetap saja mereka menuduh kami berbuat tidak senonoh dan itu menyinggung harga diri mereka. Mereka sempat mengusirku secara halus. Aku memilih menutup pintu rumah rapat-rapat, memutuskan bertahan.

Hanya dua minggu setelah itu, tepatnya pada tengah malam aku mendengar orang-orang berteriak di depan rumah, ”Tukang selingkuh!”, ”Murahan!” , ”Binal!”. Beberapa menit kemudian suara itu bergejolak dan tidak terkendali. Aku mengira sudah terjadi kekacauan di luar. Mereka berteriak ”Api!”, ”Api!”, ”Api!”

Benar saja aku melihat api itu membumbung tinggi tepat di samping rumahku. Orang-orang terlihat panik. Mobil pemadam kebakaran segera berdatangan. Susah payah aku mengeluarkan sejumlah buku dan koleksi kain yang dibawa suamiku dari berbagai tempat. Sehabis itu aku tidak tahu apa-apa. Saat terjaga aku sudah berada jauh dari rumah itu dan lelaki muda itu tidak lagi bersamaku.

Belakangan aku mendapat cerita tentang kebakaran itu, seorang pemuda mabuk bermaksud melempar obor ke atap rumahku, namun meleset dan api itu justru menyambar peternakan dan menjalar dengan sangat cepat. Untung api itu cepat dipadamkan sehingga sejumlah rumah di sampingnya tidak ikut terbakar.

Ah, masih sempat kudengar suara ayam-ayam itu untuk terakhir kali. Menggeram panjang bersama suara benda-benda terbakar.
***

Suara itu seharusnya menggeram, setiap pagi, sepanjang siang, serupa bulu ulat menancap di sekujur tubuh; menempel di kulit, rambut, mata, telinga, jempol kaki, hidung, atau bibir, namun kini hanya ada keheningan yang dalam.

Nyeri, memang, saat aku sudah terbiasa membenci sesuatu dan tiba-tiba tidak merasakan lagi kehadirannya. Tidak begitu jauh rasanya ketika aku mencintai seseorang dan ia menghilang dari hidupku atau saat aku terbiasa menunggu kedatangan lelaki itu namun dia tidak pernah pulang untuk menjawab penantianku sebagaimana seorang pelaut yang pulang pada daratan.

Berhari-hari aku termenung di rumah kontrakan baru yang kubayar dengan sisa tabungan yang tidak seberapa lagi. Aku kesepian. Tanpa siapa-siapa. Tanpa sesuara mengangguku. Dalam satu kesempatan lelaki muda itu menemukanku, dan dia berterus terang bahwa dia bohong tentang aku yang mirip paras ibunya, dan melanjutkan dengan agak terbata kalau dia ingin sekali menyayangiku.

Aku katakan, maaf, aku mau menunggu dia meski aku tahu dia tengah minggat ke rumah perempuan lain.

Dia diam. Barangkali setelah ini aku benar-benar tidak akan pernah lagi mendengar suara apa pun, selain suara dari dadaku.

Jalan Enam Mei, Agustus 2008.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *