Restoe Prawironegoro Ibrahim
http://www.lampungpost.com/
MATAHARI tampak cemberut dan berjingkat. Tak lebih dari semenit, tubuh kekar terlentang sudah dikerumuni orang. Kerumunan semakin bertambah, bagai gerombolan kumbang pulang ke sarang. Orang-orang berkerumun membentuk garis tengah lingkaran yang semakin melebar. Titik perhatian: Tubuh Surip jibrat darah. Muka benjol-benjol. Dari pelipis kiri mengucur darah. Baju putih berlepotan warna merah.
Lalu lintas di jalan raya jadi semrawut. Kendaraan dari dua jurusan– utara dan selatan–tak bisa bergerak. Bunyi klakson mobil, stater sepeda motor. Depan kantor Gubernur berubah jadi pasar malam karena ketiga bioskop bubar hampir bersamaan dan memuntahkan penonton lewat pintu keluar.
Dua polisi lalu lintas membunyikan peluit keras-keras. Otot di leher tegang. Tapi peluit yang ditiup tak mampu mengalahkan bunyi klakson kendaraan yang ditekan keras-keras. Bola api bundar tersenyum.
Di tengah kerumunan, tiba-tiba lelaki berkaca mata putih berteriak: “Copet! Copet!” Tangannya menuju anak lelaki bercelana pendek. Dalam sekejap, pencopet tertangkap. Dari segala arah melayang bogem. Pencopet bercelana pendek diringkus polisi lalu lintas. Dompet kulit ular jatuh di jalan. Maka pencopet sudah sulit untuk dikenali.
Kurang dari semenit, kerumunan sudah terbagi dua. Melingkari polisi yang memanggil si muka memar. Sedang sebagian lagi tetap merubung tubuh kekar. Begitu terdengar bunyi letusan pistol lebih dari tiga kali, kerumunan orang sudah meminggir ke trotoar.
“Ayo minggir! Bubar!” teriak petugas berkumis tebal, berseragam hijau, bertopi baja putih bertuliskan pi-em. Yang tak segera minggir ditendangi sepatu hitam berstrip putih. Pi-em lainnya mengayun-ayunkan pentung karet hitam (kenut) mengenai punggung. Yang terkena hanya bisa nyengir.
Tubuh kekar terlentang segera dinaikkan jip. Dilarikan ke rumah sakit. Kerumunan orang mulai berkurang. Dua polisi lalu lintas sibuk menyuruh jalan pengendara mobil, sepeda motor. Di trotoar para pejalan kaki masih enggan beranjak.
Sedang matahari tetap membakar di atas tugu.
***
Surip berdiri di depan cermin oval. Dirabanya pelipis sebelah kiri. Bekas jahitan sedikit terasa sakit. Jari-jemari turun dan meraba benjolan di bawah mata. Warna kebiru-biruan masih tersisa. Surip memoncongkan mulut. Bibir bawah menggantung, lebih besar dibanding bibir atas. Surip jadi ketawa sendiri karena melihat mulutnya di kaca hias, yang dirasa lucu persis moncong tikus.
“Rip, ada teman-temanmu,” ucap perempuan dari ruang tamu.
“Suruh masuk, Mak,” sahut lelaki kekar dari dalam.
Surip mengambil sisir. Menyisir rambut. Jambul di bagian depan ditarik ke muka, lalu ditekuk ke dalam. Begitu membuka kain korden, lima temannya langsung memecahkan ruang tamu, sebelum Surip sempat duduk.
“Pak, kita siap berjibaku!” ucap lelaki pendek berbibir tebal.
“Zaman revolusi sudah lewat. Berjibaku sama siapa, hah?” Surip balik bertanya.
“Lo, Koen ini bagaimana, toh. Kita-kita ini kan ibarat satu tubuh, satu darah. Kalau kau dicubit orang, kita kan juga merasakan sakit. La, kalau kau diamblaki orang kaya begini ini, apa awak-dewe cuma disuruh diam. Disuruh bungkam! Nggak bisa Rip. Harus kita balas penghinaan macam itu dengan balasan setimpal,” ucap lelaki kekar berambut crew-cut.
Surip hanya terdiam. Teringat peristiwa di atas trem listrik. Minggu siang. Itu dianggapnya hari nahas yang terjadi pada dirinya. Tetapi Surip merasa yakin tak bersalah. Soalnya gadis yang berada di dekatnya memang hanya sendirian. Dan kalau ia menegur, itu kan bukan suatu kesalahan. Soalnya cuma ada yang merasa tersinggung.
Di gerbong, trem listrik jurusan Tanjung siang itu memang separonya terisi penumpang para lelaki–berseragam putih-putih berkerah lebar, bertopi putih bersimbol jangkar. Seorang kelasi berperawakan kurus yang berdiri di dekat Surip merasa tersinggung karena tak memperoleh tanggapan dari gadis kuning langsat. Sedang Surip enak saja bicara-bicara dengan gadis itu. Surip disenggol berkali-kali tapi tetap tak acuh. Kelasi bertubuh kurus itu ternyata bertindak semborono. Memegangi jambul Surip dan mengelus kepala. Sedang kelasi lainnya tertawa lepas.
“Bung, jangan sembrono. Ini kepala bukan milik moyangmu!” ucap Surip sambil menepiskan tangan kelasi itu.
Sorot mata lelaki berseragam putih itu tajam ditujukan kepada Surip. Dan lelaki bertubuh kekar itu tak undur selangkah pun. Sedang ketawa di gerbong trem listrik bertambah meledak. Harga diri Surip muncul. Ubun-ubun sudah panas. Napasnya turun naik. Wajahnya merah padam.
“Bung, kalau berani jangan pakai baju dinas. Ayo turun!” tantang Surip.
“Lo, kau berani sama kita orang!” jawab kelasi kurus.
Begitu tangan kelasi itu mau mendarat ke muka, Surip segera berkelit dan melayangkan genggaman tangan kanan persis di hidung. Darah segar mengucur dari jas lubang hidung. Tangan kiri Surip yang telah terbiasa dipukulkan ke sansak itu segera dilayangkan ke perut kelasi. Terhuyung-huyung dan terkulai di lantai gerbong.
Saat itulah Surip segera dikeroyok. Mukanya dipukuli, walau tubuh kekar itu sudah berusaha menahan dengan kedua tangan, menutupi bagian muka. Begitu Surip meminggir dekat pintu, ada kaki yang mendorong, dan ia terjatuh di jalan. Sedang trem listrik terus berjalan.
Surip baru siuman ketika di kamar RSU Darurat. Dan ia melihat emaknya sudah duduk di tepi ranjang berseprei. Juga ada tiga temannya laki-laki serta Siti Laila yang tampak cemas.
***
“Rip, kamu jangan bikin malu emak. Jangan cemarkan nama bapakmu. Coba kamu pikir, umurmu sekarang berapa? Bapakmu dulu seumur kamu sudah jadi tentara. Sudah berani melamar mamak, dan setahun kemudian lahir kamu. Tapi kamu–berhenti sejenak, mengambil bulatan tembakau susur sebesar telur merpati, dan dipeganginya–grudak-gruduk tak punya kerjaan, persis orang gendeng–susur masuk mulut, digeser ke pojok kiri. Kamu pikir kalau sudah senang tawuran, apa kamu lalu disebut jagoan! Untung Pak Tele–lengkapnya Teleran–yang jadi pi-em, yang bawa kamu ke rumah sakit ini, teman bapakmu. Kalau nggak kenal bapakmu, kamu tentu diseret ke markas dan disel,” ucap perempuan sambil nuding muka Surip.
Lelaki kekar–anak semata wayang ini–cuma diam dan mengelus-elus jambulnya. Mak meludah di paidon terbuat dari bahan kuningan. Tembakau susur sebesar telur merpati di taruhnya di wadah penginangan juga terbuat dari ukiran kuningan.
“Kamu sudah gede, Rip. Teman-teman perempuan sebaya kamu sudah punya anak. Mak seharusnya juga sudah nggendong cucu. Lah kamu ini masih kluyuran sama Bondet, Gofur, Bonek, Cakung, Plontos, Dopmble, Pencong, Kampret, Jephek, Embut, dan teman-teman kamu lainnya yang tidak jelas apa kerjanya. Kau pikir Laila akan kamu beri makan kereweng, atau kerikil! Kamu jangan mlongo koyo kethek ketulang, Rip?!” ucap mak.
Surip tersenyum. Yang disebut mak mulai dari Plontos sampai Jephek itu memang teman-temannya di kampung dan di luar kampung. Sebutan itu bukan nama asli, melainkan wadanan, yang akhirnya melekat, dan menggeser nama pemberian orang tua masing-masing.
“Mak, yang ingin kawin dengan Siti Laila, itu siapa? Kalau Surip belum punya kerja, kan ya nggak berani kawin,” ucap Surip. “Apa mak sendiri yang kebelet sama Laila?!” lanjutnya.
“Kamu ini gendeng, apa!” sahut mak, sambil menyahut susur dan dilemparkan ke muka anaknya. Tapi Surip berhasil menangkis dengan tangan kiri, dan mengenai kucing yang sedang tidur.
Kucing terbangun, dan ngeeeooong, lalu lari. Matahari di pagi hari tampak menggeliat. Mak sibuk di dapur. Surip latihan di luar rumah. Mengangkat halter. Main tali dan loncat-loncat. Menarik reksando di depan dada dan di belakang punggung. Menarik ketrol. Dan sansak di gantungan pohon mangga dihantamnya berpuluh kali.
Anak-anak kecil bergerombol dan terkagum-kagum pada lelaki kekar, yang biasa dipanggil Cak Urip ini.
***
Perawakan Surip sudah tak tampak kekar lagi. Gemuk. Pipinya kelihatan tembem. Kalau siang lebih suka tiduran di kamar. Melamun. Suka membayangkan Siti Laila, yang kini sudah punya tiga anak, menikah dengan pelaut.
“Rip, bangun. Sudah Lohor. Ayo makan sana,” ucap mak, yang tetap sayang kepada anak satu-satunya di rumah ini.
Surip menggeliat. Matahari di atas genteng berjalan merambat.
“Rip, kau jangan terlalu sering keluar malam, kalau tak ingin paru-parumu terkena embun,” ucap lelaki duduk di kursi.
Surip tak banyak omong. Masuk kakus dan jongkok. Di kepala terlintas tiga anak kecil, lucu, berlari-lari. Anak-anak yang lahir dari rahim Siti Laila.
Omongan mak memang benar. Grudak-gruduk memang tak ada guna. Tapi itu semua bukan atas kehendak Surip sendiri. Lingkungan yang menjadikan dirinya perlu latihan fisik agar tubuh terpelihara dan seliat smackdown–yang sekarang dilarang ditayangkan–atau Gladiator Romawi yang kerap ditonton bersama teman-teman.
Kalau Surip ke luar rumah membawa roti kalung, itu karena teman-temannya juga ada yang membawa rantai sepeda, gir, ada juga pisau lipat. Tetapi Surip tak suka. Bila berkelahi satu lawan satu atau tawuran main keroyok, ia lebih jantan bila sudah mengendalikan kedua genggaman tangan.
Surip memang tak gentar hadapi tiga-lima orang. Dan itu dibuktikan ketika usai nonton film dengan Siti Laila. Gara-gara perawan berambut panjang ini disenggol dengan sengaja pada bagian payudara, Surip tak banyak omong. Surip menegur, yang ditegur malah melayangkan tinju. Dan tinju Surip pun berserang berkali-kali di muka dan dada lawan. Surip dikeroyok, tapi kedua kaki mampu melayani serangan. Hingga lima lelaki itu berguling dan tersungkur di got.
Omongan mak memang tak keliru.
“Urip tak ingin jadi jagoan, Mak. Tapi kalau tak salah, apa harus diam!
Dan Surip memang berhenti keluyuran. Itu dilakukan sejak bapak Surip pulang dari tugas. Surip lebih banyak jadi pendiam karena lelaki yang dihormati itu pulang hanya dengan sebelah kaki. Bapak Surip ditugaskan menumpas pemberontakan Kapten Andi Azis di Makassar, lalu pindah ke Ambon ketika dr. Somaskil memproklamasikan berdirinya RMS–Republik Maluku Selatan–dan tugas lagi di Sulawesi Selatan saat Kahar Muzakkar membangkang dan mendirikan NII–Negara Islam Indonesia–di tempat terakhir itu Markawi banyak membinasakan musuh, walau kakinya harus jadi korban terkena pecahan mortir.
Surip yang pendiam dan sudah melupakan dayang giant versus lekeng viking memang pensiun jadi crossboy’s, ternyata tak bernasib mujur. Truk menabraknya ketika ia menyeberangi jalan. Untung bisa selamat, walau harus terbaring tiga bulan di rumah sakit. Dan dokter yang menolong dirinya memang tak sanggup menyelamatkan kelelakian Surip.
Trem listrik dan trem uang memang lenyap dari kota. Tapi Surip tetap ingin diakui warga kota. Dan hampir tiga malam Surip pasti ada di halaman taman.
“Panggil aku Urip. Urip namaku. Cakep kan,” ucap si gemuk, yang dulu kekar alias Surip ini.
“Mak, kalau Urip jadi jagoan bencong, bagaimana?!”
Perempuan dengan susur di mulut, yang kini rambutnya putih semua, cuma bisa diam. Ia tampak menghela napas panjang.
“Apa mak masih pingin ngomong cucu?!”
Mak Surip hanya mampu memandang ke muka. Kedua bola mata menembus pintu yang terbuka. Di depan pintu ada pagar. Ada jalan. Pohon. Toko. Pasar. Pasar bertingkat. Tugu. Kereta lewat di gundukan tanah. Ada lonceng di kubah kantor Gubernur. Ada matahari. Sudah tak ada lagi trem listrik dan trem uap. Kini bus yang sedang menunggu penumpang.
“Urip, anakku, kau jangan tanya itu lagi, kalau tak ingin lihat mak menangis. Setiap hari batinku menangis.” Surip bangkit dari kakus.
“Show nanti malam pasti sukses,” ucap Urip dalam hati. Malam ini Surip akan menari ular. Dua ular kobra melilit di tubuhnya.
***
Surip terlempar–atau sengaja dilempar–dari atas trem listrik. Tubuhnya jatuh berguling-guling dan berhenti seperti karung berisi beras sekuintal yang dijatuhkan kuli dari atas truk. Gerbong terakhir melaju meninggalkan tubuh kekar terlentang di jalan beraspal. Penumpang trem memajangkan leher dari jendela. Trem listrik tetap tak peduli. Terus melaju ke utara.
Jakarta, 10 Oktober 2008
————————–
*) Lahir di Surabaya, 23 September. Kumpulan cerpennya segera diterbitkan; Perempuan dan Enam Butir Peluru.