Judul: Post-kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra
Penulis: Prof Dr Nyoman Kutha Ratna SU
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2008
Tebal: xii+497 halaman
Peresensi: Lukman Santoso Az
suaramerdeka.com
KETERBENTUKAN Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga hari ini, yang meliputi wilayah dari Sabang sampai Merauke, sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa semata-mata didasarkan atas kesadaran ber-Tanah Air, berbangsa, dan berbahasa yang sama. Nasionalisme Indonesia yang begitu kuat yang lahir hampir satu abad ini disadari atau tidak merupakan akibat langsung kolonialisme.
Dengan kata lain, kolonialismelah yang dianggap sebagai faktor utama kebangkitan nasionalisme. Selain itu, membenarkan yang dikatakan Kartodirdjo (1990), bahwa realitas sejarah ini terjadi karena ada hubungan secara terus-menerus antara ciri-ciri politik kolonial dengan kebangkitan nasionalisme itu sendiri. Artinya, intensitas perlawanan bangsa indonesia tergantung dari kualitas represif pemerintah kolonial Belanda. Dan secara historis, kolonialisme di Indonesia sekaligus dengan hegemoni politik dan ekonomi beserta sistem eksploitasinya, telah terjadi sejak awal abad ke-17, yakni ditandai dengan pendirian Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) oleh Belanda. Kemudian disusul Inggris yang juga mendirikan organisasi sejenis, yaitu East Indies Company (EIC) yang berpusat di Kalkuta, India. Selanjutnya serikat dagang Belanda yang bertujuan menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara ini lebih dikenal dengan nama Kompeni. Hegemoni politik dan sistem eksploitasi Kompeni membawa perubahan dalam berbagai bidang, seperti; sistem birokrasi, industrialisasi, transportasi, edukasi, komunikasi, dan berbagai bentuk hubungan sosial lain.
Dampak Psikologis
Perubahan inilah yang membawa dampak psikologis berupa kesadaran berbangsa dan ber-Tanah Air atau bernasionalisme. Berangkat dari realitas historis itulah tampaknya buku ini hadir. Buku ini diberi judul Postkolonialisme Indonesia; Relevansi Sastra tampaknya dengan pertimbangan beberapa hal, yaitu pertama, semua pembicaraan yang berkaitan dengan teori poskolonialisme mengacu pada implikasi kolonialisme Indonesia itu sendiri. Kedua, objek yang menjadi kajian buku ini didominasi oleh masalah-masalah yang berkaitan dengan sastra, baik fiksi maupun nonfiksi. Masalah-masalah yang berkaitan dengan sejarah, pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, pada umumnya berfungsi sebagai pendukung dalam kajian tersebut.
Dalam pandangan penulis, pergeseran minat penelitian postkolonialisme menuju karya sastra, pada dasarnya disebabkan beberapa hal, antara lain, yakni banyak naskah karya sastra yang dapat dijadikan objek, karya sastra lebih menarik sebab menceritakan kehidupan manusia yang penuh kemungkinan, dan yang terpenting, dalam karya sastralah bahasa sebagai wacana, dieksploitasi sedemikian rupa sehingga semua maksud yang tersembunyi dapat dibongkar.
Hegemoni narasi-narasi orientalisme dapat ditelanjangi secara lebih tuntas dalam karya sastra, baik melalui cara-cara penyajian yang dilakukan oleh pengarang, maupun cara-cara analisis yang dilakukan pembaca. Dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif ini, tentu sejumlah karya sastra yang dianggap relevan, yaitu yang dapat menjelaskan ciri-ciri postkolonialisme. Karya-karya yang dimaksudkan tersebut mewakili keseluruhan khazanah sastra Indonesia modern, khususnya fiksi, sejak Sastra Melayu Tionghoa hingga menjelang periode 2000. Sependapat dengan Edward Said (1995), yang menunjuk novel sebagai korpus utama data penelitian poskolonialisme, dengan pertimbangan bahwa novel memiliki medium yang paling luas dan lengkap, sehingga dianggap mempunyai kemampuan tertinggi untuk menjelaskan kehidupan manusia.
Ciri-ciri Poskolonialisme
Karena sejumlah karya yang memiliki ciri-ciri poskolonialisme yang menjadi objek kajian buku ini merupakan representasi periodisasi. Karya Sastra yang menjadi objek kajian buku ini yaitu, karya sastra empat periode pertama; sastra Melayu Rendah (Tionghoa), sastra Hindia Belanda, sastra Balai Pustaka, dan sastra Pujangga Baru, yang juga disebut sebagai sastra sebelum perang, masing-masing menampilkan dua karya, sedangkan periode terakhir, periode sesudah Pujangga Baru, yang juga disebut sastra sesudah perang menampilkan lima karya.
Khazanah sastra yang dibagi menjadi periode, angkatan dan generasi tersebut tentu memiliki cirinya masing-masing. Sebut saja sastra Melayu Tionghoa misalnya, dengan menggunakan bahasa Melayu Rendah, merupakan khazanah yang sangat kaya dan beragam. Sastra Melayu Tionghoa justru banyak menjanjikan perlawanan terhadap kolonial Belanda yang cukup kental, seperti dilukisakan dalam cerita Nyai Dasima (G Francis, 1896) dan cerita Nyai Paina (H Kommer, 1900). Dalam periode selanjutnya, sastra Balai Pustaka merupakan karya sastra yang lahir pada periode ketiga, sehingga seolah-olah merupakan hasil pemerintah kolonial yang sesuai dengan tujuan pemerintah, maka wajar jika tampak tidak banyak menampilkan perlawanan terhadap penjajah. Karena itulah mungkin, sastra Balai Pustaka sering ditolak sebagai awal sastra Indonesia modern.
Cerita Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922) dan cerita Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), yang merupakan karya sastra Balai Pustaka pada umumnya menunjukkan sejumlah ciri dalam kaitan dengan kekuasaan kolonial terhadap kreativitas sastra. Nah, dalam periode selanjutnya sastra Pujangga Baru tampak lahir dengan menampilkan ciri-ciri yang sangat berbeda. Sesuai dengan namanya, Pujangga Baru bermaksud untuk menampilkan kebaruan, baik dalam kaitan dengan sastra maupun kebudayaan. Karena itu sastra Indonesia modern dianggap dimulai pada periode Pujangga Baru, bukan pada periode Balai Pustaka. Karya sastra Pujangga Baru, termasuk juga di dalamnya karya-karya sesudah perang, tampaknya sesuai dengan kompleksitas kehidupan manusia paskakolonialisme yang menampilkan berbagai masalah, seperti ditunjukkan melalui novel Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), Belenggu (Armijn Pane, 1940), ataupun novel-novel sesudah perang, seperti Ateis (Achdiat Karta Mihardja, 1949), Pulang (Toha Mohtar, 1959), Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer, 1981), Burung-burung Manyar (YB Mangunwijaya, 1981), dan Para Priyayi (Umar Kayam, 1992), yang kesemuanya juga diulas dalam buku ini.
Pembacaan postkolonialisme sebagaimana proses pemahaman postkulturalisme pada umumnya merupakan pembacaan politis, strategis sehingga pembacaan melalui karya sastra ini, pada gilirannya justru memberikan hasil yang lebih luas dan beragam dalam aspek apa pun.
***