suarakarya-online.com
SOLO BALAPAN
– kepada ayahanda raditya putra
kita terpisah di stasiun ini
pemberhentian sejenak sebelum kita pastikan
melanjutkan perjalanan
aku tahu kamu pulang ke kebumen
menemui sanak famili, astri dan adik kandungmu yang baru belajar menghitung angka
dan sehampar ladang yang telah
memberimu keyakinan bahwa hidup adalah membalik tanah
serta kebun yang mengajarimu bagaimana bekerja mengolah
dan memanen umbi-umbian
dengan kesemangatan sejenak kuberpikir,
apa saja yang telah aku gali di ladang usiaku
apakah juga membalik tanah sepertimu
aku terpatri memasung diri karena
tak mampu mencangkul tanah tandus penuh bebatuan
ya aku tidak seperti yang kau kira
karena aku dibesarkan di bantaran sungai
martapura yang mengajariku berlayar ke muara-
muara mengenali barito, tabunio, dan jenis
ikan tawar yang dijual pamanku setiap pasar
arba stasiun hidup kita tak samaperjalanan
berikutnya pun tentu tak sepemahaman
jiwaku dengan gaya laut merah
jiwamu dengan gunung merapi
(namun sama-sama membara)
St. Solo Balapan, 2007
PERASAANKU MEMAR
dinda
mari kita lihat lukisan di dinding kamar ini
sepasang burung dara siap terbang ke angkasa raya
kepaknya adalah melodi nasib yang tak pernah selesai
terus berkecipak diantara reranting dahan yang basah oleh rinai hujan
dinda suatu hari kita pasti bercerai
selalu ada saja hijab pemisah
karena aku hidup di malam hari
sedang kau mengaji di pagi hari,
jangan pernah kau salahkan takdir sayang
karena kita saling menjaga
kita saling mencari
maaf dinda aku tidak bisa menyuguhimu air susu
disini hanya ada vodka yang setia menemaniku dan seball kretek atau
bagaimana kalau kita berdansa saja?
irama keluhmu sudah saatnya kau tanggalkan
aku tidak pandai merayu
Tasikmalaya, November 2006
LANDMARK SUATU HARI
dari dago
aku mulai menapak tilas langkah mentari
cerah malu-malu sedang tanda
remaja belum aku temui hari ini
di wajahmu sudah dua kali natal
kau menetap di pinggiran cisitu lama
namun ingatanku tak pernah karam
meski pelayaran hidup berbeda haluan
aku berjanji untuk menghadap barat agar
lembayung senja dapat aku saksikan di beranda sepi kau setia menunggu dewi kelam dengan
teratak masa lalunya kala ini kau gandeng
tangan kananku sedang tangan kiriku kau
biarkan lepas di hela angindi landmark perasaanku lebur bersama bilur kelam
aku tak dapat menjawab tentang bukti itu
setahun lalu jemariku cedera
dan biola pemberianmu sudah aku hancurkan
kutenggelamkan ke muara batu
kau takkan puas bila siang ini
kita hanya membaca satu cerpen
raudal tanjung banua kau tak berubah tualang
coba kau lihat kedua telapak tanganmu
saatnya membaca hari dengan kemudi waktu
bukannya mengumpat dan persalahkan aku
Bandung 2006
Hudan Nur, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan 23 Nopember 1985. Karya-karyanya disiarkan pada; Untaian Mutiara RRI Nusantara, Banjarbaru Post, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Buletin Rumah Sastra Bandung, Tabloid Realitas, Buletin Sloka Tepian, waTas Media, Rakat Media (Sekolah Tinggi Teologia Gereja Kalimantan Evangelis) bekerjasama dengan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Bulletin Alliance BenKilTra, Lampung Post, Majalah Gong, Sinar Harapan, Republika, Suara Karya, Sinar Kalimantan, Radar Sulteng, Media Kalimantan, Media Alkhairaat, Mercusuar, Majalah Sastra Horison.