Wita Lestari
http://jurnalnasional.com/
“Walang kekek, menclok nang tenggok
Mabur maneh, menclok nang pari
Ojo ngenyek yo mas, karo wong wedho
Yen ditinggal lungo, setengah mati”
SUARA Waljinah melengking syahdu memecah keheningan, mendayu-dayu. Decak kagum peserta diskusi dan sorak tawa tepuk tangan tak henti. Sampai akhirnya pemandu acara meminta salah seorang yang duduk untuk berjoget di depan altar diskusi. Walang Kekek merupakan lagu keempat yang dinyanyikan Waljinah saat mengisi acara reuni yang diselenggarakan Alumni Sastra Jawa Universitas Indonesia dengan tema Langgam Keroncong Riwayatmu Dulu, Langgam Campursari Riwayatmu Kini di Newseum Caf?, Jl Veteran, Jakarta Pusat, beberapa waktu silam.
Meski mengatakan sedang pilek, suara perempuan yang sudah mentas di berbagai mancanegara ini tetap terdengar merdu dan renyah. Maestro langgam campursari ini memang tak lekang oleh waktu. Penampilan, kualitas suara, dan dandanannya tak ada yang berubah, khas Waljinah, dengan kain jarit, baju kebaya, dan sanggulnya. Dari dandanan dan raut mukanya, tak ada bedanya dengan 15 tahun lalu saat kita melihat penampilannya. Yang menandai ketuaannya hanyalah kerutan tipis di bawah matanya. Pipi dan dagunya masih kencang dan kinclong.
Berikut kutipan perbincangan Kustiah dari Jurnal Nasional dengan si Walang Kekek itu di sela pementasannya pada acara tersebut di atas.
1. Masih ingat saat pertama kali Anda menyanyi langgam keroncong?
Sejak umur 12 tahun, kelas dua Sekolah Dasar. Saya sebenarnya sudah biasa menyanyi keroncong sejak kecil. Memenangkan lomba-lomba keroncong. Dulu masih nyanyi keroncong terus, nah waktu diundang jadi bintang tamu di pementasan wayang kulit, saya baru beralih ke langgam campursari. Kalau dihitung ya sudah 50 tahun terjun ke dunia langgam keroncong dan langgam campursari.
2. Kapan pertama kalinya Anda jadi juara menyanyi?
Pertama kali ikut lomba di Radio Republik Indonesia (RRI). Saya menang dapat Juara Pertama. Padahal, pesertanya banyak dan suaranya juga bagus-bagus. Dulu pertamanya sering nyanyi langgam keroncong. Terus ke sininya sudah ke langgam campursari. Manggung dari satu tempat ke tempat lain, sampai kemudian rekaman. Waktu itu rekaman tak semudah sekarang. Kalau sekarang kan salah sedikit tidak perlu diulang. Lha dulu? Pas lagi nyanyi, “Laraning lorooo…..” ada bunyi tik, tik, tik (bunyi jam), batal. Harus nyanyi lagi. Diulang. Gitu terus sampai benar-benar bagus.
3. Orangtua Anda memang berdarah seni?
Suka seni sih iya, tapi biasa saja. Bukan profesional seniman. Waktu kecil saat menidurkan sayam ibu selalu menyanyi langgam Jawa. Kadang rengeng-rengeng. Lagunya yang ini nih “Jangkrik genggong, jangkrik genggong, wani ngerik sepi uwong”. Saya mulai menirukan. Lalu keterusan. Lha kalau tiap hari nyanyi kan sama saja kayak kita latihan.
4. Sekarang darah seni itu menurun ke anak-anak Anda juga?
Sekarang itu tren dan kesukaannya (anak-anak muda) beda. Tapi, pada dasarnya masih di musik juga. Ada yang di jalur jazz, band, vokal. Pilihan musiknya beda-beda. Saya menyilakan saja. Asal kalau jadi penyanyi ya suaranya harus bagus. Berkualitas, tidak asal nyanyi. Nggak kayak yang di TV-TV. Saya prihatin dengan gaya penyanyi sekarang. Kalau nyanyi nggak mementingkan suaranya, tapi malah goyangannya yang heboh.
5. Bagaimana perasaannya Anda saat Presiden Soekarno dulu menyerahkan piala kemenangan lomba nyanyi pada Anda?
Seneng banget. Padahal, waktu ikut lomba nyanyi itu saya sedang hamil delapan bulan. Pas menang ya seneng banget. Panitia lomba waktu itu bilang, nanti penyerahan piala oleh Presiden Soekarno. Saya ikut lomba dengan perasaan pokoknya harus menang. Dalam hati bilang “Nanti kalau menang, anakku akan aku kasih nama Bintang”. Itu nama anakku yang terakhir. Waktu itu umurku 20 tahun.
6. Apa resepnya agar tetap awet muda seperti Anda?
Saya itu nikah waktu umur 15 tahun, lalu punya anak. Umur 16 tahun, saya punya anak lagi, sak teruse (seterusnya) berturut-turut. Jadi, waktu umur 20, anakku wis (sudah) lima (tertawa). Tapi, meninggal satu. Tapi, saya awet muda ya? Orang banyak yang ke salon untuk perawatan supaya tetap cantik. Saya manfaatkan yang alami saja. Air dingin pagi hari itu bisa bikin muka kencang lho. Kalau mau wudhu (untuk) shalat tahajud kan airnya dingin banget. Nah, itu resep saya.
7. Upaya apa saja yang Anda lakukan agar campursari tetap eksis dan dikenal masyarakat luas?
Garasi di rumah saya gunakan untuk sekolah nyinden anak-anak. Gratis, nggak ada pungutan biaya macem-macem. Lha wong yang ikut anaknya orang-orang yang nggak mampu. Ada yang anaknya supir bus, anaknya tukang becak, reno-reno (rupa-rupa). Malah anak-anak sudah banyak yang pinter. Kalau mereka manggung kan dapat uang. Orang tuanya senang anaknya bisa cari duit sendiri buat bayar sekolah. Ada beberapa guru yang mengajari. Saya juga ikut mengajar tapi tidak setiap hari. Kalau tidak begini, siapa lagi yang akan menggantikan saya nanti.
8. Adakah pengalaman mengesankan saat Anda manggung?
Ha-ha-ha, ada pengalaman yang bikin saya geli. Sekarang kalau (sedang) menyanyi pasti yang saya lihat atas kepalanya. Kenapa coba? Pernah, dulu waktu selagi saya menyanyi saya ngelihatin penonton yang ada di depan saya. Nah, waktu saya lihat orangnya malah meletin (menjulurkan lidah) saya. Saya lalu jadi lupa syair lagunya, tidak bisa konsentrasi lagi.
9. Harapan Anda pada pemerintah, baik daerah maupun pusat, terkait pelestarian campursari?
Sebaiknya campursari disosialisasikan, dikenalkan ke masyarakat luas. Tidak hanya masyarakat Jawa lewat acara di televisi. Kalau tidak begitu, campursari tidak akan maju. Malah bisa mati. Dulu, waktu Gubernur Jawa Tengah masih Mardiyanto, saya sering manggung. Campursari rame. Lha Pak Gubernur (Mardiyanto) senengane campursarian. Sekarang sepi.