BERTEMU JOKPIN & JOGJA

Budhi Setyawan
http://budhisetyawan.wordpress.com/

Sebagai pegawai negeri, dalam hal tertentu saya merasa beruntung dengan adanya beberapa dinas luar, luar kota atau luar negeri. Setelah urusan tugas kantor selesai, saya selalu manfaatkan untuk melampiaskan hobi berburu kaset atau CD musik rock atau jazz kesukaan saya. Untuk saat ini kemungkinan menjadi kecil untuk mendapatkan kaset lama yang merupakan album atau karya masterpiece atau monumental dari seorang musisi atau sebuah grup musik, karena semakin banyak orang yang mengetahui mengenai musik-musik yang progresif atau sangat layak jadi koleksi. Kemudian selain itu saya juga memanfaatkan waktu meski sedikit untuk bersilaturahmi dengan para penulis/penyair/sastrawan di kota yang saya singgahi. Seperti waktu dinas di Kudus, saya menemui beberapa penyair: Jumari HS, Yudhi MS, Thomas Budi Santoso. Waktu di Solo menemui Sosiawan Leak. Waktu dinas ke Bali saya beruntung bisa bertemu dengan Warih Wisatsana, Wayan Sunarta, Pranita Dewi. Kemudian waktu ke Bandung bertemu dengan Juniarso Ridwan, Dian Hartati, Widzar Al-Ghifarry. Sedangkan waktu acara lebaran ke Tasikmalaya, saya sempatkan bertemu dengan Acep Zamzam Noor, Sarabunis Mubarok dan Saepul Badar.

Dalam dinas 3 hari di Jogjakarta, saya bertemu dengan TS Pinang, Fais Asol, Eko Nuryono, Raudal T Banua, pelukis Wara Anindyah dan suaminya Sri Harjanto Sahid yang ternyata juga penyair, dramawan, pelukis, dan yang sangat menggembirakan bertemu dengan penyair Joko Pinurbo, yang akrab dipanggil Jokpin. Hari Jumat 24 Oktober 2008, saya bertemu dengan Jokpin dengan mampir di kantornya di daerah ex-nDalem Tejokusuman di Jln. Wachid Hasyim Jogjakarta. Meskipun saya pernah lama tinggal di Yogya, namun sepertinya saya tak pernah atau amat jarang lewat jalan itu. Memang sepertinya daerah itu kurang begitu ramai, bukan akses yang sering dilewati kendaraan. Dalam bahasa jawa disebut rada kiwa.

Kami duduk berdua di semacam lobi atau ruang di depan ruang kerjanya. Setelah ngobrol pembuka dan ringan kata, Jokpin lalu bercerita bahwa selama sekitar 13 tahun bekerja di kantor di daerah itu. Dia katakan bahwa hampir semua puisi yang ditulisnya mulai dari Celana dan seterusnya lahir di situ. Memang suasana di situ sangat asri, ada bangunan pendapa yang cukup besar dan banyak pepohonan besar, sehingga suhu udara di lingkungan itu tak terlalu panas, begitu tenang dengan suara kendaraan di jalan raya yang tak begitu kentara, padahal saya di sana pada jam kerja. Saya bayangkan apalagi kalau pada waktu senja dan malam hari, betapa sepi dan syahdunya di situ. Dengan asyiknya dan gaya bicara yang medhok jawa-jogja, dia bilang: ?coba nek le mrene pas sawone awoh, tak suguhi lan tak gawani nggo oleh-oleh. Saiki lagi ora awoh, bar dipanen wingi kuwi. Sawone legi banget ?/ ?coba kalau kesini pas pohon sawo itu berbuah, pasti saya suguhi dan bawa sawo untuk oleh-oleh, sekarang lagi gak ada buahnya, belum lama baru dipanen. Sawonya sangat manis ?. sungguh ungkapan yang begitu akrab dan bersahabat. Dan beruntung Jokpin bercerita mengenai membuat puisi, meski hanya sedikit. Dia bilang, yang utama dalam proses untuk mendapatkan ide dan menulis karya puisi diperlukan ?pengembaraan batin?. Dan saya setuju dengan hal itu. Puisi termasuk jenis seni, dan seni memancarkan keindahannya, dan keindahan adalah lebih merupakan konsumsi dari rasa. Dan tentunya sangat cocok, sebuah hasil karya seni yang merupakan konsumsi untuk dunia rasa dilahirkan dari olah rasa penciptanya. Siang itu begitu temaram, sesejuk ungkap dan kata sang penyair yang banyak bercerita. Suasana kian enak dengan ditemani minuman secangkir kopi dan pisang rebus hasil memetik di kebun belakang kantornya. Sungguh suasana menjadi sangat desa, teringat masa kecil di desa saya, pelosok Purworejo. Dia lalu bilang, kalau selama ini ada tokoh misalnya anak kecil di puisinya, itu hasil pengembaraan batinnya yang merasa cocok menampilkan tokoh dalam puisinya. Juga untuk tokoh-tokoh yang lain, yang sebenarnya hasil dari sengaja diciptakan untuk sub-media pesan dalam puisinya. Sedikit berbelok dari sastra indonesia, kami sempat ngobrol tentang sastra jawa, khususnya geguritan. Saya sependapat bahwa karya sastra jawa banyak yang begitu tajam mempunyai daya pukau dan usia yang sangat panjang jauh melampaui dari para penyairnya. Seperti Serat Centhini, Kalatidha, dll. Banyak pujangga yang karyanya masyhur menurut cerita juga dipengaruhi oleh proses kreatifnya yang sangat disiplin dan sungguh-sungguh dalam mencari sari pati kata, sehingga dihasilkan uraian kata yang berbobot atau dalam bahasa jawa: mentes. Berbagai cara dilakukan seperti puasa, bertapa/semedi, kontemplasi, meditasi, dll untuk menempatkan emosi mencari hening dan mengendapkan hiruk pikuk kata agar diperoleh karakter yang kukuh dan tajam (dalam bahasa jawanya: meneng lan menep). Dan serat-serat karya pujangga itu banyak dikaji di beberapa negara Eropa, terutama Belanda. Dalam sebuah majalah berbahasa jawa, saya membaca artikel: bahwa di Universitas Leiden sangat sering diadakan diskusi kajian mengenai karysa sastra jawa. Juga di tembok sebuah gedung di Universitas Leiden ditulis sebuah syair dari serat Kalatidha dalam aksara Jawa. Menurut saya yang lahir dan besar di Jawa Tengah, memang dengan bahasa ibu atau sehari-hari dengan bahasa jawa, maka menulis karya dalam bahasa jawa lebih terasa nuansa spiritualitasnya atau jelajah batinnya. Apalagi dengan banyaknya kosa kata, menjadi lebih mewakili atau lebih dekat dengan ide atau model yang muncul di angan/khayalan, meskipun diperlukan upaya yang tidak ringan karena bagi warga asal suku Jawa yang tinggal di kota besar, dalam tugas dan percakapan sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.

Sembari menghisap cerutu yang saya sodorkan padanya, dia bilang: ?wah enak iki cerutune, entheng lan ora nyegrak? / ?wah enak benar ini cerutu, begitu ringan dan tak membuat batuk tersedak.? Lalu dia bilang cerutu juga bisa menjadi ide untuk puisi, misalnya cerutu yang terbuat dari tembakau, namun dalam puisi bisa dibelokkan menjadi: bukan menghirup tembakau tetapi misalnya menjadi ?menghirup rambut ibu?.dst?. Kemudian mengenai minum teh juga bisa dijadikan tema puisi. Karena para pemetik teh adalah kebanyakan perempuan desa yang lugu dan ekonomi yang pas-pasan, puisi minum teh bukan dengan kalimat menghirup pekat teh hitam, namun menjadi ?menghirup aroma keringat para pemetik ?. dst?. Ah dasar Jokpin penyair beneran, sepertinya begitu mudah melontarkan ide dan metafora atau majas untuk bahan menjadi puisi. Saya sendiri belum bisa berpikir seperti itu.

Ketika senja sedikit tembaga, suasana mulai merangkak kian temaram dan akan gelap, maka sebelum maghrib saya ijin pamit meninggalkan lokasi kantornya dengan membawa bermacam berkas sapa, gumpalan kata dan suka rasa. Semoga yang Puisi tentang Cerutu bisa segera dituliskan. Dan saya usahakan puisi tentang Minum Teh dapat ditulis dengan sebaik-baiknya. Terima kasih Jokpin atas pendar semangatnya semoga merasuk dalam pori kata yang tengah saya peram di bawah geliat doa. Semoga sukma kata kita senantiasa bersapa.

Sebagai bonus saya torehkan puisi pendek dari Jokpin dan puisi saya yang saya tulis waktu belum mempunyai buku kumpulan puisinya Jokpin.

MAGRIB

Di bawah alismu hujan berteduh
Di merah matamu senja berlabuh

2006 (Jokpin, kumpulan puisi Kepada Cium, 2007)

RESONANSI

pada kelopak harimu
kususuri senandung angin
pada kecipak katamu
kutitipkan butiran ingin

Jakarta, 4 Des 2007 (Buset, kumpulan puisi Dialog Zaman, belum diterbitkan)

Salam progresif.

(Ditulis di Bekasi, 26 Oktober 2008)

Leave a Reply

Bahasa ยป